Kucing-kucingan dengan Pangdam

Pangdam Pattimura marah karena saya menuliskan istilah Pangdam Ngumpet.

Republika/Daan Yahya
Harun Husein
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Harun Husein

Baca Juga

"Ambon Jadi Kota Mati; Lima TNI Dibunuh, Pangdam Bersembunyi". Itulah judul berita yang menjadi halaman muka Republika pada Rabu, 29 Desember 1999. Berita yang membuat saya akhirnya terlibat kucing-kucingan dengan Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XIV/Pattimura, Brigadir Jenderal Max Markus Tamaela. Cerita yang membuat saya dan teman-teman sesama jurnalis di Ambon selalu tertawa geli bila mengingatnya.

Hari itu, Selasa, 28 Desember 1999, suasana Ambon dan daerah-daerah lainnya di sekitarnya benar-benar diselimuti asap, suara ledakan, teriakan, tangisan, dan ketegangan. Kerusuhan ini merupakan fase keempat. Tiga fase lainnya adalah Januari, Juli, dan September. Pada Desember itu api kerusuhan merambat dari Pulau Buru memasuki Pulau Seram, Maluku Utara, juga Ambon.

Namun hari itu suatu situasi di Ambon agak berbeda dibandingkan kerusuhan fase-fase sebelumnya. Para prajurit TNI dari Kodam Pattimura, juga berhamburan mencari selamat. Bunyi bom bersahut-sahutan dari arah Jalan Diponegoro di kawasan Urimessing, tempat kantor Kodam berdiri.

Di hotel Abdulalie, Waihaong, Selasa sore, sejumlah orang berambut cepak terlihat menenteng tas-tas berisi pakaian. Wajah mereka menyiratkan ketegangan. Beberapa di antaranya bukanlah wajah asing karena bertugas di bagian penerangan Kodam.

Usut punya usut mereka ternyata menjadi pengungsi. Beberapa di antaranya curhat bahwa Kodam sudah di bom. Tentara yang Muslim lari ke daerah Muslim, sementara tentara yang Kristen lari ke daerah Kristen. Kodam sendiri berada di daerah Kristen.

Lantas kami pun bertanya apakah Pangdam sudah pulang dari Jakarta. Dengan nada dongkol, seorang perwira mengatakan sebenarnya Pangdam sudah berada di Ambon sejak Senin. 27 Desember. Namun Pangdam ternyata tak kunjung memasuki Kota Ambon. "Dia (Pangdam) ngumpet di Halong," kata sang perwira dengan nada kesal.

Yang dimaksud Halong oleh sang perwira adalah Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Halong, yang berada di Teluk Ambon, sekitar 7 hingga 8 km dari pusat kota. Dari Halong menuju pusat kota, melewati beberapa perkampungan homogen. Mulai dari Galala (Kristen), Batu Merah (Islam), hingga Mardika (Kristen).

"Kalau memang Pangdam takut masuk kota, dia kan bisa naik panser supaya tidak kena tembakan. Kenapa harus sembunyi di Halong," kata perwira itu lagi-lagi dengan nada kesal.

Keadaan saat itu memang luar biasa genting. Sniper bertebaran di sejumlah gedung, di antaranya gedung PLN di kawasan Simpang Empat Tugu Trikora. Mereka membidik sasarannya siang malam.

Setiap saat ada yang dibopong karena terkena peluru, tetapi aparat yang diharapkan mengambil peran mengamankan situasi, malah justru menjadi sasaran. Padahal Korem 174/Pattimura sengaja ditingkatkan menjadi Kodam XVI Pattimura, enam bulan sebelumnya, justru agar lebih punya power dalam mengendalikan situasi.

Mengingat fakta bahwa Kodam sudah dibom dan informasi Pangdam sudah tiba di Ambon sehari sebelumnya dari sumber yang terpercaya, saya akhirnya memutuskan menulis istilah "Pangdam ngumpet". Apalagi ada kuat seorang perwira tinggi Kodam yang mendukungnya.

Keesokan harinya setelah berita itu naik cetak, Pangdam marah besar. Pangdam yang dilantik 15 Mei 1999 itu sibuk melakukan pencarian. "Mana Harun? Mana Republika?" Pertanyaan itu selalu dikemukakan Pangdam setiap kali menggelar konferensi pers di Kodam atau rumah dinasnya, tak jauh dari Rumah Sakit Tentara (RST). Dan, nada suara serta ekspresinya, kata rekan jurnalis lain, memang memperlihatkan sungguh-sungguh marah.

Ongkie Anakoda, wartawan Ambon Ekspress dan koresponden majalah Tajuk di Ambon; Din kelilaw, Kepala Biro Antara di Ambon; Mochtar Touwe, wartawan Gatra; Irwan wartawan kantor berita Associated Press, dan lain-lain, selalu pulang membawa cerita pascakonferensi pers sambil terbahak-bahak. "Run, Pangdam marah besar, sampai-sampai kumisnya naik-naik," kata Ongkie Anakoda sepulang konferensi pers.

Karena sampai berhari-hari Pangdam masih rajin menanyai: "Mana Harun? Mana Republika?" Teman-teman menyarankan saya jangan dulu ikut konferensi pers. Alhasil untuk mendapat berita hasil konferensi pers Pangdam tentang situasi keamanan di Maluku, saya biasanya menunggu di rumah kopi di depan Masjid Alfatah. Saat teman-teman datang dan ngopi, biasanya saya langsung meminjam pertama dan menyalinnya.

Begitulah sampai suatu saat saya akhirnya ikut konferensi pers di kediaman Pangdam, saat rekan-rekan jurnalis Kristen sedang memboikot konferensi pers Pangdam. Dikawal dua mobil tentara, saya dan teman-teman memasuki wilayah Kristen. Dan sampai ke rumah dinas Pangdam, saya pun langsung mencari tempat aman dan nyaman dengan mengambil tempat duduk di deretan kursi paling belakang.

Saat itu sudah memasuki awal Januari 2000, saya pikir Pangdam telah lupa dengan berita yang saya tulis dulu. Namun ternyata dia tetap saja menanyakan: "Mana Harun? Mana Republika?" Saya yang duduk di belakang pun hanya terdiam. Teman-teman lain pun "mengheningkan cipta". 

Suasana saat itu sedikit tegang Din Kelilaw angkat bicara. "O, Republika nggak datang, Pak," katanya sambil tersenyum. Teman-teman lainnya pun hanya menengok ke belakang sambil berkedap-kedip.

Kapendam, Iwa Budiman dan beberapa staf Kodam yang sudah saling kenal, juga hanya senyum-senyum. Saat itu kami semua terlibat "konspirasi TST"! Hanya Pangdam yang terdengar terus-menerus merutuk soal berita Republika yang menulis dia ngumpet dan berita-berita lainnya, baik yang ditulis Republika maupun orang lain.

Dan, Irwan langsung mengalihkan perhatian Pangdam. Bila kami selalu menyebut Max Tamaela dengan sebutan Pak Max, Irwan menggunakan cara lain. Dia selalu menggunakan diksi "Jenderal". "Bagaimana perkembangan situasi keamanan, Jenderal. Apa langkah yang telah diambil, Jenderal, dan seterusnya". Dan, mendengar cara bertanya Irwan, Pangdam pun sumringah dan perhatian pun langsung bisa dialihkan.

Pangdam yang belum lama menjabat itu memang tidak terlalu mengenal satu per satu wartawan yang meliput, terutama wartawan junior seperti saya saat itu. Kerusuhan memang cukup membatasi sosialisasi wartawan dengan aparat Kodam, khususnya bagi wartawan Muslim yang memang tidak leluasa ke Kodam. Situasi itu memberi keuntungan tersendiri. Tak kenal maka tak kena masalah!

Maka hari itu saya pulang dari lokasi konferensi pers dengan perut yang nyaris karena terus-menerus tertawa.

*Disarikan dari buku Cerita di Balik Berita, 99 Kisah Wartawan Republika.

 
Berita Terpopuler