Soal RUU PKS, LPSK: Korban Kekerasan Seksual Terus Naik

KUHP tidak mampu menjangkau kekerasan seksual yang berkembang saat ini.

Foto : MgRol112
Ilustrasi Kekerasan terhadap perempuan.
Red: Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memandang penting pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Hal ini seiring dengan meningkatnya grafik permohonan perlindungan dari para korban kekerasan seksual kepada LPSK.

Baca Juga

Selama 2016, LPSK menerima 66 permohonan dari kasus kekerasan seksual. Kemudian, naik menjadi 111 permohonan pada tahun 2017.

Lalu, melonjak ke angka 284 pada tahun 2018, terus naik pada tahun 2019 menyentuh angka 373. Hingga 15 Juni 2020, kata dia, jumlah terlindung LPSK dari kasus kekerasan seksual sebanyak 501 korban.

Wakil Ketua LPSK Livia Istania Iskandar mengatakan angka permohonan perlindungan maupun jumlah terlindung LPSK itu belum dapat menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya.

Ia meyakini angka kekerasan seksual sebenarnya lebih besar sebab tidak semua korban mau melanjutkan perkara ke ranah pidana. Karena itu, ia pun menyesalkan keputusan dikeluarkannya RUU PKS dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. 

 "Jumlah terlindung LPSK belum menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya karena Pasal 28 UU Perlindungan Saksi dan Korban mensyaratkan permohonan perlindungan bisa diberikan, salah satunya karena adanya tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban," kata Livia dalam keterangannya, Jumat (3/7).

Livia berharap kehadiran RUU PKS mampu membantu dan mempermudah penegak hukum menjerat pelaku kekerasan seksual. Apalagi, jenis dan modus kekerasan seksual makin beragam.

Pada kasus kekerasan seksual, kata Livia, banyak kasus yang proses hukumnya tidak dapat dilanjutkan karena alat bukti dan rumusan norma pasal kurang. KUHP, menurut dia, tidak mampu menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang berkembang saat ini sehingga berimplikasi pada cara pandang penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum.

"Misalnya, pemahaman bahwa pemerkosaan itu dimaknakan sebatas adanya penetrasi alat kelamin pria ke alat kelamin perempuan, padahal definisi pemerkosaan telah berkembang dalam berbagai literatur, aturan, dan praktik hukum di internasional maupun di negara lainnya," kata Livia.

 
Berita Terpopuler