Saat Corona Merombak Tradisi Ramadhan Berusia Ratusan Tahun

Ibadah selama Ramadhan yang biasanya digelar terpaksa ditangguhkan.

Republika/Putra M. Akbar
Saat Corona Merombak Tradisi Ramadhan Berusia Ratusan Tahun. Sejumlah umat Muslim saat melaksanakan sholat tarawih di Masjid Jami Al-Makmur, Cikini, Jakarta.
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Di dunia Muslim, bulan puasa Ramadhan yang dimulai minggu ini tidak akan sama seperti yang biasanya dalam ingatan. Pandemi Covid-19 mengubah ritual dan ritme tradisi, serta praktik berabad-abad yang lalu.

Otoritas agama Mesir telah melarang adanya meja amal. Selama beberapa generasi, kagiatan ini telah menawarkan makanan gratis saat matahari terbenam di sudut-sudut jalan dan di samping masjid, untuk mereka yang berbuka puasa.

Mufti agung Arab Saudi telah mengatakan ibadah selama Ramadhan, termasuk sholat tarawih yang biasanya diadakan di masjid-masjid dan dipenuhi dengan jamaah. Perayaan Idul Fitri di akhir bulan puasa pun harus diadakan di rumah.

Presiden Iran Hassan Rouhani praktis meminta maaf ketika dia meminta warga Iran tidak mengunjungi tempat suci selama Ramadhan atau berpartisipasi dalam pertemuan buka puasa, dan mengadakan makan malam yang meriah. "Di bulan suci Ramadhan, kami tidak akan melakukan kegiatan seperti biasa, contohnya buka puasa bersama. Kuil suci dan masjid, akan ditutup selama dua minggu lagi sambil menunggu pertemuan baru," kata Rouhani dikutip di Washington Post, Selasa (21/4).

Tetapi para ulama yang mengklaim adanya kebenaran di beberapa tempat, menentang larangan resmi pemerintah. Di Pakistan, pemerintah memutuskan, kelompok beranggotakan lima orang atau kurang dapat menghadiri sholat berjamaah di masjid-masjid.

Pasukan keamanan dikerahkan untuk membubarkan beberapa pertemuan agama besar, dan memicu bentrokan antara jamaah dan polisi. Lembaga keagamaan negara tersebut didorong melawan pembatasan, dengan sekelompok 50 ulama terkemuka mengeluarkan peringatan kepada pemerintah pekan lalu, untuk memudahkan mereka dan menghentikan penangkapan.

Baca Juga

Umat Islam menyambut Ramadhan dengan shalat berjamaah di Masjid. Masyarakat Dunia Islam saat ini dituntut menguasai Bahasa Inggris bila ingin mempromosikan dan memperkaya dunia dengan nilai-nilai Islami. - (AA/WORLD BULETIN)

Sabtu (18/4) lalu, pemerintah lantas menyerah dan menghapus batas kehadiran masjid. "Orang-orang ingin melihat para pemimpin politik dan agama mereka di halaman yang sama dan konflik apa pun akan kontraproduktif," kata Presiden Arif Alvi kepada wartawan.

Dari Mesir ke Malaysia dan seterusnya, Covid-18 telah membayangi 1,8 miliar Muslim di dunia, saat mereka bersiap untuk bulan paling suci tahun ini. Di banyak negara, pihak berwenang telah memberlakukan penguncian yang komprehensif, memberlakukan jam malam, dan memerintahkan larangan bepergian. Selain itu mereka juga menangguhkan sementara sholat di masjid dan melarang adanya pertemuan keagamaan.

Langkah-langkah ketat, dikombinasikan dengan penutupan perbatasan dan bandara, telah memukul orang miskin dengan keras. Angka pengangguran dan harga pangan melonjak saat Ramadhan dimulai.

Selama akhir pekan, otoritas agama Mesir mendesak agar zakat diberikan kepada orang miskin sebelum Ramadhan dimulai, karena pengambilan zakat tradisional akan dilarang.

 

Umat Muslim juga dilarang melaksanakan ritual Itikaf. Di mana umat Islam menghabiskan 10 hari terakhir Ramadhan di masjid untuk berdoa dan berdiam diri. Masjid-masjid di Mesir telah ditutup sejak bulan lalu untuk mencegah penyebaran virus.

Arab Saudi sedang menangguhkan visa bagi umat Islam yang ingin melakukan ziarah ke kota-kota suci Makkah dan Madinah, yang biasanya populer selama bulan Ramadhan. Masjid Nabawi di Madinah juga mengumumkan melarang acara makan malam bagi orang miskin, untuk berbuka puasa.

"Tahun ini, Ramadhan akan berbeda. Dan tidak ada yang bisa kita lakukan untuk itu," kata seorang insinyur di Kairo, Gehad Soliman.

Soliman mengatakan, dia akan memilih rumahnya sebagai tempat untuk melakukan ritual Ramadhan. Meninggalkan pertemuan buka puasa akan benar-benar menyakitkan, karena sebagian besar keluarganya tidak akan bisa datang.

Keluarganya sangat dekat satu sama lain dan kerap berkumpul. Namun kini mereka tidak bisa bertemu untuk melindungi kesehatan mereka. Hal ini harus dilakukan untuk melindungi orang yang ia cintai lebih dari dirinya sendiri.

Perdana Menteri Pakistan Imran Khan enggan mengeluarkan kebijakan karantina wilayah karena karena khawatir tindakan itu akan merusak ekonomi yang kini sedang berjuang. Sebaliknya, pemerintah daerah telah mengeluarkan batasan mereka sendiri, menutup sebagian besar bisnis di seluruh negeri, dan memerintahkan orang untuk tetap tinggal di rumah.

Surat kabar terkemuka, Pakistan Dawn menyuarakan dukungan untuk pembatasan pemerintah dalam artikelnya. Tetapi para ulama mengkritik pendekatan itu. Mereka mengklaim tindakan itu secara tidak proporsional melukai orang miskin dan taat di negara itu. Banyak orang Pakistan yang saleh percaya doa berjamaah diperlukan bagi negara untuk mengalahkan virus Covid-19.

Muslim Pakistan membeli buah-buahan dan barang-barang lainnya, makanan untuk berbuka puasa, dari bazaar yang dikelola pemerintah yang khusus disiapkan untuk bulan puasa Ramadhan, di Rawalpindi, Pakistan. - (AP/Anjum Naveed)

"Kita harus kembali kepada Allah untuk berdoa mengakhiri Covid-19 ini," kata Maulana Hamid ul-Haq, putra ulama Pakistan yang terbunuh, Maulana Sami ul-Haq.

Sementara itu, penutupan sekolah, angkutan umum dan sebagian besar bisnis telah diperpanjang hingga Ramadhan. Pemerintah mengumumkan masjid akan dibuka untuk kelompok besar untuk ibadah berjamaah selama bulan suci.

Di Barat Laut Suriah, tempat kelompok gerilyawan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) berkuasa, awal bulan ini pemerintah Islam setempat mengumumkan shalat Jumat akan dihentikan selama dua minggu untuk melindungi penduduk dari penyebaran virus.

Hari berikutnya, menentang perintah tersebut, seorang mantan komandan HTS mengadakan sholat Jumat di sebuah masjid di Idlib, dan menentang perintah tersebut. Di Afghanistan, kelompok-kelompok bantuan dan organisasi keagamaan telah melaporkan peningkatan jumlah orang yang meminta bantuan makanan menjelang Ramadhan.

Tindakan penguncian terkait pandemi global di kota-kota di seluruh negeri, pembatasan pergerakan domestik, dan penutupan perbatasan internasional, mendorong turunnya persediaan makanan dan menambah angka pengangguran. Abdul Fatah Jawad, anggota Jamiat Eslah, sebuah kelompok Islam dengan sayap amal yang besar, mengatakan permintaan telah meroket dan melampaui sumbangan.

"Orang-orang menelepon, mengirim SMS dan beberapa muncul secara langsung, menangis dan memohon sumbangan. Beberapa keluarga bahkan tidak memiliki makanan selama seminggu. Situasinya sangat kritis," katanya.

Jawad mengatakan organisasinya biasanya menyumbang sekitar 75 ribu dolar Amerika untuk orang miskin menjelang Ramadhan. Tetapi tahun ini telah mendistribusikan lebih dari 100 ribu dolar Amerika, dan bulan suci belum dimulai.

Di Yaman, muncul kekhawatiran yang tumbuh di antara orang miskin. Seorang mahasiswa dan ayah dua anak di provinsi Marib, Sameer Ahmed Alharbi mengatakan, harga makanan telah meningkat secara dramatis.

Orang-orang tidak siap untuk menghadapi Ramadhan atau Covid-19. Pekan lalu, Yaman mengonfirmasi kasus virus pertama.

"Ramadhan sudah dekat, dan kami belum bisa membeli makanan yang cukup. Sekarang dengan ancaman penyakit ini, jika menyebar di negara kita, itu akan menjadi bencana besar," ujarnya.

Masjid, katanya, terbuka seperti halnya pasar. Ia belum melihat tindakan pencegahan apa pun yang diambil oleh otoritas setempat dalam hal ini. Pemerintah setempat mengumumkan jam malam sejak tiga hari yang lalu, dari pukul 21.00 sampai 09.00. Tetapi orang belum mengikutinya. Orang-orang sangat ceroboh.

 
Berita Terpopuler