Saatnya Evaluasi Komunikasi Penanganan Covid-19

Sejumlah pejabat publik lebih mengedepankan ego sektoral dalam tangani covid-19

Istimewa
Trimanah, Dosen Unisula Semarang
Red: Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID --- Oleh Trimanah, Dosen Ilmu Komunikasi UNISSULA Semarang/Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikas USAHID Jakarta

Ada yang bilang bahwa komunikasi adalah jantung dan nafasnya organisasi. Tanpa komunikasi, organisasi akan berhenti beroperasi. Negara adalah organisasi besar, yang didalamnya terdapat organ-organ yang memiliki tugas dan pembagian kerja masing-masing tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, semuanya saling berkaitan, demi tercapainya tujuan yang diinginkan. 

Negara Indonesia adalah organisasi besar yang  memiliki organ-organ yang berkerja, saling mendukung dan saling bertukar pesan atau informasi secara hirarkis baik vertical maupun horizontal, baik di dalam maupun keluar organisasi. Mereka yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut memberi makna atas apa yang terjadi.

Dalam menghadapi wabah global covid-19, publik luas dapat melihat melalui kacamata media mengenai bagaimana proses komunikasi organisasi Negara Indonesia dalam menangani wabah ini lalu menafsirkan dan memberikan makna atas proses komunikasi tersebut.

Tanda-tanda (sign) baik verbal atau linguistic maupun nonverbal merupakan pesan yang diterima oleh publik dari para pejabat, menteri bahkan presiden, akan berkorelasi pada pencapaian tujuan penanganan pandemic. 

Tanda-tanda ini akan dimaknai oleh publik, baik secara denotatif yang rasional dan logis, maupun konotatif yang cenderung bersifat implisit, irasional dan berbeda dengan apa yang sebenarnya. Proses pemaknaan menurut teori semiotika Roland Barthes memang begitu.

Oleh sebab itu, dalam ilmu public relations yang concern pada upaya membangun komunikasi positif demi memperoleh dukungan publik, maka penciptaan tanda yang dimanifestasikan dalam bentuk pesan-pesan organisasi haruslah didesain dan direncanakan sedemikian rupa dari hulu sampai ke hilir. 

Hal ini dimaksudkan agar pesan dari organisasi tidak dimaknai secara konotatif dan multitafsir yang cenderung negatif.

Makna yang diciptakan publik mengenai penanganan covid-19 baik yang denotative maupun konotatif sangat berhubungan erat dengan bagaimana para pejabat mengirimkan signal-signal pesan verbal dan nonverbal kepada publik. 

Berdasarkan mekanisme semiotika tersebut, harusnya signal pesan dan proses komunikasi sudah didesain sejak awal, sejak sebelum Covid-19 benar-benar masuk ke Indonesia. 

Dalam konteks komunikasi, organ Negara Indonesia yang difungsikan sebagai public relations-nya organisasi harus memiliki kemampuan analisis dan prediksi yang baik. 

Sebagaimana dinyatakan dalam hasil pertemuan asosiasi public relations di Mexico tahun 1978 yang menyebutkan bahwa public relations  adalah seni sekaligus disiplin ilmu sosial yang menganalisis berbagai kecenderungan, memprediksi setiap kemungkinan konsekuensi dari setiap kegiatannya, memberi masukan-masukan dan saran-saran kepada para pemimpin organisasi, dan mengimplementasikan program-program tindakan terencana untuk melayani kebutuhan organisasi dan untuk kepentingan publiknya.

Bila merujuk pada hasil pertemuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa organ yang difungsikan sebagai public relations harusnya melakukan analisa dan prediksi atas wabah covid-19, sebelum kemudian dapat memberikan masukan dan saran kepada presiden atau menteri terkait. 

Modal utama untuk melakukan analisa dan prediksi adalah data-data valid yang didapatkan di lapangan baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Data-data ini dapat diperoleh melalui riset. 

Data akan memberikan gambaran yang komprehensif mengenai apa, bagaimana dan seperti apa covid-19 nantinya mempengaruhi aspek social, budaya, ekonomi Negara Indonesia. Prediksi ini akan berimplikasi pada penyusunan rencana dan tidakan komunikasi organisasi, baik komunikasi internal maupun eksternal. 

Prediksi ini akan menyatukan organ-organ internal organisasi untuk saling support, saling melengkapi sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Komunikasi internal lintas organ akan berlangsung sinergis. 

Pejabat atau menteri bahkan presiden sekalipun akan saling mengerti apa yang harus dilakukan di organ-nya masing-masing. 

Berdasarkan prediksi ini pula, organisasi dapat merencanakan feedback seperti apa yang diharapkan dari publik. Oleh sebab itu, penentuan key message (pesan kunci) menjadi penting. Key message disusun dan dipahami bersama oleh organ internal. 

Key message harus clear, jelas, tegas. Inilah yang disebut sebagai narasi tunggal. Narasi tunggal akan memberikan kepastian dalam proses komunikasi publik.  

Masyarakat akan memaknai proses komunikasi publik organisasi dari dua hal. Pertama dari pesannya. Narasi tunggal akan membantu memudahkan publik untuk memaknai pesan, begitupun sebaliknya. Pesan yang beragam dan saling tumpang tindih akan memunculkan pemaknaan konotatif yang negative dan destruktif. 

 

Kedua dari proses delivery pesan. Narasi tunggal akan memudahkan delivery pesan. Pejabat, menteri bahkan presiden akan lebih confident dalam menyampaikan pesan kepada publik, dan ini akan dimaknai positif oleh publik. Energi positif dari organisasi akan tersalurkan kepada publik. 

Begitupun sebaliknya, ketika pejabat, menteri, bahkan presiden saling menganulir pesan, saling menunjukkan ego sektoral, tidak kompak, akan mengalirkan energy negative kepada publik. Publik menjadi apriori, bingung, tidak percaya atas apa yang disampaikan. 

Persepsi publik akan terbentuk berdasarkan hal-hal yang diterangkan diatas. Persepsi adalah proses mengorganisasikan, menafsirkan rangsangan yang diperoleh melalui pengalaman indrawi berdasarkan apa yang dilihat,dibaca, didengar, dirasakan. Persepsi inilah yang akan mempengaruhi perilaku publik, mendukung atau tidak mendukung. Prof Dedy Mulyana menyebutnya sebagai intinya komunikasi. 

Kunci keberhasilan penanganan covid-19 terletak pada dukungan publik. Oleh sebab itu, apapun yang dilakukan oleh pemerintah dalam mencapai tujuan dalam penanganan wabah ini harus berorientasi pada dukungan publik. 

Dukungan publik dapat dilakukan melalui dua strategi komunikasi yang dilakukan secara bersamaan. Pertama, dengan cara membujuk (persuasive) dimana komunikasi dilakukan dengan cara memberikan pesan-pesan yang informative, edukatif, interaktif  yang akan mempengaruhi aspek kognitif, afektif dan konatif dari publik.

Kedua, dengan cara memaksa (enforcement) yang sifatnya transaksional, dengan mengeluarkan aturan dan kebijakan sebagai pesan yang mengikat, yang berimplikasi pada penegakan aturan atas pesan tersebut.

Bila kita cermati proses komunikasi organisasi yang dilakukan pemerintah dari sejak sebelum masa pandemic  dimulai hingga sekarang, tampaknya  abai pada aspek semiotika komunikasi, kurang perhatian pada penggunaan data valid sebagai dasar penyusunan rencana dan tindakan komunikasi,  serta acuh pada persepsi publik. 

Para pejabat publik kita lebih mengedepankan ego sektoral, lebih mementingkan personal feeling daripada fakta dan data, tak peduli persepsi publik akan seperti apa. Alih-alih mendapat dukungan publik, yang ada malah munculnya banyak kekecewaan-kritikan dan berujung pada kegaduhan yang tidak menyelesaikan permasalahan. 

Masa pandemik diperkirakan masih akan berlanjut sampai sekian bulan, bahkan mungkin satu atau dua tahun kedepan, bergantung pada bagaimana kemampuan pemerintah dalam roses penanganan. 

Belum terlambat untuk melakukan evaluasi total pada proses komunikasi publik pemerintah. 

Untuk itu ada hal-hal krusial yang harus menjadi perhatian, yaitu: Pertama, para pejabat publik harus memiliki sense of PR yang baik, dengan begitu apapun yang akan dilakukan harus beriorentasi pada dukungan publik.

Kedua, mulai gunakan data-data valid sebagai pijakan dalam menyusun rencana dan tindakan. Ketiga, berdayakan organ pemerintah yang berfungsi sebagai public relations-nya organisasi, bila perlu lakukan terlebih dahulu capacity building bagi organ yang bekerja atau bisa meminta dukungan professional PR. 

Keempat, mulai bangun collaborative leadership.  Sudah waktunya para pejabat berdamai dengan ego sektoralnya masing-masing dan lebih mengutamakan keberhasilan komunikasi yang berdampak dengan saling bersinergi. Ini penting, sebab keberhasilan komunikasi sangat ditentukan oleh bagaimana sikap dan posisi pimpinan organisasi dalam permasalahan komunikasi.

Publik berharap sepenuhnya pada kemampuan pemerintah dalam mengatasi pandemic ini, sebab hanya pemerintah yang memiliki resources yang cukup untuk melakukan itu. Dan memang amanah undang-undang juga bahwa pemerintah harus mengatasi wabah dan meminimalisir korban. 

Amanah undang-undang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Lebih baik terlambat mengevaluasi diri daripada tidak sama sekali. 

Semoga dalam beberapa waktu kedepan, ada perubahan yang signifikan pada pola komunikasi publik dan kebijakan yang diambil pemerintah, yang harmonis lintas organ, yang berorientasi pada dukungan publik. 

 

 
Berita Terpopuler