Hijrah Seperti Nabi

Hijrah mendorong semangat perubahan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.

Hijrah, ilustrasi
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dudung Abdurahman, Guru Besar Sejarah Islam UIN Sunan Kalijaga.

Momentum hijrah Tahun Baru Islam 1 Muharam 1442 H bertepatan dengan 20 Agustus 2020 menarik perhatian publik lantaran juga beriringan dengan suasana peringatan Kemerdekaan Indonesia. Selain momentum ini telah menjadi tradisi umat Muslim Nusantara, istilah hijrah kini juga tengah populer dalam perilaku keagamaan kaum milenial dan selebritis, tetapi hijrah dalam arti luas bisa menjadi tindakan masyarakat pada pusaran pandemi.

Hijrah dalam pengertian bahasa, yaitu berasal dari kata kerja Arab, hajara artinya pindah atau meninggalkan tempat lama menuju ke tempat yang baru. Maksudnya adalah berpindah atau keluar dari satu tempat ke tempat lain yang lebih baik dan aman bagi keselamatan. Namun yang sepadan dengan pengertian kata tersebut adalah transformasi, mobilisasi, dan perubahan-perubahan lainnya.

Hijrah lebih luas lagi maknanya bukan hanya dilakukan perubahan secara fisik, melainkan yang terpenting lagi adalah perubahan spiritual. Yakni meninggalkan segala keburukan dalam perkataan maupun perbuatan dan menggantinya dengan segala perbuatan baik dalam ketaatan kepada Tuhan.

Sejarah

Kosakata hijrah dalam sejarah pertama kali berkenaan dengan peristiwa berpindahnya umat Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam dari Mekkah ke Habsyi, kemudian ke Thaif, dan selanjutnya hijrah dipimpin oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam beserta para sahabatnya dilakukan ke Madinah. Semua hijrah ini secara sosial terjadi sebagai pencarian suasana aman akibat desakan dan ancaman kalangan musyrikin Quraisy Mekkah atas dakwah Nabi Muhammad.

Hijrah Nabi Muhammad ke Yatsrib terjadi juga atas perintah Tuhan dalam rangka menyelamatkan dakwah Islam dan umatnya dari cengkraman serta ancaman musyrikin Quraisy Mekkah. Selain itu situasi masyarakat Yastrib ketika itu telah mendukung keamanan dan penyebaran Islam. Meski keragaman sosial maupun agama juga hampir sama dengan Mekkah, tetapi Yastrib menunjukkan keadaannya yang lebih maju, setidaknya dalam sosial dan budayanya.

Nabi Muhammad dan para sahabatnya memperoleh suasana aman pascahijrahnya di Yatsrib pada 12 Rabiul Awwal atau 14 September 622 M. Di sana beliau Shalallahu Alaihi Wassalam mendakwahkan Islam, yang dimulai dengan pembangunan Masjid Kuba, dilanjutkan dengan pembangunan Masjid Nabawi.

Kehidupan sosial dan keagamaan mulai diperbaiki, khususnya atas dukungan dan peran kebersamaan antara kelompok Muhajirin (Muslim berasal dari Mekkah) dan Anshar (Muslim penduduk asli Yatsrib). Atas kemajuan dan perubahan penting di daerah hijrah ini, maka berubahlah nama kota tersebut menjadi Madinah, artinya kota yang maju dan berperadaban.

Atas momentum hijrah dan suasana kemajuan Madinah itulah, kemudian di masa pemerintahan Muslim dalam kepemimpinan Umar bin Khattab radhiyallahu anhu, yaitu sekitar 19 tahun setelah hijrah Nabi di Yatsrib itu, khalifah Umar menetapkan momentum hijrah tersebut sebagai kalender Muslim. Karena itulah hingga kini penghitungan kalender muslim yang sudah mencapai 1441 ini disebut kalender hijriah, bukan kalender Islam yang terhitung dari sejak lahirnya agama ini pada tahun 610 Masehi, awal diturunkan wahyu Alquran kepada Nabi Muhammad di Mekkah, melainkan dari pertumbuhan dan transformasi masyarakat Muslim di Madinah.

Menelisik makna hijrah dari kesejarahannya pada masa Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam atas kehidupan aktual kita masa kini, dapat mendorong semangat perubahan masyarakat menuju kehidupannya sebagai umat yang lebih baik (khair umah). Keadaan ini dapat bercermin secara sosio-antropologi dari fenomena sejarah Madinah dengan prinsip-prinsip kehidupan masyarakatnya yang dibangun oleh Nabi selama lebih kurang sepuluh tahun.

Pertama, pembangunan Madinah dilakukan atas prinsip al-ikha (persaudaran) antara dua kelompok besar, Muhajirin dan Anshar, pada masanya terjalin dalam pembentukan keluarga, kerjasama ekonomi, dan dakwah. Kehidupan mereka juga dikembangkan dalam prinsip al-musawwa (persamaan), terutama atas kesamaan beriman berdasarkan prinsip tauhid. Semangat hijrah pada masa itu berhasil mempersaudarakan muslim dalam satu keimanan, yang terbebas dari perbedaan kelompok serta kecenderungan sifat dan perilaku syirik.

Prinsip demikian mengalami perubahan sesudah periode Nabi hinga masa kita dewasa ini. Antara lain disebabkan suburnya pertumbuhan aliran-aliran keagamaan, yang pada gilirannya melahirkan kelompok aliran (firqah-firqah) dalam Islam. Karena itu semangat hijrah sekarang mesti dikembangkan atas prinsip "bersatu tetapi tidak harus sama, dan bersama tidak harus sepandangan". Persatuan mesti dibangun berbasis keimanan tauhid, tetapi atas kesediaan semua pihak untuk saling mengerti, saling memahami dan saling menenggang rasa.

Sejarah menunjukkan Madinah berkembang dalam kehidupan masyarakat yang beragam. Bukan saja umat Muslim yang terdiri dari dua kelompok tersebut di atas, melainkan di sana juga terdapat kelompok sosial beragama Nasrani dan Yahudi. Untuk ini Nabi membangun Madinah atas prinsip al-tasammuh (toleransi) yang dikembangkan dengan prinsip al-tasyawwur (musyawarah). Karena itu, meskipun kepemimpinan Nabi Muhammad berlaku atas otoritas teokrasi, tetapi beliau Shalallahu Alaihi Wassalam juga tidak mengabaikan kedaulatan rakyat.

Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam memberikan kemerdekaan individu, kebebasan beragama, hak sebagai warga sosial dan negara. Sebagaimana kehidupan sosial-politik yang diatur dalam Piagam Madinah, secara garis besar berkenaan dengan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan sosial, hukum, dan ekonomi, perlindungan negara terhadap warga negara, dan hak serta kewajiban warga negara.

Sejarah serupa ditunjukkan dalam hijrah kemerdekaan Indonesia, yang kini diperingatinya yang ke-75 pada 17 Agustus 2020. Diketahui negara merdeka ini adalah bentuk hijrah dari masa kolonial, yang kemerdekaannya itu juga dikembangkan berdasarkan Pancasila dengan prinsip keyakinan kepada Tuhan, nasionalisme, humanisme, demokrasi, dan keadilan sosial. Khususnya tentang sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang sejatinya adalah prinsip keagamaan dan kebebasan beragama, kini mesti dihijrahkan maknanya menjadi "merdeka beragama". Artinya agama berfungsi independen sebagai landasan etik terhadap implementasi sila-sila lainnya dari Pancasila itu, dan dilakukan oleh setiap kelompok agama. Bahkan merdeka beragama yang sesungguhnya adalah bukan sebatas menyangkut segi-segi lahiriah keagamaan, melainkan jauh penting lagi adalah berdasarkan segi-segi batiniah atas segala perilaku bangsa yang merdeka ini.

Sementara itu, semangat kemerdekaan tersebut juga menemukan relevansinya dengan prinsip-prinsip al-ta’awwun (tolong menolong) dan prinsip al-’adalah (keadilan) pascahijrah Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam di Madinah. Bahkan sangatlah berarti bagi penanggulangan sosial dalam suasana pandemi sekarang.

Dalam konteks ini khususnya, negara melindungi dan menjaga keadilan sosial masyarakat. Nilai agama menyeimbangkan hal tersebut dengan ajaran moral untuk toleransi, bergotong-royong, saling berbagi dan berpeduli sosial mengatasi berbagai kesulitan masyarakat, yang dilakukan dengan pemberdayaan zakat, sedekah, infak, serta bentuk kedermawanan lainnya.

Semangat hijrah sekarang diharapkan dapat menumbuhkan optimisme, syukur, dan sabar, seperti halnya semua itu juga telah menjadi menjadi jiwa para pejuang kemerdekaan Indonesia dan para para pejuang penanggulangan wabah Covid-19. Masih sangat relevan apa yang disampaikan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu untuk penyemangat kita sekarang. Ali radhiyallahu anhu berkata, "Bukanlah kesulitan yang membuat kita takut, tetapi ketakutanlah yang membuat kita sulit. Maka jangan pernah mencoba untuk menyerah, dan jangan pernah menyerah untuk mencoba. Lalu jangan katakan kepada Allah, ‘aku punya masalah’. Tapi katakanlah kepada masalah, ‘aku punya Allah Yang Maha segalanya’”.

Semoga bermanfaat.

-- Yogyakarta, 17 Agustus 2020

 
Berita Terpopuler