Islam Dalam Kehidupan Keagamaan dan Kepercayaan Menak Sunda

Kisah Islam di dalam benak para Menak Sunda

gahetna.nl
Sebuah keluarga Menak Sunda
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID -- Beginilah sebuah tinjauan sisi kebatinan elit sunda (Menak Sunda) dalam kajian yang ditulis pada sejarawan Unpad, DR Nina H Lubis. Dalam disertasi yang ditulis untuk menyelesaikan studi doktor sejarahnya di Universitas Gajah Mada yang berjudul 'Kehidupan Menak Priangan 1800-1942' Nina H Lubis berbicara banyak mengenai sisi batin elit Sunda dalam penghayatannya terhadap agama Islam. Hasil penelitan itu begini:

Bila melihat banyaknya anak-anak ménak yang masuk pesantren pada usia remaja pada abad ke-19, diharapkan bahwa mereka menjadi pemeluk Islam yang taat. Akan tetapi, bila dilihat dalam uraian-uraian terdahulu yang berkaitan dengan agama, masih perlu dijelaskan sejauh mana religiusitas mereka.

Seperti telah dikemukakan, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan bupati sebagai kepala agama Islam di kabupatennya. Di balik pengangkatan ini tersirat maksud pemerintah agar bupati juga mengawasi perkembangan agama ini, terutama setelah terjadinya berbagai kerusuhan pada abad ke-19 yang dimotori para kiai dari pesantren-pesantren yang tersebar di pedesaan.
Tentu saja hal ini bisa dianggap sebagai beban bagi para bupati. Mereka menghadapi dilema karena bila mereka memperlihatkan diri sebagai muslim yang taat, penguasa yang sholeh, akan me- ngundang kecurigaan pemerintah, tetapi bila mengurangi kete- kunannya beribadah, bisa menjauhkan mereka dengan rakyat. Karena ingin menyenangkan penguasa asing, para pejabat priyayi bersikap hati-hati agar tidak terlihat fanatik. Hal ini meng- akibatkan mereka kehilangan sambungan dengan dunia Islam. Dalam situasi yang dilematis begitu, beberapa bupati masih sempat melaksanakan ibadah haji. Sepanjang abad ke-19 tercatat beberapa orang ménak bawahan dan kerabat bupati yang juga melaksanakan rukun Islam yang kelima itu.

Sebagai kepala agama Islam di kabupaten, para bupati harus inenyelenggarakan acara-acara ritual maupun seremonial pada hari-hari besar Islam. Pada waktu Idul Fitri para bupati biasanya memakai jubah Arab (baju gamis) yang dimaksudkan untuk lebih menonjolkan keislamannya. Penampilan hidup bergaya islami secara fisik belum tentu diimbangi sikap batin islami. Misalnya: dalam perkawinan, seperti telah diungkapkan, sering terjadi kesewenang wenangan dalam menceraikan istri. Perseliran tanpa pernikahan, palagi jumlahnya puluhan bahkan ratusan, jelas bertentangan dengan syariah Islam.
Adanya penghulu yang juga merangkap menjadi rentenir, jelas tidak islami. Seperti telah dikemukakan, seseorang itu diangkat menjadi penghulu, sebenar- nya bukan karena pertimbangan pengetahuan di bidang agama semata-mata atau kesalehannya, tetapi faktor keturunan pun menjadi pertimbangan. Misalnya saja, Hoofdpenghulu Limba- ngan, Haji Muhamad Musa, ayahnya seorang penghulu, kemudi- an salah seorang putranya juga menjadi penghulu. Haji Muhamad Rusdi diangkat menjadi Hoofd-penghulu di Kutaraja mengganti-kan Haji Hasan Mustapa karena ia adalah keturunan para penghulu terkemuka yang termasuk kelas ménak juga.(

Faktor keturunan ini penting karena para penghulu sebagai ulama birokrat diharapkan akan memiliki loyalitas yang tinggi kepada peme- rintah sebagaimana para ménak birokrat umumnya. Bupati yang terlalu menonjolkan kesalehannya, terlepas dari apapun motivasi- nya, bisa dicurigai dan menimbulkan konflik. R.A.A. Wiranata- kusumah, satu-satunya bupati di Priangan yang digelari Dalem Haji, merupakan satu contoh kasus. Seperti telah diuraikan, bahwa dua orang Asisten Residen Bandung, memberikan penilaian negatif dalam conduitestaat bupati tersebut dan juga dalam memorie van overgave yang mereka tulis. Pada acara Idul Fitri di depan tamu-tamu Eropa, Bupati Bandung yang memakai jubah Arab itu membiarkan kakinya dicium oleh istri, kaum-kerabat, dan bawahannya. Verschuir menyebut R.A.A. Wiranatakusumah seperti sedang bermain operet.

Sebenarnya, acara semacam itu sudah menjadi tradisi setiap tahun. Kemungkinan sikap antipati dari para asisten-residen ini pula yang menyebabkan koran Soerapati dibiarkan dengan bebas mencaci-maki Bupati R.A.A. Wiranatakusumah tanpa mengindahkan etika sama sekali. Menurut pengamatan putrinya, yang menyertai Bupati Bandung ini dalam kunjungan-kunjungan ke pedesaan, ayahnya tampak begitu populer karena ia mau berbicara dan mendengarkan rakyatnya. Popularitasnya di mata rakyat, bisa saja dipandang membahayakan pemerintah, apalagi ia pernah bersimpati kepada Sarekat Islam. Ia juga menuliskan perjalanannya ke Mekah dan menulis buku mengenai Islam.

Bupati ini pernah mempromosikan pembuatan mesjid agung yang indah karena mesjid yang ada dianggap sudah tidak memadai. Hal yang terakhir ini tidak sempat terlaksana karena tidak diizinkan oleh Asisten Residen Hillen dengan alasan pembiayaannya direncanakan akan dibebankan kepada rakyat. Bagaimanapun semua ini menampilkan diri bupati sebagai pemimpin pribumi yang taat beragama meskipun di satu nisi ia seperti juga para leluhurnya, memiliki istri berganti-ganti. Jadi, dalam hal yang satu ini, adat mengalahkan agama. Hal ini sekaligus merefleksikan bahwa pemahaman dan penghayatan agama Islam pada saat itu belum maksimal.



 

 

Tokoh lain yang juga dipandang amat sholeh adalah Pangeran Aria Suriaatmaja, satu-satunya bupati di Priangan yang digelari Pangeran Makkah. Penampilan seremonial keislamannya tidak terlalu menonjol, tetapi sikap batin islaminya lebih kentara. Bahkan, ia berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ayahnya yang beristri 37 orang. Istrinya hanya satu orang dan konon, ia amat pemalu terhadap wanita ketika remaja. Di mata rakyat ia dianggap bupati yang keramat seperti wali, kata-katanya bertuah (dalam peribahasa Sunda, saciduh metu saucap nyata). Dalam hal ini konsep agama sudah berbaur dengan konsep kepercayaan. Para bawahan bupati yang menghadap pada hari lebaran, senantiasa berharap akan mendapat berkahnya, karena kekeramatannya yang sudah terkenal ke mana-mana.

Warna pemikiran tradisional dalam bentuk kepercayaan, juga terlihat dari adanya bupati yang dianggap memiliki ilmu tertentu; misalnya, Bupati Sukapura ada yang memiliki ilmu penarik hati wanita (pamélét) dengan menggunakan tali roma atau cimata buaya (air mata buaya). Bupati R.A.A. Wiranatakusumah juga memiliki ilmu penyembuhan tradisional dan bisa menghipnotis orang sehingga orang tersebut bisa melakukan apa yang disuruhnya.( Konon ia tidak tamat sekolah H.B.S.-nya gara-gara keranjingan ilmu ini. (

Ada juga kepercayaan tentang hubungan manusia dengan alam gaib. Di Ciamis, orang percaya bahwa mahluk halus yang disebut onom dan bertempat tinggal di Rancaonom (artinya rawa tempat onom) selalu melindungi para bupati Galuh dan keturunannya. Oleh karena itu, dalam setiap perhelatan di kabupaten selalu disediakan ruangan khusus untuk menghidangkan makanan untuk onom. P.A.A. Djajadiningrat yang menikah dengan putri Bupati Galuh, seperti telah diceritakan, juga menyaksikan hal ini. Menurut cerita yang amat dipercayai masyarakat setempat, waktu terjadi pemberontakan komunis tahun 1926, bupati dan seorang upas sudah dikepung kaum pemberontak di alun-alun kabupaten. Tiba-tiba di belakang Bupati R.A.A. Sastrawinata seperti ada ri- buan onom bersenjata sehingga orang-orang komunis yang ber- maksud membunuh bupati dan keluarganya, lari tunggang-lang- gang.(

Di Cianjur, Bupati Radén Aria Wira Tanu Datar dipercayai pernah menikah dengan putri jin yang cantik. Dari perkawinan itu lahirlah Radén Suriakancana, Nyai Radén Indang-kancana, dan Radén Andaka Wirusajagat. Ketika anak-anak ini masih kecil, diayun dalam gendongan kain. Tiba-tiba mereka menghilang. Konon, ketiganya diambil oleh ibunya. Hingga kini, Radén Suriakancana dipercayai ngageugeuh (menjadi penunggu) Gunung Gede Cianjur; Nyai Indangkancana ngageugeuh Gunung Ciremai, Cirebon, dan Radén Andaka ngageugeuh Gunung Kumbang, Karawang.

Bila keturunan bupati Cianjur mengadakan hajatan, Eyang Suryakancana tidak boleh dilupakan. Sesaji yang terdiri atas air kopi pahit dan manis, air teh, serutu, congcot (tumpeng) kecil, ayam, telur, dan lain-lain harus disimpan di atas para (ruangan antara atap dan langit-langit rumah) oleh keturunan langsung bupati Cianjur. Bila orang lain yang menyim- pannya, akan timbul sesuatu yang tidak diinginkan. Bila hajatan besar, misalnya khitanan anak bupati, biasanya diadakan iring- iringan yang menyediakan kuda kosong lengkap dengan pelana dan payung kebesaran untuk Eyang Suryakancana. Kalau kuda itu tampak berkeringat dan kepayahan seperti ada beban berat di punggungnya dan sesaji yang disediakan ada yang berkurang, itu tandanya mahluk halus itu datang.

 Diceritakan, suatu ketika seorang keturunan bupati Cianjur mengawinkan anaknya dengan keturunan bupati Galuh. Dalam acara hajatan itu, kedua keturunan bupati ini saling membanggakan mahluk halus kepercayaan masing-masing tanpa ada yang mau mengalah. Konon, akibatnya pengantin wanita hilang ketika akan dilangsungkan akad nikah. Pengantin wanita ditemukan kembali setelah keduanya minta maaf kepada mahluk halus kepercayaan masing-masing

Bentuk lain tentang adanya hubungan dengan alam gaib ini, juga diwujudkan dalam bentuk ziarah yang senantiasa dilakukan kaum ménak bila hendak melakukan sesuatu yang penting agar mendapat berkah dan keselamatan. Misalnya, waktu anak akan dikhitan, sebelum bulan puasa, setelah hari Idul Fitri, dan lain-lain. Jadi arwah para leluhur dihormati dengan adanya anggapan bahwa ruh mereka masih bisa menjadi pelindung. Penghormatan kepada leluhur juga dilakukan dalam bentuk pembangunan makam yang megah yang di bagian atasnya dilengkapi dengan cungkup. Sebagai penghormatan khusus bagi bupati yang telah me- ninggal di belakang namanya ditambahkan kata suwargi (almarhum) yang berasal dari kata suarga (sorga).

Kaum ménak yang meninggal biasanya dimakamkan dalam suatu kompleks pekuburan khusus milik keluarga. Di beberapa kompleks pema-kaman dapat dilihat bahwa kavling-kavling makam itu sudah ditentukan peruntukannya sehingga makam seorang bupati bisa berdekatan dengan makam radén ayu-nya, seperti pemakaman keluarga Bupati Sumedang di Gunung Puyuh misalnya. Makam seorang bupati juga kadang-kadang berdekatan dengan para bupati pendahulunya, seperti bisa dilihat di Kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Karanganyar.

Bila kompleks makam keluarga sudah penuh, dibuat kompleks yang baru di tempat lain. Pemakaman ménak Sumedang misalnya, selain di Gunung Puyuh ada juga yang bertempat di Dayeuh Luhur, di Gunung Ciung, dan di Pasarean Gede. Adanya makam terpisah-pisah dari suatu keluarga, bisa juga karena perpindahan ibu kota kabupaten. Misalnya kompleks makam keluarga Bupati Bandung, selain di Karanganyar, ada juga di Dayeuh Kolot (karena dahulu ibu kota Kabupaten Bandung terletak di Dayeuh Kolot, artinya kota lama).

Meskipun kepercayaan dan adat sebagai bagian dari ikatan tradisional masih melekat dalam kehidupan sehari-hari kaum ménak, usaha-usaha untuk menjalankan syariat Islam sering dinasihatkan oleh kerabat tua-tua, bahkan oleh seorang emban seperti telah di-ungkapkan di muka. Radén Haji Muhamad Musa mengingatkan cucunya yang menjadi Bupati Lebak untuk tidak meninggalkan salat lima waktu agar menjadi bupati yang sempurna.Para bupati dalam upaya meneguhkan kedudukannya merasa perlu meraih kaum ulama, terutama yang berada di luar jalur birokrasi. Bupati Bandung R.A.A. Martanagara, seperti telah disebutkan, sering berkunjung ke beberapa pesantren. Bupati Tasikmalaya menjadi pelindung Majalah Al-Imtisal yang diterbitkan oleh perkumpulan kiai-kiai di Tasikmalaya pada tahun 1929.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat diambol kesimpulan, bahwa gaya hidup kaum ménak yang penuh dengan lambang-lambang menjadi pembeda status dengan golongan sosial lain yang ada dalam masyarakat Priangan. Selama satu setengah abad tampak adanya perubahan dalam berbagai aspek gaya hidup, baik karena faktor internal maupun eksternal. Dalam menghadapi perubahan tampak bahwa kaum ménak pada umumnya bersikap pragmatis dan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai baru. Meskipun selalu berada dalam berbagai tekanan, gaya hidup yang ekslusif tetap dikejar untuk mengokohkan identitas.

Banyaknya persamaan aspek-aspek gaya hidup kaum ménak Priangan dengan priyayi Jawa tidak terlepas dari sisa-sisa pengaruh kekuasaan Mataram dahulu. Secara politis kekuasaan Mataram atas Priangan hanya berlangsung sekitar enam dekade, tetapi pengaruh budayanya berlangsung hampir dua setengah abad. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena Pemerintah Hindia Belanda yang dijadikan panutan tidak menawarkan nilai-nilai baru yang cukup kuat untuk menggeser tradisi Jawa yang sudah cukup mengakar.

Jelas bahwa sebelum Snouck Hurgronje mena-warkan asosiasi-nya, Pemerintah Hindia Belanda sendiri lebih suka membiarkan kaum pribumi berada dalam budayanya sendiri sepanjang kepentingan pemerintahannya tidak terganggu. Di samping itu, di Priangan sudah tidak ada lagi kerajaan yang dapat dijadikan panutan kultural. Tokoh Radén Haji Muhamad Musa lah yang berusaha menggali kembali budaya asli melalui karya tulis berbahasa Sunda atas dorongan K.F. Holle. Meskipun tidak tampak suatu revolusi, Penghulu Limbangan itu berperan besar, paling tidak sebagai pionir dalam perkembangan bahasa dan sastra Sunda. Situasi sejarah kemudian memungkinkan kebangkitan budaya Sunda dilanjutkan oleh tokoh-tokoh kaum ménak dan bukan ménak.

 

 
Berita Terpopuler