Sudan yang tak Lagi Nyaman untuk Ikhwanul Muslimin?

Mesir dan Sudan berencana mengekstradisi Ikhwanul Muslimin

tangkapan layar wikipedia.org
Mesir dan Sudan berencana mengekstradisi Ikhwanul Muslimin Logo ikhwanul muslimin
Rep: Umar Mukhtar Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Pembicaraan tentang perang melawan terorisme dan penyerahan anggota Ikhwanul Muslimin ke Kairo, menutup pertemuan terbaru antara Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi dan Ketua Dewan Kedaulatan Sudan, Abdel Fattah Abdelrahman al-Burhan, pada 27 Oktober lalu yang digelar di Kairo, Mesir.

Baca Juga

Ratusan anggota Ikhwanul Muslimin melarikan diri ke Sudan setelah penggulingan Mohammed Morsi pada 2013 meski tidak ada angka resmi. Segera setelah itu, Mesir menyatakan organisasi itu sebagai kelompok teroris, melancarkan tindakan keras terhadap para pendukungnya dan mengadili ribuan dari mereka atas tuduhan terkait terorisme.

Sejak pemberontakan terhadap mantan presiden Sudan Omar al-Bashir pada 2019, Mesir telah berulang kali meminta Sudan untuk menyerahkan anggota organisasi Islam itu, termasuk tiga pemimpin Dewan Syura Ikhwanul. Menurut saluran Al-Arabiya, kasus penyerahan anggota kelompok terlarang itu telah dibahas selama pertemuan antara Sisi dan Burhan pada 27 Oktober lalu.

"Ekstradisi para Islamis ini kemungkinan akan terjadi dalam beberapa hari mendatang," demikian disampaikan saluran tersebut tanpa menyebutkan jangka waktu tertentu, dilansir di Al-Monitor.

Pada Februari yang lalu, Kantor Kejaksaan Sudan mengumumkan penangkapan lima anggota "jaringan teroris yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin" di negara itu. Kantor berita negara SUNA melaporkan bahwa para tahanan telah tiba di Sudan dengan bantuan penyelundup yang memegang paspor palsu Suriah dan berencana melakukan serangan teroris di dalam Sudan.

Namun, sumber dari Ikhwanul Muslim menyebutkan, ada negosiasi untuk menyerahkan para tahanan kepada pihak berwenang Mesir. Sebagian besar pemimpin kelompok di Sudan pergi ke negara lain setelah penggulingan Bashir dan pemulihan hubungan antara para pemimpin tentara Sudan dan rezim Sisi Mesir.

Muhammad Habib, mantan deputy general guide Ikhwanul Muslimin, mengatakan kepada Al-Monitor, bahwa anggota Ikhwanul Muslimin pergi ke Sudan untuk menghindari tindakan keras terhadap mereka. "Sudan adalah tempat perlindungan yang cocok selama pemerintahan Bashir, tetapi situasinya sekarang berubah dengan adanya pemerintahan baru," katanya. 

Ketika Habib menjadi anggota Ikhwanul Muslimin pada 1990-an, dia menyaksikan bagaimana kaum Islamis di Sudan dan sampai beberapa tahun yang lalu, menikmati situasi yang stabil. Namun sekarang stabilitas itu sudah tidak ada lagi, terutama di bawah pemerintahan transisi saat ini, yang lebih condong pada hak-hak sipil dan menjauh dari aturan Islam di rezim Bashir. 

Pembicaraan antara Mesir dan Sudan tentang ekstradisi kelompok Islam itu terjadi beberapa hari setelah keputusan Amerika Serikat (AS) untuk menghapus Sudan dari daftar Sponsor Terorisme Negara. Keputusan ini mendapat pujian dari Mesir. Kementerian Luar Negeri Mesir menyambut baik keputusan tersebut.

"Ini akan mengakhiri isolasi politik dan ekonomi selama bertahun-tahun yang telah dialami Sudan sebagai hasil dari dimasukkannya ke dalam daftar negara yang mensponsori terorisme," kata Kemenlu Mesir dalam sebuah pernyataan.

Sudan menjadi surga bagi banyak kelompok Islamis setelah penggulingan Morsi, yang melarikan diri ke Sudan melalui perbatasan selatan dengan bantuan penyelundup. Dari sana, beberapa di antaranya berhasil melakukan perjalanan ke Turki, Qatar, dan Malaysia.

"Tapi sekelompok dari mereka yang tidak melebihi beberapa ratus masih berada di negara itu," ucap Hani Raslan, ahli urusan Sudan di Pusat Studi Politik Al Ahram, sebuah lembaga yang dikelola negara, kepada Al-Monitor.

Raslan mengatakan, Sudan telah menyerahkan beberapa ekstremis, terutama mereka yang berafiliasi dengan kelompok kekerasan Ikhwanul Muslimin seperti Hasm. Ada pembicaraan untuk mendeportasi lebih banyak dari mereka. Seluruh kasus ditangani secara rahasia oleh dinas keamanan kedua negara. 

Ilustrasi umat Islam di Sudan- (AP Photo/Abd Raouf)

"Selama pemerintahan Bashir, para pemimpin banyak kelompok Islam disambut di Khartoum, terutama anggota organisasi kekerasan radikal seperti Organisasi Jihad, Kelompok Islam dan lainnya, dan kemudian Sudan akan menyerahkan mereka ke negara lain. Kadang-kadang rezim di Sudan memanfaatkan ini; misalnya, mereka menawarkan untuk menyerahkan dokumen (Osama) bin Laden, yang tinggal di Sudan antara 1991 dan 1996, ke Amerika Serikat setelah (serangan) 11 September," tambah Raslan.

Raslan mengatakan, ada kesepakatan pembagian kekuasaan antara warga sipil dan militer di Sudan. "Tetapi tentara memiliki lebih banyak otoritas di negara itu, juga menyadari kepentingan keamanan nasional negara dan lebih dekat dengan Mesir, tidak seperti komponen sipil dalam pemerintahan saat ini," imbuhnya.

Dalam beberapa bulan terakhir, lanjut Raslan, pihak berwenang Sudan telah memperkuat sikap mereka terhadap anggota Ikhwanul Muslimin yang hadir di negara itu, termasuk menangkap beberapa dari mereka. Dia memperkirakan kerja sama yang lebih luas antara Sudan dan Mesir dalam perang tersebut melawan terorisme.

Namun menyusul hasil pemilu Amerika Serikat, analis memperkirakan munculnya kritik tajam terhadap situasi hak asasi manusia di Mesir. Terutama sejak Presiden terpilih Joe Biden mengkritik dalam sebuah tweet pada Juli soal penangkapan pemberontak di negara itu. Biden mengatakan, "Tidak ada lagi cek kosong untuk 'diktator favorit' Trump," kata Biden mengacu pada Sisi.

 

Sumber: https://www.al-monitor.com/pulse/originals/2020/11/egypt-sudan-handover-islamists-muslim-brotherhood.html

 
Berita Terpopuler