Apakah Energi Gelap Eksis di Alam Semesta?

Menurut teori, energi gelap yang mendorong galaksi-galaksi semakin menjauh.

www.kaheel7.com
Alam semesta (ilustrasi).
Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penelitian astronomi menegaskan teori, alam semesta terus mengembang. Namun, sebuah keraguan baru terhadap tesis ini muncul. Ini menentang keberadaan “energi gelap” yang menjadi pengikat semua hal.

Energi gelap  adalah istilah yang sering didengar dalam penelitian kosmologi dan astronomi. Kebanyakan pakar astronomi berpegang pada teori keberadaan energi gelap yang menjadi basis penting dalam penelitian alam semesta.

Alam semesta semakin membesar seiring waktu bukanlah sesuatu yang baru. Di akhir tahun 1990-an, sebuah penelitian mengungkapkan hal baru yang mengejutkan tentang kosmos. Alam semesta tidak hanya membesar, ia membesar dengan semakin cepat.

Baca Juga

Penyebab dari percepatan ini adalah energi gelap itu yang mendorong galaksi-galaksi semakin terpisah, menjauh satu sama lain.

Namun, baru-baru ini hasil penelitian terkait percepatan pengeembangan alam semesta ini disangkal oleh tiga pakar astronomi berbeda.  Dalam sebuah studi baru yang dipublikasikan di Jurnal Astrofisik pada awal tahun 2020, peneliti asal Korea, Young-Wook Lee dari Universitas Yonsei mengungkapkan bahwa alam semesta tidak membesar semakin cepat. Hal ini berarti energi gelap juga tidak ada.

Di pusat European Southern Observatory atau ESO di Garching, Jerman, salah satu penelitinya, Bruno Leibundgut, membantah hasil penelitian Young-Wook Lee. Sebagai pendukung tesis energi gelap, ia menjelaskan bahwa masalah ini bukan sekedar pengamatan yang salah akan alam semesta.

“Semua model penghitungan kosmologi yang kita ketahui menunjukkan percepatan ekspansi alam semesta. Sekarang sebuah tesis baru berkata bahwa itu salah. Jika model kosmologi yang selama ini kita miliki terbukti salah, artinya kita harus mulai lagi semuanya dari awal,“ ujar Burno Leibundgut.

Jika pengukuran baru ini benar, bagian-bagian alam semesta juga berarti berbeda dari apa yang selama ini telah dipahami.

Bagian-bagian alam semesta
Menurut pengetahuan sejauh ini, alam semesta terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama adalah materi kasat mata alias yang bisa dilihat, seperti bintang-bintang dan galaksi. Tapi materi ini  volumenya hanya 5 persen dari seluruh massa semesta.

Seharusnya, galaksi-galaksi yang berputar pada porosnya ini terdorong untuk saling menjauh. Bagian kedualah dari alam semesta yang mencegah hal tersebut, yakni sesuatu yang disebut materi gelap.

Materi ini adalah sesuatu yang tidak terlihat dan mencegah galaksi-galaksi untuk memisahkan diri satu sama lain. Sekitar seperempat alam semesta terdiri dari materi gelap.

Bagian ketiga dan terbesar dari alam semesta adalah apa disebut sebagai energi gelap. Energi ini disebut "gelap" bukan karena warnanya, melainkan karena statusnya yang tidak diketahui secara pasti.

Kebanyakan orang awam akan sulit membedakan antara materi gelap dan energi gelap. Perbedaan paling utama adalah perannya di alam semesta.

Materi gelap bekerja sebagai tenaga tak terlihat yang mengerat galaksi-galaksi. Energi gelap, sebagai bagian yang jauh lebih dominan, mengeluarkan gaya tolak semacam anti-gravitasi yang mendorong ekspansi alam semesta yang semakin cepat.

Energi gelap sendiri memiliki sejarah awal yang panjang. Akhir tahun 1920-an pakar astronomi Amerika Serikat, Edwin Hubble memperkenalkan teorinya mengenai alam semesta yang terus mengembang. Semakin jauh dari pusatnya, semakin cepat pula pergerakannya.

Selanjutnya penelitian pada tahun 1998 mengemukakan dua teori, yaitu ekspansi semesta yang semakin cepat dan energi gelap yang membuat alam semesta memuai. Untuk penemuan itu, pada tahun 2011, tiga pakar fisika Saul Perlmutter, Brian Schmidt dan Adam Riess mendapat hadiah Nobel Fisika.

Meski demikian, energi gelap masih menjadi tanda tanya besar yang belum sepenuhnya dipecahkan oleh para astronom.

 

sumber: https://www.dw.com/id/apakah-energi-gelap-benar-ada/a-55255571

Cara mengukur alam semesta
Keberadaan energi gelap muncul dari teori yang mengatakan bahwa alam semesta mengembang semakin cepat. Untuk mengetahui hal ini secara pasti, astronom harus mengukur pemuaian alam semesta.

Metode pengukuran alam semesta terdengar seolah mudah. Bruno Leibundgut menjelaskan cara peneliti mengukur alam semesta dengan lilin sebagai contoh.

Pertama-tama, dua lilin diletakkan pada jarak yang berbeda dari tempat pengamatan. Sebenarnya, intensitas cahaya kedua lilin selalu sama. Tapi jika kita mengukur lilin yang jauh, tampak intensitas terangnya tidak sekuat lilin yang dekat dengan kita.

“Metode ini juga bisa kita gunakan dalam astronomi, yaitu dengan menggunakan dua objek yang intensitas cahayanya selalu sama. Dalam hal ini: sejumlah supernova, atau ledakan besar sebuah bintang. Jika terangnya berkurang, kita tahu, bahwa letaknya lebih jauh. Dengan demikian, kita bisa mengukur alam semesta dan tingkat kecepatan ekspansinya,“ ujar Bruno Leibundgut.

Jadi bintang-bintang yang meledak menunjukkan perluasan yang lebih cepat. Penyebabnya sendiri adalah energi gelap. Karena intensitas cahayanya yang konstan, obyek langit ini disebut Standardkerzen atau lilin standar.

Apakah alam semesta memuai semakin cepat?
Publikasi terbaru yang menentang percepatan teori ekspansi alam semesta dan keberadaan energi gelap mengatakan, prinsip lilin standar tidak berfungsi. Katanya, supernova yang berjarak jauh terlalu lemah. Tim Bruno Leibundgut berpendapat, hal itu tidak benar.

Salah satu masalah yang mereka lihat pada publikasi baru adalah sampel yang hanya diambil dari 30 objek. Sebagai perbandingan, tim Bruno Leibundgut telah menggunakan 1.000 supernova sebagai bahan penelitian.

Jadi hasil penelitian hanya disimpulkan dari sejumlah kecil supernova yang patut dipertanyakan. Kecilnya jumlah sampel ini menjadi sumber keraguan.

Selain itu, publikasi baru ini menyalahi bidang lain kosmologi. Tim Bruno Leibundgut juga memiliki berbagai perhitungan dalam kosmologi yang sepenuhnya independen dan tidak hanya berdasar pada supernova. Perhitungan-perhitungan tersebut juga bertentangan dengan publikasi baru ini.

Salah satu perhitungan tersebut adalah sesuatu yang disebut sebagai radiasi latar belakang gelombang mikro kosmis. Hal ini diibaratkan sebagai desiran di alam semesta. Dua pakar fisika, Wilson dan Penzias, menemukan radiasi ini pada tahun 1964 secara kebetulan ketika melakukan eksperimen dengan antena.

Radiasi latar belakang gelombang mikro kosmis yang terlihat sekarang adalah sisa dentuman besar bersuhu tinggi yang kita juga kenal dengan nama bigbang. Awalnya, alam semesta sangat panas. Suhu radiasi kemudian menurun akibat pemuaian alam semesta dan sekarang hanya bisa diukur sebagai radiasi termal. Radiasi ini tidak bisa dilihat.

Misalnya, seperti kompor induksi panas. Suhunya tinggi, tapi kita tidak bisa melihatnya. Hal ini merupakan sebuah masalah. Namun, kita tetap bisa menunjukkan, bahwa permukaan induksi tersebut panas dengan meneteskan air. Ketika meneteskan air ke atas permukaan panas, perilaku air yang berbeda akan menunjukkan keadaan suhu, sehingga suhu tinggi jadi terlihat.

Tahun 2009 satelit Planck ditempatkan di orbitnya. Satelit ini bisa dengan tepat mengukur radiasi latar belakang gelombang mikro kosmis. Radiasi ini memberikan banyak informasi tentang fase-fase awal alam semesta dan juga tingkat ekspansinya. Radiasi latar belakang gelombang mikro kosmis ini bisa dianggap sebagai saksi bisu ekspansi alam semesta.

Pada tahun ini pula, sejumlah data pengukuran yang diambil satelit Planck akan diteliti dan dinilai. Data-data ini akan menjadi petunjuk tambahan yang merupakan kunci dalam silang pendapat, apakah alam semesta mengembang semakin cepat, atau tidak.

 

 
Berita Terpopuler