Lagu Para Pengendara Unta: Kisah Karavan Haji ke Makkah

Kisah pengendara unta untuk berhaji ke Makkah.

google.com
Mahmal dan Kiswah saat di bawa ke Makkah bersama karavan jamaah haji.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Hari-hari ini di sela pembatalan kepergian jamaah haji ke Tanah Suci memang ada hal unik lain, yakni adanya usaha negara-negara di kawasan Arabia untuk mengabadikan lagu pengendara unta ke UNESCO agar menjadi salah satu artefak budaya dunia. Lagu ini sangat menarik karena iramanya sama, tetapi ditasfirkan dengan berbagai bentuk syair oleh negara-negara yang berbeda di kawasan itu.

Memang bila didengaran sekilas lagu itu terasa ada suasana mencengkam dan sunyi. Para pengelana padang pasir seperti dicekam kesunyian akut yang ada di terik matahari yang panas serta kawasan ganas tak berair ataupun pepohonan. Yang ada hanya batu dan batu.

Di tengah suasana itu mereka harus membuang segala gejolak keresahan hati. Mereka harus terus menyemangati diri dan terus memperhatikan gerak arah untanya. Dalam lagu itu jelas tergambarkan suasana padang pasir yang ganas.

Nah, salah satu yang tepat untuk memahami sukarnya perjalanan di padang pasir terdapat dari kisah rute perjalanan jamaah haji ke Makkah dengan berjalan kaki dan naik unta ke Makkah. Kisah ini datang dari catatan lama jamaah haji yang ke Makkah pada zaman dahulu dari berbagai tempat, misalnya dari Irak, Turki, Mesir, Afrika Barat, hingga kerajaan Afrika lainnya. Mari kita telusuri jejak perjalanan jamaah haji pada masa lalu tersebut.

 ----------------------

Seperti diketahui, dalam Alquran soal penggunaan unta untuk ibadah haji disebut dengan sangat spesifik dan tegas. Hal ini misalnya disebutkan dalam surat al-Hajj ayat 27-30. "Dan nyatakan kepada orang-orang tentang ibadah haji; mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan pada setiap unta ramping; mereka akan datang dari setiap jalan yang jauh, sehingga mereka dapat menyaksikan manfaat bagi diri mereka sendiri dan menyebutkan nama Allah pada hari-hari yang diketahui atas apa yang telah Dia sediakan bagi mereka hewan [kurban]. Jadi makanlah dari mereka dan beri makan yang menyedihkan dan miskin. Kemudian biarkan mereka mengakhiri keresahan mereka dan memenuhi sumpah mereka dan melakukan Tawaf di sekitar Ka’bah."

Maka, berziarah ke Mekah adalah rukun Islam kelima--sebuah kewajiban untuk setiap doa, niat, dan pikiran setiap Muslim. Mereka ke sana dengan bekal sarana jasmani dan rohani yang memadai. Aman di perjalanan pergi hingga pulang. Pada masa lalu hal ini tidak gampang dilakukan karena harus dilakukan melalui perjalanan dengan naik unta.

Dalam soal ini,  semua Muslim tahu bila setelah menunaikan ibadah haji wada (ibadah haji perpisahan) pada bulan Maret 632, Rasulullah Muhammad tak lama kemudian wafat. Selanjutnya, memimpin penyelengaraan ibadah haji menjadi tugas umat Islam berikutnya dengan kewajiban memberi perlindungan dan keamanan peziarah yang menjadi mangsa kehausan, kelaparan, dan serangan penyamunan dari suku Baduy yang ada di sepanjang jalan.

Para khalifah pengganti Muhammad SAW segera mengabadikan tradisi dengan memimpin haji secara langsung. Awalnya, sampai tahun 656 M ketika masa ke masa khalifahan ‘Ali ibn Abî Talib (600-661) dan para khalifah semuanya saat itu tinggal di Madinah yang jaraknya 430 km dari Makkah. Ali kala itu membentuk tradisi dengan membangun masjid dan asrama bagi para peziarah haji.

 

Selanjutnya, pada masa ketika kekhalifahan pindah dari Madinah dan Hijaz ke Damaskus oleh Mu'âwiya bin Abi Sufyân (memerintah 661–680) mereka semakin meningkatkan pentingnya pelayanan perjalanan ibadah haji ke Makkah. Khalifah Mu’awiyah memfasilitasi kemajuan layanan perjalanan jamaah haji menjadi wajib bagi setiap penguasa Muslim.

Memang tindakan Mu’awiyah terhadap jamaah haji bisa dianggap mempunyai dimensi politik. Mu‘awiyah, misalnya, meresmikan tradisi bahwa kain kiswah yang terbuat dari tekstil bersulam yang menutupi batu hitam Ka'bah di Mekah harus disediakan oleh khalifah. Tujuannya jelas untuk menekankan implikasi pribadi dan politiknya.

Sejarawan al-Ya'qubi (meninggal tahun 897) secara eksplisit mengatakan: bila kemduian pada generai berikutnya mengatakan bahwa kekhalifahan menjadi punya haknya untuk mengendalikan Haramayn (kota suci Makkah dan Madinah), yakni setiap khalifa dialah yang memimpin haji untuk Jalan Haji Abbasid: Rute Irak (Darb Zubayda).

                                             ******

Selanjutya pada tahun 750 M, ketika bani Umayyah digulingkan oleh Abbasiyah, yang mengeklaim juga keturunan dari paman Nabi, al-Abbas ibn ‘Abd al-Muththalb. Dari Humeima di Yordania Selatan, mereka pindah ke Irak. Sejak saat itu, karavan haji secara resmi (sebenarnya sudah mulai dari tahun 726 M) berangkat ke Makkah dari Kufa dan Baghdad yang kala itu merupakan ibu kota baru kekhalifahan Abbasiyah.

Rute panjang jalan menuju Makkah ini membentang lebih dari 1.300 km dengan melintasi dataran berbatu yang monoton serta hanya tersedia oleh segelintir oase alami untuk memenuhi keburuhan air minum. Kala itu agar tidak tersesat, jejak rute ini ditandai dengan batu-batu yang sengaja dipasang di sepanjang jalan untuk menciptakan jalan setapak agar tidak terhapus oleh badai pasir sehingga terkubur secara dalam.

Pada malam hari, saat itu para pemandu peziarah yang bepergian membuat api unggun dingin malam setelah seharian menghindari terpaan panas matahari yang menyiksa. Untuk kebutuhan menyimpan air minum bagi peziarah, mereka membangun semacam waduk dengan ukuran persegi 30-50 m dengan kedalam 5 m. Bangunan ini terbuat dari batu potong yang secara internal dilapisi dengan cairan plester.

Benteng dan bangunan karavan didirikan untuk melindungi para peziarah. Salah satunya dibangun atas perintah Zubayda binti Ja'far (meninggal pada 831), cucu perempuan Khalifah al-Mansour dan istri paling saleh dari Khalifah al-Rasyid (memerintah 786- 809). Sampai sekarang sisa bangunan ini masih ada dengan memakai nama ‘Darb Zubayda’.

r">

 

Lalu, bagaimana jalur pengelana yang hendak menunaikan ibadah haji dari luar tanah Hijaz. Ternyata kala itu sudah terdapat banyak jalur. Hal ini terlacak semenjak tahun 969 M, kala Dinasti Fatimiyah yang Syiah menaklukkan Mesir.

Saat itu karavan haji berangkat dari ibu kota baru mereka, al-Qahira. Peziarah dari Mesir bergabung dengan peziarah haji yang datang dari al-Andalus (Andalusia), Maghreb (kawasan barat Afrika seperti Maroko), dan Afrika sub-Sahara, khususnya dari Kerajaan Mali yang telah memeluk Islam.

Rute dari Mesir (Darb al-Misri) dari Kairo yang ditujukan untuk peziarah yang ke Makkah dimulai dari kawasan sekitar al-Qulzum (Suez), melintasi semenanjung Sinai, dan di 'Aqaba. Mereka nantinya akan bergabung dengan karavan dari Gaza, yang di al-Khalil (Hebron) di Palestina, yakni peziarah dari al-Quds (Yerusalem). Karavan haji kemudian menyusir pantai timur Laut Merah yang menjadi rute berbahaya karena sumurnya sering kering.

Perjalanan Kairo ke Makkah mencapai sejauh 1.600 km dan membutuhkan waktu hingga 35 hari. Uniknya, para penguasa Dinasti Fatimiyah tidak ada yang pergi haji, tetapi mereka menggunakan kekuasaannya untuk melayani konvoi peziaah haji. Hal ini berupa memastikan ketersediaan makanan yang harus ada sepanjang perjalanan dengan cara mengikuti karavan haji hingga Makkah.

Bahkan, kala itu oleh penguasa Dinasti Fatimiyah, peziarah haji dibuat sangat bergantung akan pasokan makanan yang disediakannya. Tak hanya itu, dinasti ini kala itu bahkan mengganti kiswah yang semula terbuat dari kain tenun berwarna hitam menjadi kain tenun berwarna putih.

Namun, patut diketahui, rute kafilah haji dengan menggunakan unta ke Makkah ini juga terus berubah seiring dengan perubahan kekuasaan politik. Pada masa Ottoman (Utsmani) yang berada di Turki kemudian muncul rute ke Makkah lewat Suriah (Darb al-Shami). Hal ini jelas menandaan bahwa rute menuju Makkah berubah terkait adanya pergolakan politik kekuasaan.

Hal tersebut terlihat dengan mengacu sumber-sumber sastra, kartografi, serta sisa-sisa arkeologis yang menunjukkan bahwa perjalanan Darb al-Hajj al-Shami (Perjalan Haji Dari Suriah) dari Damaskus ke Makkah juga bergeser seiring waktu.  

Lagi pula sebenarnya ada tiga rute ke Makkah dari Suriah. Pertama, rute abad pertengahan yang terjadi mulai dari penaklukan Muslim (abad ke-7) ke Kesultanan Mamluk (abad ke-15). Kedua, rute Ottoman (abad ke-16 awal 20). Ketiga, rute dengan menyusuri jalur kereta api hijaz (Hijaz Railway) yang diresmikan pada tahun 1910 kala kekuasaan dan pengaruh Ottoman yang menurun.

          

Pada tahun 1171, Ayyubiyah menegakkan kembali daulah bermazhab Sunni di Mesir. Selanjutnya Sultan Shalahuddin menisbahkan gelar baru bagi dirinya sebagai “Pelayanan dari Dua Tempat Suci" (Khadim al-Haramayn al-Sharifayn). Hal ini dilakukan setelah dia berhasil menguasai Yerusalem.

Namun, kala itu di kalangan peziarah haji tetap ada rasa tidak aman yang diciptakan oleh Tentara Salib yang masih ada di wilayah timur Sungai Yordan hingga meluas ke ‘Aqaba. Situasi ini membuat rute Mesir melintasi Sinai dan sepanjang Teluk ‘Aqaba menjadi sangat berbahaya.

Tak hanya itu, pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Ayyubiyah, sempat tidak ada karavan haji yang lazimnya menggunakan unta meninggalkan Mesir atau Suriah ke Makkah. Penyelenggaraan ibadah haji pada tahun 1256 makin sulit karena terjadi gempa bumi yang sampai menghancurkan Masjid Nabawi di Madinah.

Ketiadaan jamaah haji dari luar tanah hijaz tersebut dalam beberapa dekade kemudian juga tidak muncul setelah orang-orang Mongol merebut Baghdad pada tahun 1258. Setidaknya, tidak ada karavan haji Irak.

Baru setelah pendirian 'Bahrite' (bahr adalah bahasa Arab untuk 'sungai' atau 'laut') Kesultanan Mamluk di Kairo, yang membentang di atas Mesir dan Suriah (1252–1382), ziarah haji ke Makkah dimulai lagi. Kemenangan Mamluk, Sultan Baybars (memerintah tahun 1260-1277), atas Tentara Salib memungkinkan pembukaan kembali jalur Mesir ke Makkah (Darb al-Misrî ) pada tahun 1266 M yang melalui wilayah ‘Aqaba.

Sultan Baybars juga memulai praktik pengiriman kiswah, serta mahmal (struktur kayu berbentuk piramida yang ditutupi oleh sutra tebal warna kuning atau warna Dinasti Mamluk), yang melampirkan salinan Alquran, di karavan haji ke Makkah.

Setelah menginvasi Suriah dan merebut Kairo dengan menjungkirkan Mamluk 'Burgite' Sirkasia dan Georgia (1382–1517), pada tahun 1516 Sultan Selim I (memerintah Ottoman pada tahun 1512-1520) mengganti corak pengiriman mahmal dan kiswah yang disulam dengan nama-nama leluhurnya, bersama karavan dari Damaskus ke Mekah.

Mahmal Utsmaniyah (Ottoman) tidak ditutupi sutra berwarna kuning, tetapi dengan sutra merah atau hijau, disulam dengan judul dan monogram (tughra) sultan, serta dengan ayat-ayat Alquran. Setiap tahun Sultan Selim I selalu bersedekah untuk orang miskin dan gaji pejabat Makkah yang dilakukan melalui rute karavan Suriah (Darb al-Shami) ke Makkah.

        

                                  *****

Satu-satunya catatan yang menggambarkan rute ke Makkah dari Suriah pada Abad Pertengahan dikisahkan pada tahun 1357 oleh sarjana Arab Ibnu Juzay dan oleh musafir terkenal Ibnu Batutah saat berusia 31 tahun setelah ia meninggalkan Damaskus dengan karavan haji.

Setelah penaklukan Ottoman, beberapa catatan perjalanan (rihlah) menggambarkan Darb al-Hajj al-Shami (Jalur ke Makkah dari Suriah) yang baru. Kala itu rute baru berhaji ini mebentang dari Damaskus ke Makkah. Jalur ini melewati banyak tempat dan tempat pemberhentian yang terdaftar.

Salah satu jasa jalur ini terkait dengan perbaikan Ka'ah. Melaui jalur ini, kala itu ada anak seorang pandai emas Ottoman yang memiliki hak istimewa untuk memperbaiki pancuran air yang terbuat dari emas di Ka'bah. Dia bernama Evliya Çelebi yang pergi Makkah pada tahun 1672 melalui rute baru dari Suriah ini. Dalam catatan yang dibuatnya dia menggambarkan suasana tempat-tempat berhenti, bangunan, peziarah, dan percakapan mereka dalam perjalanan menuju Makkah.

Catatan lain serupa juga dibuat oleh Sufi Murtada bin ‘Ali bin 'Alawan yang pergi berziarah ke Mekah pada antara tahun 1677-78 dan 1709. Pada perjalanan kembali ke Makkah yang kedua, antara Makkah dan Madinah, ia dan rekan-rekan musafirnya diserang pada malam hari oleh penyamun bani Hudhayl. Kisahnya makin tragis karena penyamun itu meninggalkan peziarah haji dengan telanjang bulat di padang pasir.

Namun, di antara sekian banyak kisah perjalanan ke Makkah melaui rute baru dari Suriah ini ada narasi paling terperinci karena dilengkapi dengan tanggal, bentuk kondisi bangunan benteng tempat karavan haji singgah, dan deskripsi instalasi lain untuk para peziarah. Yang menulis rihlah ini adalah Mehmet Edib, seorang hakim Ottoman dari Candia di Kreta, yang melakukan perjalanan dari Konstantinopel ke Mekah pada 1778.

Selain itu, terdapat catatan perjalan ke Makkah ini yang unik. Hal itu karena penulisnya adalah seseorang yang beragama Kristen. Dalam tulisannya dia menceritakan tidak disambut dengan hangat sesampai di tanah hijaz (tanah haram).

Orang Barat lainnya yang pertama memasuki kota-kota suci Islam adalah Ludovico di Varthema yang berasal dari Bologna, Italia. Ia datang ke Makkah dengan berpura-pura menjadi Muslim dari Kerajaan Mamluk. Ia sendiri memang dipekerjakan sebagai penjaga di karavan haji yang meninggalkan Damaskus pada April 1503 dan mencapai Makkah pada bulan Juni.

Di samping itu, ada catatan orang non-Muslim lain yang kala itu sampai ke Makkah. Dia adalah seorang penjelajah Anglo-Swiss yang bernama Burckhardt pada tahun 1822. Saat itu dia juga berpura-pura menjadi Muslim dengan memakai identitas Muslim Shaykh Ibrahim ibn 'Abdallah. Dia malah sempat tinggal di setahun di Makkah, yakni antara tahun 1814–1815.

Kala itu Burckhardt mengaku sampai ke Makkah yang telah ia jangkau melalui rute Mesir dan Laut Merah, kemudian bergabung dengan sebuah karavan haji dari Damaskus. Laporan Burckhardt merupakan paling terperinci perjalanan karavan haji yang mencakup deskripsi moda transportasi, keadaan jalan haji, serta interaksi antara Beduy dan otoritas Ottoman pada tahun 1888.

Atas semua catatan pengelanaan para penunggang unta ke Makkah, tampak jelas perjalanan haji ke Makkah kala itu sangat tidak mudah. Semua serba bertaruh nyawa dan harta benda. Jadi, tidak semerdu lagu "Para Pengendara Unta" yang kini tengah didaftarkan di UNESCO sebagai warisan budaya dunia.

 
Berita Terpopuler