Makan Malam di Rumah Jokowi

Saat diundang makan di rumah Jokowi, kami mengobrol ringan soal sepak bola.

Abdullah Sammy, Jurnalis Republika.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy, Jurnalis Republika

Juli 2011, saya mendapat penugasan meliput kongres luar biasa PSSI di Kota Solo. Saya tidak seperti kebanyakan wartawan yang senang dengan agenda liputan ke luar kota. Alasannya sederhana. Saya takut naik pesawat. Beruntungnya lokasi liputan di Kota Solo. Itu berarti mungkin bagi saya menjangkaunya lewat transportasi darat. Kereta jadi pilihan nomor satu.

Sayangnya, kereta kelas eksekutif sudah ludes terjual. Dua hari sebelum kongres dimulai, saya belum mendapat tiket. Dengan sangat terpaksa, saya mesti mengintip opsi naik pesawat. Tiket tersedia. Tapi nyali membatalkan saya untuk menekan tombol pemesanan.

Di kepala saya kemudian muncul ide untuk membawa kendaraan pribadi. Saya berencana menyetir solo ke Kota Solo. Saat sedang mempersiapkan mobil di rumah, bibi saya memberi ide. "Kenapa gak naik kereta ekonomi aja dari Senen?" ujar dia.

Opsi yang tak pernah terpikir sebelumnya. Malam itu juga saya tancap gas ke stasiun Senen. Ternyata hanya tersedia kereta Senja Utama Yogyakarta. Tanpa pikir panjang saya memilih menuju Solo via Yogyakarta.

Baca Juga

Situasi dalam kereta ekonomi membuat saya takjub. Penumpang penuh sesak. Pedagang tak henti berlalu lalang, bak pasar berjalan. Situasi yang terjadi nyaris tanpa henti sepanjang belasan jam perjalanan. Saya mengabadikan momen di kereta ekonomi itu dengan tulisan yang saya ketik sepanjang perjalanan.

Di atas kereta, saya duduk sebangku dengan penumpang asing berambut pirang. Saya penasaran, kenapa si bule memilih naik kereta ekonomi? Karena penasaran, saya mengajaknya ngobrol. Obrolan mengalir hingga berlangsung nyaris sepanjang perjalanan.

Si pria bule punya latar pendidikan yang sama dengan saya. Dia guru SMA asal Amerika yang mengajarkan pelajaran sejarah. Kebetulan saya mengambil pendidikan sejarah Amerika.

Akhirnya kami berbicara panjang lebar. Mulai obrolan sejarah, Islam, hingga perbincangan soal Snoop Dogg dan Cameron Diaz. Dua nama selebritas itu ternyata adalah bekas murid si bule bergaya 'kere' itu.

Saya mesti melebar menceritakan momen di kereta. Sebab selain si bule, liputan saya di kereta berbuntut panjang. Tulisan saya tentang kereta naik di halaman satu koran Republika edisi Sabtu dengan judul 'Pasar 443 Kilometer'. Setelah tulisan itu terbit, saya ditelpon Humas KAI. Dia meminta saya untuk memuat klarifikasi tertulis dari Dirut KAI Ignatius Jonan.

Yang saya salut, dalam perjalanan pulang kemudian yang juga menggunakan kereta ekonomi, pedagang tak lagi terlihat. Semua steril. Situasi yang menjadi  titik balik dunia perkeretapian di bawah kepemimpinan Jonan.

Kembali ke soal kongres PSSI. Saya tiba ke Yogya dan langsung melanjutkan perjalanan ke Solo dengan menumpang kereta Perambanan Ekspress. Saya tiba di Solo sekitar Maghrib. Celakanya, semua hotel di sekitar lokasi kongres penuh. Kalaupun tersedia, lokasinya sangat jauh.

Saya kemudian menuju mushola untuk solat dan beristirahat. Di mushola saya bertemu dengan beberapa wartawan yang bernasib sama. Tak mendapat hotel.

Saya kembali tulis kisah tersebut sebagai bahan berita. Tulisan itu naik di Republika.co.id dengan judul Hotel Penuh, Sejumlah Wartawan Peliput Kongres PSSI Tidur di Masjid. Tulisan yang berbuah "manis".

Selang beberapa jam, saya mendapat telpon dari tim sukses calon ketua umum PSSI. Saya diminta menginap di hotel bintang lima yang menjadi markas mereka. Tapi saya menolak karena lanjur telah mengontak kerabat untuk menginap di kediamannya.

Keesokan harinya, hari kongres tiba. Ada ketakutan kongres berlangsung kisruh. Ini mengingat pengalaman kongres sebelumnya yang sempat kisruh dengan melibatkan aparat.

Pada pagi menjelang pembukaan kongres, saya mendapati sosok pria yang terlihat sibuk. Dia berlalu lalang di jalanan di depan Hotel Sunan yang menjadi lokasi kongres. Pria yang terlihat seperti koordinator event organizer itu tampak mempersiapkan prosesi arak-arakan peserta kongres. Pria itu tak lain adalah Joko Widodo yang saat itu menjabat sebagai wali kota Solo.

Nama Jokowi masih asing di pentas nasional. Saya pun tak akan mengenalinya sebagai wali kota jika tak diberi tahu oleh salah satu wartawan lokal Solo. Sebab, Jokowi tampak membaur dengan wartawan di tengah jalanan.

Dia mengatur langsung jalur yang akan dilalui oleh arak-arakan peserta kongres. Itu adalah ide dari Jokowi untuk meredam atmosfer panas menjelang kongres. Saat itu situasi memang sedang panas. Perseteruan di Kongres PSSI memuncak antara kubu Nirwan Bakrie-Nurdin Halid vs Arifin Panigoro-George Toisutta.

Atmosfer panas coba diredakan dengan strategi membuat pawai budaya dengan mengarak tokoh-tokoh masuk ke ruangan kongres. Jokowi tampak memimpin langsung persiapan di lapangan.

Saya mewawancarai Jokowi yang jauh berada di luar sorotan. Sorotan utama kala itu ada pada Menpora yang menjadi salah satu tokoh yang diarak. Sementara itu, Jokowi menjadi panitia yang mengarak. Ternyata suratan nasib tak ada yang tahu. Roda nasib berputar 180 derajat. Yang diarak masuk penjara, yang mengarak melenggang ke istana. Itulah rahasia hidup.

Saat itu saya mengabadikan ulasan tentang sosok Jokowi dalam sebuah tulisan. Pembahasan tentang Jokowi hanya sedikit dan hanya menjadi pelengkap di akhir tulisan. Saat menulis artikel ini, saya kembali membuka artikel tahun 2011 yang mengulas Jokowi. Saya baru menyadari kalau saat itu saya salah mengetik nama Jokowi. Nama Jokowi saya tulis dengan ketikan 'Joko Wi'.

Namun, perjumpaan lebih lama dengan Jokowi berlangsung pada malam harinya. Saya diundang makan di rumah dinas Jokowi. Di sana saya sempat ngobrol-ngobrol tentang sepak bola lokal dan internasional. Di tengah obrolan ringan itu, Jokowi berseloroh, "Sudah jangan ngobrol terus. Dimakan makanannya," kurang lebih seperti itu ucapan Jokowi.

Di kediaman Jokowi saat itu ada beberapa tokoh nasional, seperti Arifin Panigoro dan Agum Gumelar. Para tokoh memuji Jokowi yang dinilai berjasa besar di balik suksesnya pelaksanaan kongres PSSI Solo. Kebetulan pula tokoh-tokoh itu kemudian menjadi pendukung Jokowi untuk mentas ke level nasional hingga kini menjadi Presiden.

Boleh jadi Kongres PSSI adalah salah satu momentum munculnya nama Jokowi ke pentas nasional. Beberapa bulan usai Kongres PSSI, nama Jokowi muncul sebagai calon gubernur DKI pada Pilkada 2012. Dia menang di DKI dan karier politiknya semakin bersinar. Hingga akhirnya, Jokowi memenangkan Pemilu Presiden 2014.

Beberapa hari usai kemenangan di Pilpres 2014, saya kembali bertemu Jokowi. Itu adalah momen perjumpaan pertama saya dengan Jokowi setelah momen makan malam pada 2011. Saat itu, Jokowi datang ke kantor Republika. Dia datang bersama tim suksesnya, Anies Baswedan.

Dalam perjumpaan kedua kalinya itu, saya kembali mengajaknya ngobrol ringan soal sepak bola. Saya bertanya ke Jokowi, "Jagoin siapa pak di Piala Dunia (2014)?" Kali ini tak ada jawaban dari Jokowi. Dia berlalu begitu saja.

 
Berita Terpopuler