4 Faktor Mengapa Prancis Rentan Gesekan dengan Islam

Prancis merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar Eropa

Edi Yusuf/Republika
Massa membakar foto Presiden Prancis Emmanuel Macron saat unjuk rasa mengutuk pernyataan Emmanuel Macron yang dinilai menghina umat Islam karena membiarkan publikasi karikatur yang melecehkan Nabi Muhammad SAW, di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Senin (2/11). Aksi tersebut di antaranya menyerukan kepada umat agar memboikot produk-produk Prancis dan meminta agar Emmanuel Macron meminta maaf kepada umat Islam.
Rep: Fuji E Permana Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Banyak negara terutama di Barat yang demokratis, memperjuangkan kebebasan berekspresi dan mengizinkan publikasi yang mengejek para nabi Islam. 

Jadi mengapa Prancis diprotes dan diboikot di seluruh dunia Muslim serta seringkali menjadi sasaran kekerasan mematikan dari ekstremis?

Masa kolonialnya yang brutal, kebijakan sekuler yang kukuh, dan presiden yang berbicara keras serta dipandang tidak peka terhadap keyakinan Muslim semuanya memainkan peran.

Saat Prancis meningkatkan keamanan dan berduka atas tiga orang yang tewas dalam serangan pisau di sebuah gereja pada Kamis, banyak yang dikaitkan dengan ekstremis Islam dalam beberapa tahun terakhir. 

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan AP News pada 1 November 2020 dijelaskan beberapa alasan mengapa negara Prancis diserang, yaitu sebagai berikut:  

Sejarah

Prancis memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa Barat, lebih dari 5 juta di negara berpenduduk 67 juta. Warisan dominasi kolonialnya di sebagian besar Afrika dan Timur Tengah. 

Tetapi upaya negara untuk mengintegrasikan imigran Muslim terhenti. Doktrin resmi Prancis tentang buta warna dimaksudkan untuk mengabaikan latar belakang etnis dan agama agar semua warga Prancis dipandang sama sebagai orang Prancis.  

Pada kenyataannya, cita-cita itu sering kali memicu diskriminasi terhadap mereka yang berpenampilan, berpakaian atau berdoa berbeda dari mayoritas Katolik secara historis.  

Muslim secara tidak proporsional terwakili di lingkungan termiskin, paling terasing di Prancis, serta penjara-penjara di Prancis. Hal itu telah melahirkan orang-orang buangan yang marah melihat Tanah Air mereka berdosa dan tidak menghormati tradisi Islam atau sekadar rasis terhadap Arab dan imigran lain dari tanah yang pernah memperkaya kekaisaran Prancis.  

Sementara serangan ekstremis Islam baru-baru ini di Prancis dilakukan oleh mereka yang lahir di luar negeri. Pemuda kelahiran Prancis berada di belakang banyak pertumpahan darah terburuk dalam beberapa tahun terakhir, banyak dari mereka terkait dengan kelompok ISIS.  

Militer Prancis 

Prancis mempertahankan peran yang lebih aktif daripada Inggris di bekas koloni mereka, terutama melalui hubungan ekonomi dan budaya. Itu juga terlihat dalam cara Prancis mengerahkan pasukan ke luar negeri. 

Pasukan Prancis melakukan intervensi dalam beberapa tahun terakhir melawan ekstremis Islam di Mali dan Suriah. Keduanya bekas kepemilikan Prancis. Ribuan tentara Prancis kini ditempatkan di bekas koloni di wilayah Sahel Afrika dengan misi yang sama.  

Kehadiran militer Prancis memicu seruan daring rutin dari ISIS, Al-Qaeda, dan ekstremis lainnya untuk pembalasan di tanah Prancis, dengan harapan memaksa Prancis menarik pasukannya.  

Sekularisme 

Sebagian besar kemarahan saat ini berasal dari penerbitan ulang koran satir Prancis Charlie Hebdo tentang karikatur yang menggambarkan Nabi Muhammad. Gambar kartun pendiri Islam sangat menyinggung banyak Muslim yang menurut mereka sebagai penistaan. Tapi kartun tersebut awalnya diterbitkan di Denmark pada 2005. Gambar serupa telah diterbitkan di negara lain yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. 

Sementara para pejabat Prancis sering mengatakan negara mereka menjadi sasaran karena reputasinya sebagai tempat lahir hak asasi manusia dan benteng demokrasi global. Yang paling membedakan Prancis adalah keterikatannya yang tidak biasa pada sekularisme.  

Konsep sekularisme Prancis yang sering disalahpahami tertulis dalam konstitusi negara. Ia lahir dalam undang-undang tahun 1905 yang memisahkan gereja dan negara yang dimaksudkan untuk memungkinkan hidup berdampingan secara damai bagi semua agama di bawah negara netral. Salib pada satu titik robek dari dinding kelas di Prancis di tengah debat publik yang menyakitkan.  

Seabad kemudian, jajak pendapat menunjukkan Prancis adalah salah satu negara paling tidak religius di dunia dengan minoritas menghadiri kebaktian secara teratur. Sekularisme secara luas didukung mereka yang berada di kiri dan kanan.  

Ketika jumlah Muslim di Prancis bertambah, negara memberlakukan aturan sekuler pada praktik mereka. Larangan jilbab Muslim pada 2004 dan simbol-simbol keagamaan lain yang mencolok di sekolah tetap memecah belah, tentu mengejutkan banyak orang di luar Prancis. Undang-undang tahun 2011 yang melarang cadar membuat umat Islam kembali merasa terstigmatisasi.  

Seorang anak menunjukan poster saat melakukan unjuk rasa di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Senin (2/11). Pada aksi tersebut mereka mengecam dan memprotes pernyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron yang dinilai menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW. Republika/Putra M. Akbar - (Republika/Putra M. Akbar)

Presiden 

Prancis telah dilanda serangan ekstremis selama beberapa dekade terakhir di bawah para pemimpin di seluruh spektrum politik, tetapi Presiden Emmanuel Macron yang sentris adalah target yang sangat populer. Para pengunjuk rasa membakar potretnya atau menginjaknya saat protes di banyak negara pekan ini.  

Itu sebagian karena undang-undang yang direncanakan Macron untuk menindak fundamentalis Islam yang menurutnya membuat beberapa komunitas menentang negara dan mengancam pilar masyarakat Prancis, termasuk sekolah. Setelah serangan ekstremis baru-baru ini, pemerintahnya mengusir Muslim yang dituduh memberitakan intoleransi dan menutup kelompok-kelompok yang dipandang merusak hukum atau norma Prancis.  

Kata-kata yang digunakan presiden juga memancing kemarahan. Dia mengatakan undang-undang yang direncanakan itu ditujukan untuk "separatisme" Islamis, yang menimbulkan ketakutan akan keterasingan lebih lanjut dari Muslim Prancis. 

Pada peringatan pemenggalan kepala guru karena menunjukkan karikatur Nabi SAW di kelasnya, Macron memberikan pidato yang memuji toleransi, pengetahuan, dan kebebasan beragama. Namun dia membuat marah Muslim termasuk presiden Turki, karena mengatakan, "Kami tidak akan meninggalkan karikatur dan bahwa Prancis harus menghilangkan kaum Islamis."  

Sebelumnya, Macron menggambarkan Islam sebagai agama yang mengalami krisis di seluruh dunia, banyak kekerasan di banyak negara Muslim. Saat seruan untuk protes anti-Prancis meningkat, Macron men-tweet: "Kami tidak akan pernah menyerah."

Sumber: https://apnews.com/article/boycotts-paris-middle-east-western-europe-france-441e4e480ac4151987eb0d289bf3dc12

 
Berita Terpopuler