Mengenal Konflik Etnik Melayu Muslim di Thailand Selatan

Dinamika konflik di wilayah Muslim Pattani tergantung respons pemerintah Thailand

Anak-anak mengamati bangunan sekolah yang hangus dibakar di Provinsi Pattani, Thailand, Ahad (12/10). (REUTERS/Surapan Boonthanom)
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, -- Beberapa hari lalu ada pertemuan yang penting di wilayah Thailand selatan yang panas dan selama ini bergejolak diguncang aneka kekerasan. Wilayah itu dikenal sebagai tempat tinggak kaum Muslim Patani. Kekerasan itu terjadi karena mereka berontak terhadap Thailand dan ingin berdiri sendiri.

Dan kasus ini sebarnya kasus yang sangat lama. Patani dahulu adalah sebuah kerajaan Muslim yang merdeka. Namun kemudian ditaklukan oleh kerjaan Siam di Thailand yang beragama Budha.

Perasaan di jajah oleh Thailand itulah yang lestari di benak mereka sehingga terus berkonfliksampai hari ini. Usaha perdamaian terus dilakukan dengan perantara Malaysia. Namun belum ada hasilnya yang signifikan. Wilayah Patani masih menjadi wilayah yang bergejolak.

Berikut ini ada artikel menarik yang dapat dipakai untuk mengenal konflik dikawasan itu. Artikel ini dikutip dari pssat.ugm.ac.id dena judul: Konflik Entnik Melayu-Muslim di Thailand Selatan: 'Penyebab, Proses,dan Dinamika'.

Berikut ini artikel itu selengkapnya:

-------------------------

"Mengenal Konflik Etnik Melayu-Muslim di Thailand Selatan"

Serangan yang menewaskan dua biarawan Candi Wat Rattananupab, di Distrik Su Ngai Padi, Provinsi Narathiwat merupakan serangan fatal terakhir setelah kelompok pemberontak Barisan Revolusi Nasional (BRN) melakukan serangan di sekolah dan rumah sakit pada 8 Januari 2019 (Al Jazeera, 2019). Rentetan serangan ini merupakan bentuk dari protracted conflict yang berada di Thailand Selatan meliputi Provinsi Yala, Pattani, dan Narathiwat. Hubungan rumit antara pemberontak dengan pemerintah pusat Thailand dapat ditelusuri dari sejarah inkorporasi dan asimilasi ketiga provinsi tersebut ke dalam sistem Thailand.

Provinsi Pattani, Yala, Narathiwat, dan lima distrik di Songkhla—Chana, Na Thawi, Sabayoi, Sadao, dan Thepa—merupakan wilayah Kerajaan Patani (Patani Darussalam) yang berdiri sejak tahun 1390 hingga 1902. Kerajaan Patani merupakan tributary state bagi Kerajaan Siam yang menggunakan indirect rule—membiarkan raja-raja lokal atau sultan memerintah wilayah mereka—dengan ganti kesetiaan dan upeti yang dibayarkan kepada Kerajaan Siam (Moller 2011, p.8).

Kebencian terhadap Kerajaan Siam dimulai pada tahun 1909 dengan adanya Anglo-Siamese Treaty yang menandai dimulainya sentralisasi dan aneksasi Kerajaan Patani oleh Kerajaan Siam. Kekuasaan elit lokal yang mulai hilang semakin memudar setelah diterapkan kebijakan forceful assimilation pada tahun 1930-an. Seiring Panglima Tinggi Plaek Phibulsongkhram yang mengusung agenda ultranasionalis pan-Thai . Yaitu melarang penggunaan bahasa minoritas di kantor pemerintahan dan menggantinya dengan bahasa Thai sebagai bahasa nasional; penekanan pada agama Buddha sebagai agama nasional (berdampak pada pelarangan agama dan hukum Islam di Selatan); dan mengharuskan setiap penduduk di Thailand untuk mengganti nama menjadi nama Thailand (Melvin 2007, pp. 13-4).

Pemberontakan pertama pada tahun 1946 ditandai dengan terbentuknya Patani People’s Movement (PPM), dengan aktor penting mereka yakni Haji Sulong (Sulong bin Abdul Kadir bin Mohammad el Patani) yang menyerukan adanya otonomi dan penghormataan atas kebudayaan dan agama di bekas Kerajaan Patani. Menyusul menghilangnya Haji Sulong, muncul semakin banyak kelompok pemberontakan seperti Gabungan Melayu Patani Raya (1950). Pergerakan tersebut masih dilakukan hingga sekarang mengingat hak otonomi tidak pernah secara serius diberikan (Melvin 2007,pp. 14-7).

Beberapa tulisan yang membahas tentang gerakan separatis atau perlawanan atas hak otonomi untuk etnik Melayu-Muslim di Thailand Selatan berfokus pada analisis penyebab. Seperti adanya perasaan primordial etnik melayu (primordialisme) (Nurakkate 2012); kemiskinan dan ketimpangan sosial (Engvall and Magnus 2014); pengaruh identitas muslim and islamisme (primordialisme) (Melvin 2007; Moller 2011; Croissant 2007); bahkan sudah sampai menjelaskan pada dinamika intensitas konflik (Chalk 2008; Abuza 2011).

Namun demikian, terdapat beberapa kekurangan dalam beberapa tulisan tersebut. Penjelasan kemiskinan dan ketimpangan tidak mampu menjelaskan mengapa Yala dan Narathiwat, walaupun mengalami peningkatan pendapatan setelah 2004, tetap melakukan serangan (Abuza 2011, p.21) atau penjelasan tentang etnis melayu dan pengaruh islamisasi yang gagal menjawab mengapa pada tahun 1980-2000 dan 2008-2011 konflik kekerasan cenderung menurun dan mengapa Provinsi Satun yang juga merupakan mayoritas penduduk muslim dan melayu tidak terjadi konflik kekerasan.

Masih dengan rumusan masalah yang sama: mengapa konflik kekerasan antara Muslim-Melayu dengan Thai-Buddha terjadi di Thailand Selatan?

Namun, tulisan ini mempunyai jawaban berbeda yakni konflik kekerasan ini terjadi karena adanya kepentingan elit lokal Patani yang menggunakan identitas etnik Melayu dan Islam sebagai basis mobilisasi massa. Terjadinya dinamika konflik ini bergantung pada berhasil tidaknya negara mengakomodasi kepentingan elit lokal dengan institusi yang dibentuk. Dengan demikian alih-alih melihat pendekatan instrumentalis, konstruktivis, dan institusionalis sebagai pendekatan terpisah, penulis melihat pendekatan tersebut sebagai proses yang saling berkaitan.

 

Menurut pendekatan instrumentalisme, konflik etnik terjadi karena adanya wirausahawan politik yang menggunakan identitas etnik sebagai basis mobilisasi atau fault-line untuk mencapai kepentingannya (Fearon 2004). Secara eksplisit Varshney menyebutkan bahwa “conflicts take place because leaders strategically manipulate ethnicity for the sake of political power, or for extracting resources from the state (Varshney 2009, p.282).

Chandra mendefinisikan identitas etnis sebagai segala identitas yang bersifat sticky dan visible atau atribut turun-menurun ‘descent-based attributes’ (Chandra 2006, p.414). Sticky artinya identitas yang berasal dari nenek moyang dan akan sulit diubah dalam jangka waktu yang pendek, dan sebaliknya, identitas yang tidak bersifat turunan akan dengan mudah diubah (p.415). Sedangkan visible artinya atribut identitas tersebut dapat dengan mudah dikenali baik dari nama, bentuk tubuh, maupun pakaian (p.416).

Fearon (1999) menjelaskan alasan pemilihan identitas etnik sebagai basis mobilisasi karena identitas yang tetap atau turun temurun, mampu membentuk dan mengunci “minimum winning coalition” dalam kompetisi memperebutkan sumber daya politik. Dalam kasus ini, identitas etnik Melayu dan Muslim merupakan identitas yang sticky dan visible karena merupakan identitas turun-temurun sejak Kerajaan Patani berdiri.

Terdapat tiga alasan mengapa konflik kekerasan di Thailand Selatan ini adalah konflik kepentingan elit lokal. Ketiga penjelasan tersebut juga secara tidak langsung menumbangkan argumen primordialis mengenai “ancient hatred” dengan ganti otonomi lokal.

Pertama, kebencian dan pemberontakan ini diluncurkan oleh elit-elit lokal. Pada proses inkorporasi Kerajaan Patani ke dalam Kerajaan Siam, Kerajaan Siam mengganti elit tradisional dengan pejabat sipil yang berasal dari Kerajaan Siam yang dianggap loyal. Terlebih lagi, Kerajaan Patani yang pada awalnya satu, kemudian dibagi menjadi tiga provinsi yang semakin melemahkan otoritas tradisional.

Kedua, pemimpin pemberontak berasal dari kelompok elit lokal yaitu aktor yang saling menopang mengingat Islam merupakan identitas dari Kerajaan Patani. Dengan adanya kebijakan asimilasi, maka tak hanya kekuatan Sultan Patani diperkecil, namun masyarakat Muslim Patani juga terdampak akibat hilangnya kebebasan beragama Islam, berbahasa melayu, dan mempunyai sistem pendidikan dengan sharia Islam.

Ketika Pemerintah Thailand mulai menerapkan kebijakan asimilasi dan sentralisasi, elit dari Patani yaitu Tengku Mahmud Mahyiddeen memimpin GAMPAR (Gabungan Melayu Pattani Raya) tahun 1940 melawan Pemerintah Thailand; Tengku Abdul Jalal, melobi pemerintah Inggris untuk bergabung dengan Malaysia; Tengku Bira Kotanila mendirikan PULO; Haji Abdul Karim Hassan pendiri Barisan Revolusi Nasional; dan New Pulo didirikan oleh Arong Mooreng dan Haji Abdul Rohman Bazo (Harish 2006, pp. 52-3).

Ketiga, pemberian otonomi kepada elit mampu menekan secara signifikan konflik kekerasan pada tahun 1980-1999 pada masa Perdana Menteri Prem Tinsulanonda. Dua program yang berhasil menurunkan angka kekerasan etnik adalah pembentukan Southern Borders Provinces Administrative Center (SBPAC) yang memungkinkan elit-elit lokal mengatur administrasinya sendiri dan menjaga budaya di Thailand Selatan.

Program kedua adalah Civil-Police-Military Patrol (CPM-43) yang berfungsi sebagai kontrol keamanan agar tidak terjadi extra judicial killing. Tahun 1990-an, Muslim menjadi mayoritas pemegang kekuasaan di majelis legislatif provinsi di Thailand Selatan dan menjadi Mayor disetiap kota madya sehingga terdapat perpecahan di kelompok pemberontak antara BRN dan PULO (Melvin 2007, p.29).

Konflik muncul lagi pada tahun 2004 sebagai hasil kebijakan Thaksin Sinawatra yang menghapuskan SBPAC dan CPM-43, dan malah mendeklarasikan status Darurat Operasi Militer tahun 2005 di Thailand Selatan (Council on Foreign Relations, 2008). Penghapusan kedua institusi tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan politik dari Thaksin beserta partainya yang mencoba mengganti dominasi Partai Demokrat dengan mendeklarasikan bahwa konflik di Thailand Selatan bukanlah masalah politis namun masalah kriminalitas dan keamanan (Croissant 2007, p.9).

Proses perlawanan elit-elit lokal atau cara memobilisasi massa dapat dijelaskan dengan pendekatan konstruktivisme dengan pemilihan identitas yang mencolok ‘salient’ ‘master cleavage’ dari berbagai identitas yang ada yang kemudian dimasuki oleh ‘master narative’ untuk membakar semangat dan kebencian (Varshney 2009, p. 287). Posner menjelaskan pemilihan identitas yang mencolok ini lebih mudah didapat bila identitas yang dipilih relatif sama atau lebih besar daripada wilayah dan total populasi di tempat terjadinya kontestasi politik (2004). Terdapat 80% Muslim tinggal di ketiga provinsi di Thailand Selatan dibandingkan Buddha yang hanya 22%. Dari total penduduk 2,777,542, 75% adalah etnis melayu (Nurakkate 2012, p.4). Dengan data ini, maka identitas Melayu-Muslim merupakan identitas mayoritas.

Merujuk pada tulisan Panggabean, yaitu bukan perbedaan identitaslah yang menyebabkan konflik namun konflik lah yang mempertegas adanya perbedaan etnik tersebut (Panggabean 2018, p. xxv). Setidaknya terdapat dua contoh fenomena yang menjadi basis penguatan identitas Melayu dan Muslim: (1) proses asimilasi yang berwujud pelarangan bahasa Patani dan agama Islam telah memberikan kesan bahwa keberlangsungan umat Islam di Patani terancam; dan (2) adanya penembakan 150 umat muslim di Masjid Kru Se dan penangkapan demonstran Muslim pada protes di Kantor Polisi Tak Bai (Engvall and Magnus 2014, p. 129). Penguatan identitas agama ini dicerminkan melalui penggunaan atribut keagaman dalam pergerakan mereka dan ideologi yang diusungnya. Sebagai contoh, Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP) diubah menjadi Barisan Islam Pembebasan Patani, dan tahun 1995 dibentuk Patani Islamic Mujahedeen Movement oleh Muslim relawan perang Afghanistan (Melvin 2007, p.22).

 

Konflik kekerasan di Thailand Selatan tidak berjalan konstan. Dinamika konflik ini dipengaruhi oleh respons dari Pemerintah Pusat. Thailand Selatan merupakan basis pendukung dari Partai Demokrat sejak tahun 1975-2005. Akibatnya, baik pada masa Pemerintahan Chuan Leekpai dan Abhisit Vejjajiva tetap mempertahankan institusi SPBAC, CPM-43, beserta constructive engagement dengan penduduk Thailand Selatan (Croissant 2007).

Walaupun institusi SBPAC dan CPM-43 adalah karya Prem Tinsulanonda, namun ia berasal dari militer dan tidak membutuhkan dukungan dari rakyat untuk dapat menjadi Perdana Menteri. Pada masa dominasi dan pemerintahan Partai Demokrat, tingkat konflik kekerasan di Thailand Selatan cenderung menurun. Setelah berakhirnya Pemerintahan Chuan Leekpai tahun 2001 dan digantikan dengan Thaksin, insiden kekerasan naik dari 50 di tahun 2001 menjadi 75 di tahun 2002 dan 119 di tahun 2003 (Melvin 2007, p.30).

Korelasi menurunnya konflik kekerasan dengan sikap akomodatif dari Partai Demokrat terhadap penduduk Thailand Selatan dapat dijelaskan dengan pendekatan institusionalisme terutama terkait dengan pemilu. Dalam kasus ini, Pemerintah Partai Demokrat menerapkan otonomi (federalisme) yang artinya kekuatan lokal dapat menentukan pemerintahannya dengan minimum ketetapan yang ditekan dari pemerintah pusat (Mahakanjana 2006, p.16). Artinya, dalam masa tersebut lokal elit mampu menjalankan pemerintahannya dengan basis agama Islam dan penghormatan terhadap budaya Melayu.

Wilkinson (2004) menambahkan korelasi pemerintah mau melindungi minoritas dan granting their rights karena sistem demokrasi memungkingkan terjadinya vote-pooling dimana partai politik bergantung pada suara minoritas (support base) untuk memenangkan pemilu. Hal ini terjadi pada Partai Demokrat di Thailand Selatan pada Pemilu 2011 yang mendapatkan 9 dari 11 kursi.

Kesimpulan

Konflik kekerasan etnik di Thailand Selatan bersifat kompleks sehingga memerlukan pendekatan integratif dan kompleks untuk menganalisa penyebab dan dinamika yang terjadi di dalamnya.

Temuan utama di tulisan ini adalah penyebab konflik di Thailand Selatan merupakan bentuk kepentingan elit lokal untuk memertahankan kekuasaan karena pemerintah Thailand yang terus mencoba melakukan asimilasi dan sentralisasi.

Berhasilnya mobilisasi dari elit lokal dengan pemilihan ‘master cleavage’ etnik Melayu dan Muslim dikarenakan gagalnya institusi yang dibentuk pemerintah pusat untuk mengakomodir kepentingan elit lokal. Adanya SBPAC dan CPM-43 nyatanya berhasil menekan angka kekerasan walaupun bukan berarti menghilangkannya.

Dengan demikian, penulis cenderung melihat konflik ini sebagai hal yang saling memengaruhi dimana kegagalan institusionalisme menyebabkan keberhasilan mobilisasi etnik oleh elit lokal dan sebaliknya.

 

 
Berita Terpopuler