Halte Dibakar Pendemo, Negara Dibakar 'Buzzer'

Di tengah pro kontra UU Cipta Kerja, ulah buzzer memperumit situasi.

Prayogi
Bara api dan asap mengepul dari sisa bangunan halte Transjakarta di Bundaran HI, Jakarta, Kamis (8/10). Halte yang menjadi akses ke stasiun MRT ini hangus dibakar massa yang dipukul mundur dari area bundaran Bank Indonesia.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy, Jurnalis Republika

Sesuai namanya, UU Cipta Kerja menciptakan 'pekerjaan'. Lapangan pekerjaan langsung terbuka untuk proyek renovasi halte Transjakarta. Demonstrasi merespons sahnya UU Cipta Kerja berujung aksi pengerusakan. Halte Transjakarta yang jadi sasaran. Puluhan halte dirusak. Sebagian dibakar. Seperti halte sekitar Bundaran HI.

Respons bermunculan. Tak sedikit yang mengecam aksi pembakaran itu. "Mengapa mengatasnamakan rakyat tapi korbankan fasilitas rakyat?" Kira-kira begitu respons yang bertebaran di media sosial.

Tak sedikit pula masyarakat punya pandangan berbeda. "Halte Transjakarta bisa diperbaiki hitungan hari, tapi hutan yang dibakar butuh bertahun-tahun." Mungkin argumentasi soal hutan melebar dari substansi pembakaran halte. Namun alasan itu dipakai untuk menganalogikan keberpihakan. Keberpihakan pada isu terkait pengusaha vs buruh.

Bara api dan asap mengepul dari sisa bangunan halte Transjakarta di Bundaran HI, Jakarta, Kamis (8/10). Halte yang menjadi akses ke stasiun MRT ini hangus dibakar massa yang dipukul mundur dari area bundaran Bank Indonesia. - (Prayogi)

Ya, bukan hanya saja Halte Transjakarta yang dibakar karena isu seputar pekerjaan. Jutaan hektare hutan di Indonesia juga dibakar demi alasan membuka pekerjaan. Pembakaran dengan alasan cipta kerja. Namun mengancam kehidupan jutaan makhluk lainnya.

Pada tulisan ini, saya tak mau masuk pada perdebatan pro dan kontra aksi. Apalagi masuk pada konteks UU. Karena hanya anggota DPR, pemerintah, dan Tuhan yang tahu.

Masyarakat sipil belum bisa mengakses draft UU. Alasannya masih direvisi. Jadi tak banyak yang bisa dikomentari. Rapat Paripurna kemarin tak ubahnya sidang skripsi. Naskah disetujui tapi ada typo yang mesti direvisi. Begitu katanya.

Bicara soal UU Ciptaker saat ini ibarat bergosip soal pakaian dalam. Ada atau mungkin ada barangnya, tapi tak bisa lihat bentuknya. Dalam tulisan ini saya hanya fokus membahas soal bakar membakar.

Sejarah mencatat hampir di setiap kerusuhan ada pembakaran. Api jadi simbolisasi kemarahan. Jika ditarik jauh ke awal peradaban, manusia mengontrol api untuk alasan kehidupan.

Steven R James lewat artikelnya berjudul Hominid Use of Fire in the Lower and Middle Pleistocene: A Review of the Evidence, punya penjelasan. Menurutnya api dikenal manusia 1,7 hingga 2 juta tahun lalu. Namun pandangan pada 1989 ini direvisi pada 2013. Penelitian Kim Luke dari Universitas Toronto dan Hebrew University menunjukkan api baru dikontrol manusia pada sejuta tahun lalu.

Bara api dan asap mengepul dari sisa bangunan halte Transjakarta di Bundaran HI, Jakarta, Kamis (8/10). Halte yang menjadi akses ke stasiun MRT ini hangus dibakar massa yang dipukul mundur dari area bundaran Bank Indonesia. - (Prayogi)

Klaim Luke berdasarkan bukti jejak mikroskopis abu kayu, bersama tulang hewan, dan perkakas batu. Materi itu ditemukan di lapisan yang berasal dari satu juta tahun lalu. Api jadi inovasi paling awal yang digagas manusia. Inovasi untuk mempertahankan diri dari predator dan suhu. Pembakaran adalah untuk kehidupan.

Lewat api pula manusia memasuki abad modern. Pada abad 18, api diolah sebagai sumber energi mesin uap. Api mengawali revolusi industri. Tapi relasi manusia dan api juga menimbulkan kerusakan parah di bumi.

Sejak jutaan abad itu, api jadi senjata. Tak hanya senjata manusia melawan hewan predator. Tapi api membuat manusia jadi predator bagi manusia lainnya. Api juga membuat manusia jadi predator bagi alam di sekitarnya. Ditemukannya senjata api makin menegaskan sisi predator manusia.

Apa yang terjadi sejak revolusi industri itu berkembang hingga kini. Api jadi unsur netral ketika dipantik. Akal manusia yang mengarahkan api berposisi. Protagonis atau antagonis. Pemanfaatan manusia atas api itu yang membangun sekaligus merusak peradaban.

Api menghidupkan sekaligus mematikan. Semua tergantung ide di kepala manusia pemantiknya.

Di Tunisia Desember 2010, seroang pedagang bernama Mohamed Bouazizi memantik api yang mematikan sekaligus membangun. Pedagang kaki lima itu memantik api ke tubuhnya sendiri karena frustrasi. Api itu mematikan hidupnya. Namun menghidupkan gerakan revolusi politik. Tak hanya di Tunisia tapi ke seluruh Arab. Sejak itu Arab dilanda Arab Spring yang membangun sekaligus merusak peradaban di Timur Tengah.

Begitulah posisi api yang begitu ambigu di tangan manusia. Dari sisi bahasa, frasa yang terkait 'api' juga begitu relatif. Bisa dimaknai positif atau negatif tergantung kata yang menyertainya. Ini seperti frasa 'api semangat' dan 'api kebencian'. Walhasil secara harfiah dan istilah  posisi api tetap netral. Lagi-lagi tergantung manusia yang memaknainya.

Ilustrasi Media Sosial - (pixabay)

Memaknai api di pembakaran Halte Transjakarta sederhana. Pembakaran jelas menimbulkan kerugian bagi rakyat. Pembakaran jelas terencana dan merusak. Membawa botol yang diisi bensin dan dilengkapi sumbu, tentu merupakan perkerjaan yang membutuhkan persiapan. Membutuhkan keahlian pula untuk mengeksekusinya. Kini tugas polisi untuk mengusut pelaku dan motifnya.

Namun urusan api halte masih terlalu kecil efeknya bagi negara. Kobaran api di halte Transjakarta tak seberapa jika dibandingkan api kebencian yang kini merajalela. Api kebecian yang dipantik buzzer-buzzer di sosial media.

Api kebencian jadi makanan sehari-hari di media sosial. Sehari-hari kita melihat narasi-narasi penghinaan, rasa tidak hormat, dan pelecehan terus dipantik.

Tingkah polah buzzer semakin tak terkendali. Mereka tak tersentuh dalam produksi narasi untuk membunuh karakter, menebar umpatan, hingga pelecehan. Usaha untuk menghentikan provokasi para buzzer berulang kali dilakukan. Berulang kali pula usaha berupa laporan ke polisi jalan di tempat.

Di tengah pro kontra UU Cipta Kerja, ulah buzzer memperumit situasi. Buzzer justru semakin membentuk antipati. Tokoh sipil yang mengkritisi dan berseberangan tak segan dibunuh karakternya. Kelompok yang berseberangan dipermalukan dengan hinaan.

Sehingga api kebencian pun semakin berkobar. Tak pelak atmosfer panas terus terpelihara. Rasanya api di halte Transjakarta terlalu kecil untuk membakar satu negara. Tapi api kebencian yang dipantik buzzer-buzzer sanggup melakukannya.

 
Berita Terpopuler