Ragam Pendapat Niat Puasa, Cukup Sekali atau Berulang-ulang?

Ulama dari Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali sepakat puasa tak sah tanpa niat.

Dokumentasi pribadi
Niat puasa apakah harus diucapkan setiap hari, atau cukup sekali untuk satu bulan. Foto: Abdul Muiz Ali, Pengurus Lembaga Dakwah PBNU
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Abdul Muiz Ali, Pengurus Lembaga Dakwah PBNU

Niat dalam ibadah bagian dari sesuatu yang terus melekat sekaligus menjadi barometer keluhuran dan kualitas ibadah itu sendiri. Keabsahan dan atau kadar kualitas ibadah tertentu tergantung hanya sejauh mana seorang dapat menempatkan niatnya. Niat adalah start sekaligus finish dari kualitas ibadah seseorang. Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus..”
(QS. Al Bayyinah: 5).

Ulama menyebutnya, niat bisa menjadi sesuatu yang sakral karena ia merupakan separuh dari Islam dan sepertiga dari ilmu. Hampir dari semua perintah dalam ajaran Islam; shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah lainnya tidak lepas dari niat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

“Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung (hanya) pada niatnya dan sesungguhnya seseorang (hanya) akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan yang diniatkannya". (HR. Bukhori dan Muslim).

Dalam hadis ini kata a'mal dan kalimat li kulli imri'in ma nawa sama-sama diawali dengan adat hasyr berupa Innama; yaitu amil yang berfungsi untuk membatasi yang biasa diartikan "hanya". Artinya, dalam hadis di atas memberikan pengertian kepada kita, bahwa diterimanya amal perbuatan ibadah hanya tergantung pada niatnya dan seorang itu akan mendapat kualitas perbuatan ibadahnya hanya tergantung pula pada niatnya.

Karena pentingnya niat, Imam Bukhari dan Imam An-Nawawi menempatkan bab niat pada pembahasan pertama dalam kitab hadisnya yang diawali dengan hadis riwayat Bukhari dan Muslim: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallama bersabda:

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

“Sesungguhnya segala amal perbuatan hanya bergantung pada niatnya. Setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”(HR. Bukhari dan Muslim).

Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin, Jalaluddin al-Misri as-Suyuthi asy-Syafi'i al-Asy'ari, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam as-Suyuthi, ketika memulai penulisan kitab kaidah fikih, al-Asybah wa al-Nazha’ir, ia memulainya dengan kaidah fikih:

الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

Semua perkara tergantung pada tujuannya. Kaidah ini mengadopsi dari pesan hadis di atas.

Niat dalam fikih diperlukan dalam rangka untuk membedakan antara ibadah dan kebiasaan. Menurut madzhab Hanafi, niat adalah bermaksud taat menjalani perintah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. (Hasyiah Ibnu Abidin, I/105).

Sedangkan menurut madzhab Maliki, niat adalah bermaksudnya seorang mukallaf terhadap sesuatu yang di perintah. (Hasyiah al-Adwi, I/203). Sementara Syafi'iyah berpendapat, sebagaimana yang disampaikan Imam Al-Mawardi, niat adalah bermaksud melakukan sesuatu yang bersamaan dengan pekerjaanya.

Jika tidak bersamaan dengan pekerjaannya, maka disebut keinginan atau azam (al-Mantsur fi al-Qawaid, III/284). Madzhab Hambali mendefinisikan niat, sebagaimana yang disampaikan Imam al-Buhuti, adalah keinginan dalam hati untuk menjalankan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

Niat Puasa, Harus Tabyit apa Tajdid?
Ulama dari kalangan Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali sepakat bahwa puasa tidak sah kalau tanpa niat. Hanya saja ulama berbeda pendapat, apakah niat puasa di bulan Ramadhan itu harus di malam hari (tabyit) dan apakah niat itu harus di ulang-ulang (tajdid) setiap hari?. Jumhurul Fuqoha, Madzhab Maliki, Syafi'i dan Hambali berpendapat, niat puasa Ramadhan harus di malam hari (Tabyit) sebelum masuk waktu Shubuh. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhori di atas dan atsar sahabat, riwayat Sayyidah Hafshoh istri Nabi yang berkata:

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.”

Untuk soal memperbarui niat setiap hari (tajdid) ulama juga berbeda pendapat: Pertama, menurut Jumhurul Fuqoha dari madzhab Hanafi, Syafi'i dan Hambali, niat puasa Ramadhan harus dilakukan setiap hari (tajdid). Kedua, menurut madzhab Maliki niat puasa Ramadhan tidak wajib diperbarui (Tajdid) setiap hari, dengan alasan setiap ibadah yang harus dilakukan secara terus menerus atau berkesinambungan seperti halnya puasa Ramadhan, maka niat puasanya cukup satu kali pada awalnya saja.

Pendapat kedua ini bisa dijadikan langkah antisipasi oleh kita jika khawatir niat puasanya lupa pada hari-hari berikutnya. Ulama Syafi'iyah, sepetihalnya banyak dijelaskan dalam literatur fikih Syafi'i, menganjurkan agar pada malam pertama awal Ramadan niat puasanya diniatkan satu bulan penuh dengan redaksi niat; saya niat puasa fardhu di semua hari bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta'ala.

Dengan model niat dan taqlid kepada Imam Malik seperti ini, maka puasanya tetap dihukumi sah misalnya lupa tidak niat dihari-hari berikutnya. Akan tetapi, agar tetap mendapat pahala yang berlipat, kalau kita masih ingat untuk niat dimalam hari, maka kita wajib niat sebagaimana yang diatur dalam tuntunan puasa Ramadhan dalam madzhab Syafi'i. Wallahu A'lam

 
Berita Terpopuler