Menelisik Wabah Pes Pertama di Hindia Belanda

Pemerintah kolonial Belanda sempat menyangkal keberadaan penyakit pes.

Dok Istimewa
Perbatasan Malang dijaga militer kolonial saat mewabahnya pes pada 1910-1911.
Rep: Meiliza Laveda Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam rangka memperingati Hari Filsafat Dunia pada Kamis (19/11), Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2020 mengambil tema Ekologi dan Bencana dalam Refleksi Kebudayaan Nusantara. Salah satu acaranya, yakni peluncuran buku dari empat penulis yang membahas wabah penyakit pada zaman kolonial.

Baca Juga

Salah satu penulisnya adalah Syefri Luwis yang sekaligus peneliti sejarah wabah Universitas Indonesia. Dia menulis buku Epidemi Penyakit Pes di Malang 1911-1916.

“Awalnya penyakit pes adalah penyakit antarhewan yang menular ke manusia lalu dari manusia ke manusia,” kata Syefri, dalam webinar BWCF, Kamis (19/11).

Ada beberapa faktor penyebaran pes di Indonesia. Pertama, dari faktor alam termasuk geografi, suhu, dan musim, kedua faktor transportasi, dan terakhir faktor ekonomi.

Sebelum menjelaskan penyebaran pes, dia merinci terlebih dahulu jenis penyakit pes. Penyakit pes ada tiga jenis.

Pertama, pes bubo atau biso. Kedua, pes paru-paru seperti TBC atau influenza yang bersifat airbone disease. Ketiga, pes septikemi.

Pada pes septikemi, bakteri langsung masuk ke jaringan darah tanpa ada tanda-tanda seperti pes bubo atau pes paru-paru. Ini juga merupakan pes mengerikan karena menelan korban banyak.

 

Penyakit pes pertama di Hindia Belanda terjadi pada 1905 di Tanjung Morawa, Deli Sumatra Utara yang memakan korban dua orang. Wabah mulai masuk pada 1910, ketika adanya impor beras dari Myanmar terutama di Pulau Jawa.

“Sebelumnya ada wabah di Myanmar. Impor beras juga dibutuhkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk masyarakat, akhirnya dikirim beras ke Surabaya. Dari Surabaya baru dikirim ke Malang,” kata dia.

Ketika dikirim ke Malang, penyakit ini menyebar di Malang. Sebab, adanya faktor geografi yang mempengaruhi.

Malang terletak di wilayah yang lebih dingin. Kebetulan saat itu sedang musim hujan sehingga penyakit penyebaran antartikus lebih cepat sampai ke manusia. Ada banjir di antara Wlingi dan Malang yang menyebabkan kereta putus.

Petugas kolonial memberikan pengobatan terkait mewabahnya pes di Myanmar pada 1906. - (pinterest)

 

“Dari situ ada beras-beras yang dititipkan di gudang dekat stasiun yang akhirnya penyakit menyebar ke seluruh Malang,” jelas dia.

Syefri mengakatan dari November sampai Maret, korban sudah mencapai ribuan orang. Namun, pemerintah kolonial masih menyangkal keberadaan penyakit pes. Jika dirinci, korban pes pada 1911 dan 1912 sudah 2.000-an.

Tapi, dia ragu jumlah tersebut benar, lantaran berdasarkan laporan surat kabar, ada desa yang penduduknya habis. Menurutnya, jumlah korban lebih banyak daripada 2.000-an orang.

 

Kemudian, pada 1913 korban melonjak menjadi 11.384 orang. Jumlah meningkat karena dalam rentang waktu 1912 sampai 1913 di Malang dilakukan karantina pertama di Hindia Belanda.

Namun, penerapan karantina tidak berlangsung lama. Pada 1914, peraturan karantina dicabut karena permintaan dari para pengusaha perkebunan. Adanya pencabutan karantina, pes menyebar masif dengan korban melonjak menjadi 15.751.

Untuk mengatasi wabah, Pemerintah Hindiaa Belanda membentuk kota Malang pada 1914 sekaligus membentuk dinas pemberantas pes. Atas koordinasi dua lembaga ini, jumlah korban pes bisa ditekan. Pada 1915 korban menurun drastis menjadi 1.638 dan pada 1916 menurun menjadi 595 lalu dianggap selesai.

“Selama wabah berlangsung, warga pribumi juga sempat beralih ke hal bersifat magis dengan menggambar buto di dinding rumah karena dianggap dapat mengusir jin jahat atau pagebluk. Tapi cara ini nggak berhasil karena ini kan ini penyakit dari hewan yang menular ke manusia,” ujar dia.

Salah satu cara penanggulangan kala itu adalah memberlakukan surat jalan atau surat izin berpergian. Ini merupakan upaya membatasi pergerakan dari dan ke Kota Malang. Selain itu, turunnya sejumlah dokter pribumi juga dapat menangani wabah ini.

“Waktu itu dokter Eropa paling banyak. Tapi mereka takut karena mengingat black death atau wabah hitam yang terjadi di Eropa. Mereka menyuruh dokter-dokter bumiputera untuk bergerak. Bahkan sampai mahasiswa tingkat akhir Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA) turun tangan,” ujar dia.

 

Para mahasiswa tingkat akhir dianggap lulus tanpa perlu menyelesaikan tugas akhir apabila mereka bersedia membantu dan menyelesaikan masa dinasnya di Kota Malang. Ada juga yang berjasa, yaitu Tjipto Mangoenkoesoemo yang mendapat gelar penghormatan Oranje Nassau yang sekarang merupakan salah satu Bintang Mahaputera.

 
Berita Terpopuler