Islam ‘Radikal’ di Uni Eropa dan Tingginya Partisipan ISIS

Uni Eropa menghadapi masalah tingginya angka partisipan ISIS.

EPA/Patrick Seeger
Uni Eropa menghadapi masalah tingginya angka partisipan ISIS. Bendera Uni Eropa.
Rep: Kiki Sakinah Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Radikalisme yang dikaitkan kepada Islam dinilai sebagai masalah yang sangat mendesak di Eropa saat ini dan disebut akar penyebab dari sebagian besar insiden terkait terorisme di benua tersebut. Serangan teroris itu terutama dilakukan di kota-kota di Uni Eropa. 

Baca Juga

Terkait ini, para peneliti lantas mempelajari dampak radikalisme Islam pada tatanan perkotaan dan sosial di kota-kota Uni Eropa dan apakah ada hubungan antara migrasi dan terorisme.

Pada 2019, sekitar 119 serangan teroris dilakukan di seluruh Eropa. Sebanyak 64 serangan di antaranya terjadi di Inggris, 29 di Italia, dan 26 di Prancis, Yunani, Jerman, Spanyol, dan Belanda. 

Menurut laporan yang dikeluarkan pada 2018 oleh GLOBSEC Policy Institute, sebuah lembaga pemikir yang mempelajari masalah pertahanan dan keamanan, sekitar 87 persen jihadis adalah laki-laki dan 13 persen adalah perempuan.  

Mayoritas jihadis tersebut berusia muda dengan usia rata-rata 30,3 tahun, 40 persen menganggur, dan hanya 9 persen yang tamat SLTA. Laporan tersebut juga mengungkapkan, bahwa 26 persen dari jihadis yang disurvei diperkenalkan dengan ideologi radikalisme melalui keluarga atau teman. Kemudian, 14 persen dari mereka diperkenalkan melalui portal online, 23 persen dengan keyakinan pribadi, 10 persen di penjara dan 8 persen melalui perekrut radikal.

Namun, statistik yang paling menarik dalam laporan tersebut adalah bahwa 50 persen dari jihadis yang disurvei telah menghabiskan setidaknya setengah dari hidup mereka di Eropa. Disebutkan, 72 persen adalah warga negara Uni Eropa dan 8 persen adalah warga negara ganda. Faktanya, sekitar 21,8 juta warga Eropa memiliki kewarganegaraan kedua non-Uni Eropa. 

Perencana kota, Fouad Alasiri, dalam artikel di laman European Eye on Radicalization (EER), dilansir Selasa (6/10),mengatakan bahwa ekstremisme adalah sesuatu yang tidak dapat diukur secara numerik, sedangkan terjadinya serangan teroris dapat diukur. 

Hal itulah menurutnya yang menjadi sebab para peneliti fokus pada parameter ini. Sementara penyebab antara imigrasi dan serangan teroris tidak dapat dibuktikan, para peneliti telah menemukan korelasi yang jelas.

Laporan GLOBSEC tersebut menemukan, bahwa 46 persen imigran Muslim datang ke Eropa antara 2010 hingga 2016. Para imigran ini berasal dari negara-negara Arab, serta Iran, Somalia, Pakistan, Bangladesh, dan Nigeria. Orang-orang ini sebagian besar dinilai berdasarkan agama mereka (Muslim) daripada etnis atau kebangsaan mereka.

Ilmuwan sosial Amerika Dr. Akbar Ahmed membenarkan hal ini ketika dia berkata, "Setelah 9/11, faktor umum yang mendefinisikan Muslim di Amerika Serikat dan Eropa adalah bahwa mereka dipandang sebagai Muslim, yaitu ditentukan oleh agama dan bukan lagi oleh bangsa asal, etnis, sekte, kelas atau profesi mereka."

Perubahan dalam identifikasi pribadi ini mungkin telah menghasilkan pemisahan yang dalam dan tak terucapkan antara Muslim dan non-Muslim Eropa. Fouad mengatakan, tidak jelas apakah segregasi itu terjadi karena radikalisasi Muslim atau jika Muslim radikal akibat segregasi ini. Namun, kata dia, sangat mungkin bahwa Muslim Eropa, yang merasa sepenuhnya ditentukan keyakinan mereka, dapat mundur ke komunitas mereka yang terpisah dan mengurangi upaya untuk berasimilasi ke dalam masyarakat yang mereka yakini telah menjauhi mereka dan agama mereka. 

Statistik menunjukkan bahwa persentase besar orang asing dari Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan dan Timur gagal berintegrasi ke dalam masyarakat Eropa, bahkan setelah puluhan tahun tinggal di Eropa.

Sebuah laporan yang diterbitkan pada 2015 oleh Eurostat mengungkapkan, hanya 65 persen warga London yang setuju bahwa imigran non-Eropa telah berhasil berintegrasi. Sementara 52 persen penduduk Barcelona, 46 persen penduduk Roma, dan 52 persen penduduk Paris yang berpikir serupa.

 

Umat Islam di Eropa - (Reuters)

Data menunjukkan, bahwa homogenitas penduduk di kota-kota Eropa dan wilayah metropolitan dapat meningkat secara drastis. Namun, Fouad menekankan bahwa statistik imigrasi berbeda dari satu kota ke kota lain. Misalnya, antara 2009 dan 2014, Roma memiliki populasi imigrasi bersih tertinggi di antara kota-kota Eropa (sekitar 70 ribu per tahun). 

Milano berada di urutan kedua dengan sekitar 42.800 per tahun, dan Berlin berada di urutan ketiga dengan sekitar 38 ribu per tahun. Imigrasi bersih adalah perbedaan antara jumlah imigran yang datang dan pergi. 

Menurut Fouad, imigran non-terintegrasi kerap hidup dalam isolasi di masyarakat tuan rumah, dengan akses terbatas ke pendidikan yang layak, pekerjaan, dan peluang lain. Sementara generasi pertama mungkin tidak mempermasalahkan hal ini karena mereka menganggapnya sebagai langkah maju dari standar hidup di negara asalnya.

Sedangkan generasi kedua kerap tumbuh dengan kebencian terhadap negara tuan rumah karena mereka tidak merasa disambut masyarakat. "Ini menjelaskan mengapa begitu banyak warga Eropa bergabung dengan kelompok teroris seperti ISIS atau Al-Qaeda," lanjutnya.

Menurut laporan yang dikeluarkan pada 2016 oleh International Center for Counterterrorism in the Hague, sekitar 4.294 warga Uni Eropa (kebanyakan generasi kedua) bergabung dengan ISIS dan 30 persennya telah kembali ke negara-negara asalnya di Eropa.

Sementara itu, partai sayap kanan radikal di Eropa telah berperang melawan segala jenis imigrasi, yang mereka yakini menimbulkan 'bahaya' bagi penduduk asli Eropa. Alhasil, imigrasi menjadi isu penting dalam pemilu apapun.

Kelompok-kelompok ini menganut ideologi etnosentris, yang secara alami menentang multikulturalisme, sebuah ideologi yang didukung partai-partai Hijau, Kiri, Sosial Demokrat, Post-Komunis dan liberal.

Terlepas dari kecenderungan etnosentris, Fouad mengatakan ada dukungan untuk imigrasi, terutama dari kapitalis yang mencari keuntungan dengan membayar upah lebih rendah kepada orang asing yang lebih bersedia untuk melakukan pekerjaan kasar. Selain itu, juga terdapat komitmen moral yang kuat dari masyarakat Eropa, khususnya organisasi kemanusiaan, untuk membantu para imigran.

Di Uni Eropa sendiri, kebijakan imigrasi telah berubah dari waktu ke waktu tergantung pada partai politik mana yang berkuasa. Pada gilirannya, kebijakan ini telah berdampak secara bertahap ke dewan kota dan peraturan kota. Misalnya, legislator perkotaan mendapat tekanan untuk meningkatkan subsidi proyek perumahan bagi para imigran yang tidak mampu untuk tinggal di lingkungan yang lebih terintegrasi.

Hal ini telah menciptakan segregasi (pemisahan) spasial dalam tatanan masyarakat perkotaan, dan menimbulkan masalah sosial. Akibatnya, ada penjajaran yang mencolok antara lingkungan berpenghasilan tinggi dan rendah.

Tatanan sosial yang lemah dari lingkungan berpenghasilan rendah seperti itu menyediakan lingkungan yang subur bagi kelompok Islam radikal untuk berkembang. Pemisahan ini menciptakan mentalitas "kita versus mereka" dan meningkatkan ketegangan di lingkungan perkotaan dan ranah publik.

Selain itu, menurut Fouad, hal ini juga menciptakan beban tambahan untuk mengubah undang-undang yang bertujuan untuk mengurangi visibilitas agama, yang menimbulkan biaya finansial bagi pemerintah daerah. Terlepas dari segregasi tersebut, lingkungan berpenghasilan rendah memiliki akses yang lebih sedikit ke layanan publik seperti pendidikan dan perawatan kesehatan.

Di Yunani, telah disarankan untuk menampung para imigran di pabrik-pabrik kecil yang terbengkalai. Akan tetapi, hal ini dinilai akan menciptakan lingkungan kumuh dan kamp permanen dengan konsentrasi besar penghuni berpenghasilan rendah.

Secara alami, hal ini juga melemahkan peluang mereka untuk berintegrasi ke dalam masyarakat tuan rumah. Akibatnya, banyak yang mengadvokasi kebijakan perkotaan yang lebih baik yang memenuhi kebutuhan para imigran, berharap ini akan meningkatkan peluang integrasi mereka. 

Fouad menambahkan, beberapa kota dengan populasi yang semakin berkurang sebenarnya telah mencoba menarik para pendatang, sementara yang lain melakukan yang sebaliknya. Kota-kota yang menerima imigran tersebut mampu menghidupkan kembali beberapa jalan komersial yang mati karena mereka dapat menjalankan bisnis seperti toko grosir dengan biaya operasional yang rendah.

 

"Penting bagi kota-kota untuk mengevaluasi kembali undang-undang mereka terhadap imigran untuk membantu mencapai kesetaraan perkotaan dan integrasi yang lebih baik ke dalam masyarakat," tambahnya. 

 

 

Sumber: https://eeradicalization.com/how-islamic-radicalization-has-impacted-urban-legislation-in-cities-in-the-european-union/ 

 
Berita Terpopuler