Kisah Snouck Hurgronje Saat Berada di Makkah

Kisah hubungan Snouck dan Makkah

Republika.co.id
suasana haji yang difoti Snouck Hurgronje saat di Makkah.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Seperti apa sih kisah Sncouk Hurgronje saat berada di Makkah? Setidaknya kisah ini terlacak pada buku, Mencari Arab, Melihat Indonesia karya Kevin W Fogg . Di sana diceritakan bila Snouck Jurgronje tidak hanya berinteraski dengan orang-orang Arab selama berada di Tanah Suci. Ia juga memberi perhatian khusus pada orang-orang yang berasal dari Asia Tenggara, yang disebutnya sebagai masyarakat ‘Jawah’.

Mereka terutama berasal dari wilayah yang berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda, sebagai buktikan dalam buku Snouck Hurgronje tentang Makkah. Pengamat-pengamatannya mengenai kelompok ini menunjukan bias Arabnya yang kental. Komentar-komentar awal mengenai orang-orang Asia Tenggara dalam bukunya ‘Makkah in the Later Half of  the Nineteenth Century’ membicarakan watak mereka yang mengagumkan.

Snouck Hurgonje menulis begini: ‘’Hanya orang ‘Jawah’ (orang-orang dari kepulauan Hindia Timur dan Malaya) yang dapat dikatakan semuanya menjadi orang-orang Makkah yang bebas dari segala bentuk kepentingan duniawi, meskipun sebagian orang ini setelah beberapa tahun tinggal, tetapi tidak memiliki kenginan besar menjadi orang Makkah).

Gambaran mengenai orang Indonesia yang sederhana ini (dengan segala konotasi negatif dan positifnya) muncul berulang-ulang di seluruh karya Snouck Hurgronje. Namun konotasi-konotasi negatif jauh lebih dominan, dalam konteks inferioritas ‘Jawah’ terhadap bangsa Arab dalam masalah agama dan sekular,

Sebagai contoh, saat menggambarkan ajaran di Masjidil Haram Makkah. Snouck Hurgronje menulis  bahwa seorang guru besar Jawah kini sangat jarang ditemukan di Masjidil Haram. Ketika di pagi hari kami berjalan di jalanan sekiat masjid, kami bertanya kepada seorang penduduk Makkah tentang betapa sedikitnya guru besar dari kalangan orang-orang Jawah, ia langsung menunjukkan pada kami guru besar Zain ad-Din dari Sumbawa, dan menambahkan bahwa tidak ada guru besar lain, dari  ras itu yang ditemukan di sini. Alasannya sebagian karena watak yang paling sederhana dab zuhud dari masyarakat ini. Sebagian lagi karena kebutuhan khusus para mahasiswa ‘Jawah’.

Teks ini menjelaskan pandangan-pandangan implisit Sncouk Hurgronje bahwa masyarakat di kepulauan tersebut berbeda bahwa masyarakat inferior terhadap inti Islam di Arab. Pertama, dan yang paling jelas, hanya ada suatu guru besar Jawah di antara lautan orang Mesir, Handramaut, dan Asia Tenggara hanya kurang 2% dari para sarjana hebat, meskipun jumlah kaum Muslim dan jamaah haji yang cukup banyak.

Kedua, referesinya terhadap kebutuhan-kebutuhan khusus para mahasiswa ‘Jawah’ tampak merujuk pada kemampuan linguistik yang kurang baik dalam bahasa Arab, selain juga pengalaman-pengalaman keagamaan yang minim di kalangan komunitas ‘Jawah’ tersebut.Meskipun kita dapat memaklumi yang pertama karena bahasa Arab bukan bahasa ibum tetapi kurangnya pengalaman agama yang dianggap sebagai tanda kurangnya morlitas dan pengabdian mereka terhadap agama.

Ketiga, penggunaan istilah ‘sederhana’ dan ‘zuhud’ untuk menggambarkan orang :jawah’ tidak hanya membawa pujian moderat, tetapi juga kritik implisit. Berbeda dengan penyebutan yang ia lakukan berulang-ulang terhadap inisiatip dan kecerdasan penduduk Hadramut, yang sangat ia hormati dan kagumi. Zuhud misalnya menunjukan watak pasrah orang-orang Hindia Belanda, dan bahkan kesahajaan yan dimaksud mungkin juga merupakan pengakuan diam-diam terhadap keunggulan para kandidat lain dari bangsa Arab.

 

Bukan berati Snocuk Hurgronje tidak mencintai orang-orang Jawah, baik yang ada di Makkah maupun di kepulauan asli mereka di Nusantara. Sebaliknya, dia dikenal memiliki hubungan yang sangat baik dengan orang-orang Jawah di Makkah, ia menjalin persahabatan yang erat dengan guru pribadinya Aboe Bakar Djajadiningrat, bahkan ketika dia berada di Batavia.

Namun bias Arab Snuck Hurgronje tampak lebih jelas saat ia berada di Hindia Belanda melalui orang-orang terdekatnya: banyak di antara mereka termasuk penghubung-penghubung pertamanya di Hindia Belanda, bukanlah orang-orang Muslim pribumi, tetapi orang-orang Arab Hadramaut yang ada di  kepulauan Nusantara. 

Dia pun sangat dikenal dekat dengan Sayid ‘Utsman, penasihat untuk urusan-urusan Arab sejak 1891, yang menjadi sumber informasi yang dianggap konsisten dan lebih penting bagi Snouk Hurgronje berkaitan dengan ortodoksi dan praktk Islam dibandingkan orang-orang Muslim pribumi.

Dalam tulisannya mengenai Makkah, Snocuk Hurgronje berulang kali mengungkakan biasnya mendukung orang-orang Arab dibandingkan orang-orang Asia Tenggara. Meskipun tren ini awalnya dimapankan dalam bukunya tentang Makkah, tetapi juga dibubuhkan pada karya-karyanya kemudian tentang Hindia Belanda, di mana ia  senantiasa menyebabkan adat kebiasaan dan praktik-praktik di Makkah secara berulang-ulang.

Kiasan-kiasan ini menunjuk pada fakta ia menerima praktik Islam sebagaimana ia temukan di kalangan orang-orang Arab sebagai standar evaluasinya, dan masyarakat Islam di Hijaz sebagai sumber normatif dalam analalisanaya kemudian. Lensa Arab ini terus berlanjut, bahkan ketika fokus akademiknya berpindah ke wilayah Asia Tenggara.

 
Berita Terpopuler