Zaman Normal, Orde Baru, New Normal: Wolak-waliking Zaman!

Apa benar ada zaman normal atau 'new normal'?

gahetna.nl
Pemandangan sebuah ruas jalan di Pantura Jawa, sebelum krisis ekonomi 1930.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Hari-hari ini orang sibuk bicara tentang istilah ‘New Normal’ untuk bicara soal kondisi zaman pascapandemi Corona. Banyak pro kontra di sana, terutama ada protes bahwa istilahnya seharusnya pakai nama bahasa Indonesia baku saja, yakni ‘normal baru’.

Bahkan ada yang mengatakan pakai saja istilah normal baru karena ini lebih sesuai dengan struktur bahasa indonesia. Ini misalnya dicontohkan dengan penerjemahan  kata bahasa Inggris ’new shoes’ yang tepat dengan sepatu baru, bukan dengan baru sepatu yang jelas beda maknanya.

“Apa susahnya kita ganti istilah-istilah ini dalam bahasa Indonesia: social distancing (jarak sosial), physical distancing (jarak fisik), work from home (bekerja dari rumah/BDR), dan new normal (normal baru/kelaziman baru), stay at home (di rumah saja), dan lain-lain. Anak SMP atau bahkan SD pun tahu arti kata-kata asing tersebut. Saya bisa memahami untuk istilah swab atau PCR (polymerase chain reaction) masih sulit dicari padanannya. Itu menjadi tugas utama Pusat Bahasa untuk menemukannya,'' wartawan senior Republika, Arif Supriyono yang selama ini sangat teliti dan peduli dalam soal penggunaan bahasa Indonesia yang 'baik dan benar'.

‘’Ada hal lain yang membuat saya terheran-heran. Pandemi Korona ini ternyata membuat kita jadi merendahkan derajat bahasa Indonesia. Istilah asing kini bertebaran muncul dari ucapan para tokoh dan menghiasi media massa. Padahal, istilah-istilah itu sangat mudah dicari padanannya dalam bahasa Indonesia,’’ katanya lagi:“Saya bisa memahami untuk istilah swab atau PCR (polymerase chain reaction) masih sulit dicari padanannya. Itu menjadi tugas utama Pusat Bahasa untuk menemukannya."

Bukan hanya itu, lanjut Arif, Pada zaman dulu, rakyat dan pers kita bahkan lebih gagah perkasa dalam berbahasa. IMF diartikan sebagai Dana Moneter Internasional. Lalu United Nations dialihbahasakan sebagai Perserikatan Bangsa-Bangsa. Masih banyak lagi istilah asing lain yang disesuaikan dalam bahasa Indoneisa. Ini misalnya istilah non performing loan menjadi kredit bermasalah dan lain-lain.
                     

                                  ******
Khusus untuk ‘zaman normal’ dan ‘new normal’ juga ada fakta historis-sosiogis yang menarik. Dan uniknya pula terasa ada rasa ‘ramai ala permen yang beragam rasa'. Rasa lainnya adalah nuanasa bahasa dari istilah zaman normal itu yang serba bolak-balik atau zaman yang jungkir balik.

Dalam khazanah orang Jawa soal zaman yang bolak-balik yakni bergerak dari normal ke ‘new normal’ misalnya ada pada selarik syair ’Serat Kalatidha’ karya Ranggawarsita. Syair ini hanya terdiri dari 12 bait dalam bentuk ‘tembang Sinom’. Aslinya ditulis dengan akasa Jawa gaya Surakarta. Kalatidha secara harafiah artinya adalah "zaman gila" atau zaman édan.

Keterangan foto: Ranggawarsita

Uniknya, konon Rangga Warsita menulis syair ini ketika merespons nuansa sosial dan politik saat itu. Dia merasa ada yang tak beres namun tak bisa dikatakan secara terang-terangan. Terlebih dia seorang anggota kerajaan. Kala itu pangkatnya sebagai ‘punggawa kerajaan’ kerjaan tak kunjung naik padahal banyak rekannya mampu berkarir cemerlang walau prestasi kerjanya biasa saja.

Dalam wikipedia juga disebutkan nuansa kekecewaan Ranggawarsita itu.  Sebagai punggawa kerajaan, pangkatnya tidak kunjung dinaikkan seperti diharapkan. Lalu ia menggeneralisir keadaan ini dengan menanggap secara umum bahwa zaman di mana ia hidup merupakan zaman gila, di mana terjadi krisis.

Bagi orang Jawa Ranggawarsita punya kedudukan istimewa dalam budaya. Mendiang WS Rendra pernah menceritakan perihal ini kala dia berkeras menjadi penyair di hadapan bapaknya yang seorang guru dan sangat paham budaya Jawa.’’Sudahlah setelah Ranggawarsita tak ada lagi pujangga. Apalagi kalau sekedar penyair, pakai bahasa Indonesia lagi,’’ kata Rendra ketika menceritakan soal sosok Ranggawarsita.

Dan memang Ranggawarsita merupakan pujangga kerajaan di Keraton Kasunanan Surakarta. Ia adalah pujangga panutup atau "pujangga terakhir".  Akibatnya dalam sebutan tersebut, setelah itu tidak ada dianggap tak ada ”pujangga kerajaan" lagi.

Syair Ranggawarsita soal zaman yang edan itu begini:

Amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu édan nora tahan,
yén tan milu anglakoni,
boya kaduman mélik,
kaliren wekasanipun,
dilalah kersa Allah,
begja-begjane kang lali,
luwih begja kang éling lawan waspada.

(Berada di zaman gila,
serba salah dalam bertindak.
Ikut-ikutan gila tidak akan tahan,
tetapi kalau tidak mengikuti arus,
tidak kebagian, (lalu) kelaparan pada akhirnya.
Tetapi Allah Maha Adil,
Sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada)

Dengan memahami makna syair itu, maka kala zaman Rangawarsita hidup ternyata juga ada anggapan yang mirip hari ini. Zaman sebelumnya disebut sebagai zaman normal dan zaman berikutnya yang dianggapnya normal baru atau ’new normal’, atau bahkan malah dianggap edan.

                 

                                        *******

Lalu pada kurun berikutnya  hal serupa juga terjadi? Jawabnya ternyata sama pula. Kala terjadi peristiwa krisis ekonomi 1930 dunia, yang salah satunya penyebabnya juga akibat adanya pandemik flu spanyol pada 1918-1920, juga ada anggapan sama.

Kala itu masyarakat juga menyebut zaman sebelumnya sebagai zaman normal, padahal kalau mengacu pada syair Ranggawarsita yang ditulis sekitat tahun 1800-an itu, zaman sesudahnya itu sudah keburu disebut zaman edan alias tak normal.

Sebutan zaman normal ini bagi orang Betawi, khusunya para tuan kulit putih di Hindia Belanda saat itu juga sangat  masuk akal. Sebab, saat dari tahun 1900-1930 Hindia Belanda bisa disebut sangat makmur, Kehidupannya berbeda dengan situasi sebelum politik etis atau sebelum tahun 1900-an di mana kelaparan dan pandemi kolera merebak. Khusus untuk Muslim, kurun ini terbukti nyata dengan membludaknya orang naik haji yang kala itu sudah mencapai puluhan ribu. Hamka yang tahun 1926 berhaji di Makkah mencatat jumlah jamaah haji Indonesia sangat banyak. Tokoh-tokoh top pergerakan nasional banyak yang naik haji.

  • Keterangan Foto: Orang-orang mengantre di depan pegadaian Surabaya untuk memperoleh bantuan pada masa resesi 1930.

Di Batavia kemakmuran atau ‘kenormalan’ zaman itu terasa. Orang yang dari kampung yang menjadi pekerja migran bercerita bila mereka cukup bekerja sepekan di kota untuk hidup selama sebulan lebih dikampungnya yang ada dipinggiran Jakarta..

Bahkan sandang dan pangan mudah didapatkan. Kemakmuran Batavia ini juga dicontohkan dengan banyaknya pohon buah-buahan dibiarkan tak terpetik dan bergeletakan di tanah karena saking melimpahnya keadaan. Alhasil, para tetua Betawi dahulu menyebut fase hidup sebelum 1930 adalah zaman normal. Sesudah itu disebut zaman baru yang tak normal.

Dan memang sesudah itu, situasi Batavia ada Hindia Belanda juga tak kunjung normal. Ini karena kemudian yang muncul hanya kesulitan hidup bahkan satu dasa warsa kemudian terjadi perang dan datangnya penjahan Jepang yang sangat kejam. Batavia yang dulu makmur kini hidup dalam kesusahan. Manusia bercelana karung goni muncul di mana-mana. Kelaparan merebak karena Jepang memaksa ikut merampas hasil panen beras.

Kondisi hidup susah kemudian terbawa-bawa pasca datangnya kemerdekaan. Bahkan sampai tahun 1970-an anggapan zaman normal kala Batavia begitu makmur masih lestari. Setiap ada kesusahan hidup para tetua selalu menanggap dengan memaklumi bahwa zaman ini bukan lagi ‘zaman normal.’

Kenangan akan ‘zaman normal ‘ kemudian sempat perlahan hilang dengan eksisnya Orde Baru (tatanan baru, zaman baru) yang juga menganggap zaman sebelumnya sebagai zaman lama atau zaman susah: Orde Lama.

Bagi yang sempat mengalami tahun 1980-an misalnya pasti ingat seperti apa zaman Indonesia lumayan makmur itu. Beras memang melimpah sering dengan penghargaan pangan dari WHO kepada Pak Harto. Makan nasi bulgur tinggal cerita. SD Inpres dan Puskesmas eksis di mana-mana yang mana pada di zaman ini malah dianggap sukses, bahkan yang menelitinya  kemudian dapat hadiah Nobel. Para sopir taksi senior bercerita bila dengan menjadi sopir taksi saja kala itu mereka dapat membeli rumah dan dapat penghasilan lumayan.’’Aku lihat para sopir taksi sekarang mas, boro-boro beli rumah, untuk setoran dan makan saja susah,’’ katanya.

Nah, bila zaman ini masuk juga istilah zaman baru atau new normal, maka tak usah heran. Dari dulu selalu ada sebutan soal zaman, dari zaman edan, zamar normal, orde lama, orde baru, hingga normal baru (new normal).

Apalagi pada hakikatnya masa depan manusia tidak ada yang tahu dan pasti dalam ketidakpastian. Maka pesannya bertawakalah bila menjumpai 'wolak-waliking (bolak-baliknya) zaman...!



 
Berita Terpopuler