Ziswaf dan Semangat Kedermawanan dalam Pandemi Covid-19

Ajaran zakat juga yang menyeimbangkan antara ibadah dan kepedulian sosial.

dok. Pribadi
Nana Sudiana, Sekjend FOZ & Direksi IZI
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nana Sudiana, Sekjend FOZ & Direksi IZI

Pandemi Covid-19 tak terbayangkan sebelumnya. Bahkan yang lebih mengagetkan, ia nyata terjadi dan begitu dekat di sekitar kita. Ini seolah barang ghaib tapi dampaknya nyata dan mengerikan.

Video-video bagaimana anak terpisah dengan keluarganya saat dijemput para medis telah mengguncang kesadaran kita bahwa hal itu benar-benar terjadi. Bukan mimpi dan bukan pula hoaxs.

Ada tulisan menarik yang beredar dari group ke group di aplikasi WhatsApp. Tidak jelas siapa penulisnya, namun isinya patut kita renungkan bersama. Berikut penuturannya: “Antonio Vieira Monteiro, President Dewan Direktur Santander Bank Portugal, meninggal dunia setelah dinyatakan positif terpapar Covid-19, sepulangnya dari Italia. Kabar kematiannya, tidak penting bagi saya, sebab banyak yang lebih kaya dan lebih kuat darinya juga mati. Yang membuat perhatian saya justru tulisan putrinya di salah satu media sosial. Kami keluarga kaya raya berlimpah harta. Tetapi ayahku meninggal dunia seorang diri, sulit bernafas bagai tercekik, sambil mencari sesuatu yang gratis tanpa biaya, yaitu udara segar, sedang hartanya ditinggal di rumah”.

Tulisan di atas mewakili perasaan banyak keluarga yang terpapar Covid-19 dan kemudian meninggal dunia. Betapa fakta dramatis ini demikian nyata dan memang terjadi di banyak belahan dunia. Para keluarga dilarang mendekati jenazah orang-orang yang mereka cintai, apalagi sampai melihat wajah terakhir kalinya dan bahkan ikut serta menguburkannya.

Pandemi Covid-19 sampai saat ini (Sabtu, 02/05) secara global menurut situs Worldometer (https://www.worldometers.info/coronavirus) telah menerpa 212 negara. Adapun data kasus yang tercatat sejumlah 3.400.323. Dari data tersebut korban meninggal dunia sejumlah 239.570 orang. Adapun data di Indonesia menurut situs covid-19 (https://covid19.go.id/) sampai hari ini telah terkonfirmasi 10.551 kasus yang tersebar di 34 propinsi.

Dari data tadi, tercatat ada 800 orang yang meninggal dunia. Dari data ini juga terlihat, virus ini telah menyebar secara dominan di kota-kota dan daerah utama di sejumlah provinsi seperti: DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Banten dan Bali.

Awalnya, kita semua tak menyangka betapa dahsyat dampak virus ini. kita saat sebelum pandemi ini terjadi demikan menikmati kehidupan kita. Kita asyik bergembira bersama keluarga dan teman-teman kita.

Dengan penghasilan atau gaji tetap yang kita miliki kita menjalani kehidupan tanpa kekhawatiran. Tak ada keinginan untuk menabung. Juga merasa tak perlu berhemat segala. Untuk apa berhemat-hemat, toh uang masih cukup dan akan dapat lagi.  

Tapi begitu pandemi Covid-19 datang, ambyar semua. Ada kepanikan, juga rasa was-was yang demikian besar. Takut tertular. Takut diberhentikan. Juga takut dagangan atau bisnis hancur berantakan. Padahal selama ini konsep kita, nikmati uang yang ada, kalau perlu habiskan tanpa sisa.

Kita biasa boros, malah kadang seboros-borosnya. Semua dibeli tanpa melihat urgensi dan prioritas kebutuhan. Padahal kita jelas-jelas bukan orang kaya. Juga bukan orang keturunan orang kaya. Kita juga tak punya warisan tanah dan asset lainnya yang bisa dijual untuk menutup kebutuhan hidup.

Banyak dari kita terobsesi piknik, jalan-jalan dan keliling tempat-tempat indah di nusantara maupun dunia. Kita biasa makan-makan di restoran mahal, demi pengalaman dan foto-foto keren yang diinginkan. Juga demi gengsi agar tak disebut kuno dan ketinggalan jaman.

Kita tak pernah, membayangkan akan demikian takut menjalani kehidupan ketika kita tak punya bekal yang cukup. Kita juga ketika sebelum pandemi sering merasa hidup kita baik-baik saja dan akan tetap baik.

Tak pernah kita siapkan kehidupan saat krisis, apalagi situasi penuh penderitaan. Tak terskenariokan sebelumnya kita bisa mengelola dan memberdayakan uang dan aset kita untuk jangka panjang. Tak tergerak juga kita untuk menjadi tambah pintar dengan terus belajar dan mengoleksi buku-buku yang mencerdaskan.

Kita tak merawat akal, budi serta pengetahuan. Yang kita kejar hanyalah syahwat dan kesenangan sementara. Kita juga tak suka ke museum, tempat bersejarah, situs kuno dan wisata religi lainnya. Apalagi perjalanan sosial untuk membantu sesame yang membutuhkan. Fisik kita penuh nafsu, sementara batin kita teryata miskin budi dan kecerdasan akal.

Pandemi Covid-19 inilah momentum yang seharusnya menggedor kesadaran esensial kita untuk merenungkan tujuan kehidupan yang sebenarnya. Di tengah situasi wabah, kita menjadi tak berdaya dan hanya ada di rumah.

Tak berguna mobil mewah, apalagi harta yang melimpah. Tak ada jaminan kita bebas dari paparan virus walau tinggal di tempat yang terlindung dan mewah sekalipun. Uang dan kekayaan di tengah wabah kali ini seolah mentertawakan kita. Apa gunanya itu semua bila taka da jaminan melindungi kita dan keluarga kita dari wabah.

Kita hanya berdiam diri, walau kaki dan tangan masih utuh. Juga tubuh ini sehat dan bugar. Makanan yang banyak nan melimpah juga tak menjamin kita kebal terhadap virus. Apalagi obat-obatan mahal apa pun bentuk dan dari mana asalnya tak bisa memastikan kita bisa selamat dari wabah dan virusnya. Ada dorongan prustasi mestinya, karena kita selama ini terlalu mengandalkan kecerdasan dan akal sehat dalam memandang persoalan kehidupan kita.

Kita selama ini lupa, bahwa ada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Besar. Allah yang menciptakan sesuatu dan mampu pula menghilangkan dan menghancurkan sesuatu atas ijin-Nya. Virus corona sebenarnya sangat kecil ukurannya. Virus ini berukuran 400-500 micro dan tak akan bisa dilihat dengan mata biasa. Dibanding butiran debu, virus ini lebih kecil lagi.

Namun yang luar biasa adalah, tanpa dengan gegap gempita, virus ini dalam hitungan hari, mampu melumpuhkan banyak penerbangan di bumi. Kereta api, kapal laut, mobil, motor dan seluruh moda transportasi kini harus dibatasi dan dipaksa menyesuaikan diri dengan situasi terbaru. Uang untuk membeli tiket jadi tak berarti ketika beragam transportasi lumpuh.

Di sinilah mestinya kita sadar bahwa esensi kehidupan bukan semata soal kesenangan dan syahwat yang dibiarkan berselancar menikmati apa pun yang ada. Ada kekuasaan yang sejatinya berlaku ditengah kehidupan kita. Ada aturan yang menjadi patsoen yang harus kita taaati  dan ikuti.

Kehidupan punya aturan, juga punya hukum yang akan terus menjadi keseimbangan di alam ini. Allah demikian bagi seorang Muslim tentu harus diyakini sepenuh hati adanya. Demikan pula para nabi dan Rosul beserta ajaran yang dibawanya untuk terus membimbing manusia berada pada keseimbangan kehidupannya. Hidup dengan separuh urusan fisik dan separuh yang lain urusan ruhani.

Ketenangan tak melulu soal jaminan keamanan dan terpenuhinya cukup makanan. Ada sisi kejiwaan yang juga perlu diperhatikan. Di era Covid-19 inilah kasadaran kita mestinya mempertemukan kembali kita dengan keseimbangan cara pandang, bahwa dalam kehidupan, ada kepedulian yang harus kita tumbuhkan dan kita rawat dengan baik.

Ajaran zakat, di situasi Covid-19 menemukan relevansinya. Kita tak melulu soal memperbaiki ibadah dan kebaikan diri semata. Ada hak orang lain di dalam harta yang kita miliki. Ada kebutuhan orang lain terhadap kebaikan yang telah Allah berikan selama ini pada kita.

Ajaran zakat juga yang menyeimbangkan antara ibadah dan kepedulian sosial mestinya menjadi perenungan kita semua bahwa, bisa saja suatu ketika Allah dengan cara-Nya akan mengambil kembali semua yang kita miliki, bahkan sangat mungkin tanpa sisa.

Allah selama ini mendidik kita dengan ajaran Nabi-Nya agar kita tunduk dan menyadari bahwa hidup tak hanya memupuk kebaikan diri dengan ibadah individual. Allah lewat firman-Nya, mengajarkan pula agar kita terus berbuat baik dan melibatkan diri dalam dimensi sosial di kehidupan.

Karunia Allah yang dilimpahkan pada kita sering tak disadari adanya. Seolah semua hadir karena hebat dan cerdasnya kita. Padahal anugerah itu sendiri demikian banyak dan melimpah, meliputi segala aspek kehidupan, mulai dari yang fisik sampai nonfisik, mulai dari harta benda hingga kenikmatan yang tak kasat mata seperti kewarasan akal sehat, kesehatan, hingga iman dan Islam kita. Terkait karunia ini, khususnya yang berupa kekayaan, Allah melalui ajaran Islam mengajarkan manusia untuk tidak hanya menerima tapi juga memberi, tak hanya memperoleh tapi juga membagikannya pada mereka yang berhak menerimanya.

Di sinilah anjuran berzakat, berinfak, dan bersedekah menjadi relevan dalam Islam. Karena begitu pentingnya zakat, Islam sampai menjadikannya sebagai salah satu pilar pokok dalam berislam. Setiap umat Islam yang mampu wajib mengeluarkan zakat sebagai bagian dari pelaksanaan rukun Islam yang ketiga.

Artinya, dalam urutan rukun Islam, zakat menempati deret rukun setelah shalat, ibadah yang paling ditekankan dalam Islam karena menjadi cermin dari praktik paling konkret penghambaan kepada Tuhan. Alquran pun sering menggandengkan perintah zakat setelah perintah shalat. Sedikitnya ada 24 tempat ayat Alquran menyebut shalat dan zakat secara beriringan. Contohnya sebagai berikut:

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43).  

 “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 110).

 “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al-Ma'idah [5]: 55)

Dari beberapa ayat tadi, kita mendapat gambaran bahwa setelah shalat, ibadah berikutnya yang  harus kita lakukan adalah zakat. Hal ini menandakan bahwa shalat sebagai ibadah spesial seorang hamba dengan Allah harus pula diikuti dengan kepedulian pada kondisi masyarakat di sekitarnya melalui zakat.

Dengan bahasa lain, umat Islam yang baik adalah mereka yang senantiasa memposisikan secara beriringan antara ibadah individual dan ibadah sosial. Sayangnya, rata-rata tingkat kesadaran untuk berzakat seringkali lebih rendah daripada kesadaran untuk menunaikan shalat.

Barangkali karena ada anggapan “hasil kerja sendiri” dari harta kita yang membuat zakat terasa berat. Belum lagi ditambah keinginan untuk menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya.

Ada godaan yang muncul dibenak kita, harta kita kan diperoleh karena kemampuan dan upaya kita sendiri. Dari sana, terbentuk keyakinan bahwa semakin banyak harta, akan semakin mudah hidup kita.

Cara pandang inilah yang menyesatkan kita secara esensi. Kita akhirnya melupakan bahwa ada hak orang lain yang sedang membutuhkan. Jika demikian, orang-orang yang seharusnya berzakat namun tak menunaikan kewajibannya sama halnya memakan hak orang lain. Dalam konteks ini, lantas apa bedanya mereka dengan koruptor atau pencuri?

Zakat secara bahasa bermakna suci. Harta yang dizakati sesungguhnya dalam rangka proses penyucian atau pembersihan. Tak mengeluarkan sebagian harta yang menjadi hak orang lain ibarat tak membuang kotoran dalam perut bagi orang yang sudah saatnya buang air besar. Sebagian kecil harta tersebut selayak kotoran yang bisa jadi menodai keberkahan seluruh harta benda, menjalarkan penyakit tamak, atau menimbulkan keresahan dirinya sendiri dan orang lain.

Zakat adalah kewajiban yang bisa dilakukan pada bulan apa saja ketika harta sudah memenuhi nishab atau jumlah wajib zakat. Jadi tak perlu menunggu Ramadhan seperti di bulan ini. Zakat, infak, sedekah, dan sejenisnya merupakan ibadah yang utama dalam Islam.

Pahalanya tentu tak sedikit bagi kita. Apalagi saat ditunaikan di bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Di samping itu, di tengah wabah atau Pandemi Covid-19, tentu saja zakat kita amat bermanfaat bagi fakir miskin yang terdampak Covid-19.

Yakinlah zakat yang kita tunaikan tak akan membuat kita miskin. Malahan orang yang berzakat akan ditambah rezekinya dan hartanya jadi lebih berkah. Bukan cuma memiliki keutamaan untuk harta, zakat juga mampu menghapus dosa dan melindungi dari panas hari kiamat.

Saat yang sama, berzakat, infak dan sedekah ditengah tekanan kehidupan bagi masyarakat miskin saat ini akan mempererat tali solidaritas terhadap sesama. Dan kita semestinya tak hanya zakat, infak dan sedekah selalu dikaitkan dengan keharusan di bulan Ramadhan.

-- Semarang menjelang subuh, Jumát, 5 Mei 2020/9 Ramadhan 1441 H

 
Berita Terpopuler