Muslim India Jadi Sasaran Serangan di Tengah Wabah Covid-19

Muslim di India diserang karena dituduh menyebarkan Covid-19.

Manish Swarup/AP
Muslim India Jadi Sasaran Serangan di Tengah Wabah Covid-19. Jamaah menunggu di bus untuk dibawa ke ke fasilitas karantina saat terjadinya wabah virus Corona di daerah Nizamuddin, New Delhi, India.
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI --  Sadiq Khan sedang duduk di luar rumahnya ketika belasan tetangga Hindu menyerangnya dengan senjata tajam. Ia diserang karena tidak menaati seruan Perdana Menteri India Narendra Modi untuk mematikan lampu listrik sebagai simbol solidaritas dalam perang negara melawan Covid-19.

Modi meminta warga mematikan listrik dan menyalakan lilin atau lampu senter ponsel selama sembilan menit pada pukul 21.00 tanggal 5 April lalu. Langkah ini dilakukan untuk menghilangkan kegelapan yang disebarkan oleh wabah tersebut.

India hingga saat ini masih berada di bawah aturan karantina wilayah tiga pekan untuk memerangi penyakit menular yang telah menyebar di seluruh dunia. Keluarga Khan berada di distrik Jind, Negara Bagian Haryana utara. Ia dengan antusias mengamati pemadaman listrik. Semua warga menyalakan lilin dan lampu mobil.

Namun, satu bola lampu listrik di rumah mereka membuat tetangga-tetangga Hindu-nya kesal. Mereka lantas mengeluarkan penghinaan agama dan menyebut mereka sebgai pengkhianat, diikuti serangan bersenjata dengan kapak, pentungan, dan senjata lainnya.

Polisi menyebut empat anggota keluarga Khan terluka dalam serangan itu. Pihak keamanan juga menangkap enam orang atas serangan itu.

Kekerasan itu tidak dilakukan tanpa sebab. Kejadian ini merupakan bagian dari serangkaian serangan yang dipicu oleh pandemi di tengah tuduhan Muslim berencana melawan negara. Korban meninggal di India naik menjadi 273 dan kasus positif menjadi 8.447 pada Ahad (12/4).

“Kami sebelumnya hidup damai bersama, tetapi sekarang mereka menyebut kami pengkhianat. Bukankah kita memiliki kebebasan yang sama dengan orang lain (Hindu) untuk memilih cara kita hidup di negara ini. Bagaimana kami berbeda?" kata pria yang bekerja sebagai petani ini, dikutip di the National, Senin (13/4).

Negara ini baru pulih dari kerusuhan yang dilakukan sebagian besar anti-Muslim di Delhi pada Februari. Kerusuhan ini menewaskan lebih dari 54 orang dalam kekerasan massa, setelah berbulan-bulan protes di jalanan nasional atas undang-undang kewarganegaraan kontroversial yang disahkan oleh pemerintah nasionalis Hindu, Modi.

Namun, pemicu langsung dari kekerasan baru itu adalah kongregasi Jamaah Tabligh pada pertengahan Maret. Kelompok ini melakukan pertemuan yang dihadiri oleh ribuan anggota di Nizamuddin, Delhi, meski ada peringatan kesehatan dan protokol jarak sosial.

Pihak berwenang menuduh penyelenggara melanggar aturan karantina wilayah dan menghalangi upaya pemerintah membendung penyebaran virus. Lebih dari 1.400 orang dari pertemuan itu dinyatakan positif terkena virus. Lebih dari belasan dilaporkan meninggal.

Baca Juga

Insiden ini lalu diikuti kampanye pedas terhadap komunitas Muslim India oleh politikus sayap kanan dan bagian dari media arus utama. Kampanye ini mengeklaim sebagai bagian dari "perang Islam" melawan India yang mayoritas Hindu.

Seorang pakar mengatakan, tindakan itu mirip dengan "bio-Jihad" dan umat Islam seperti "bom manusia". Mereka menuntut kesepakatan pemerintah dengan pelanggar seperti teroris. Namun, ada anggota komunitas Hindu yang menentang kekerasan tersebut.

"Memang benar kebencian meningkat di India selama beberapa tahun terakhir, ketegangan di masyarakat meningkat," kata seorang aktivis hak-hak Hindu, Rahul Easwer.

Ia menilai Jamaah Tabligh bisa menjadi sedikit lebih berhati-hati dalam berkegiatan. Namun, orang-orang tidak menganggap serius pandemi ini sampai Maret karena ada pesan halus dari pemerintah.

"Orang-orang tidak boleh menyebarkan virus Islamofobia pada titik waktu ini karena itu akan kontraproduktif," ujarnya.

Petugas pemadam kebakaran menyemprot disinfektan di Nizamuddin di New Delhi, India, Kamis (2/4). Komunitas Jamaah Tabligh menggelar pertemuan di wilayah tersebut awal bulan ini dimana sejumlah jamaah positif corona atau Covid-19. - (AP Photo/Manish Swarup)

Namun, retorika memicu kemarahan di jalan-jalan, ketika beberapa Muslim secara brutal diserang atas tuduhan mereka sengaja menyebarkan virus. Banyak penduduk Hindu menyerukan boikot sosial dan ekonomi terhadap 200 juta komunitas Muslim India.

Namun, kenaikan tajam atas retorika anti-Muslim di India sejak kemenangan pemilihan mutlak Modi pada 2014. Masa jabatan kedua pada Mei tahun lalu mengikuti serangkaian keputusan yang dianggap anti-Muslim.

Pemerintah Modi telah mencabut otonomi daerah mayoritas Muslim yang disengketakan, Kashmir. Pihaknya mengatakan keputusan itu adalah bagian dari pertempuran melawan gerilyawan separatis di sana.

Kebijakan ini juga telah mengkriminalkan perceraian Muslim, yakni memungkinkan seorang pria menceraikan seorang wanita dengan mengulangi kata perceraian tiga kali dalam bahasa Arab (talak). Pemerintah juga melakukan pembangunan sebuah kuil yang diperintahkan oleh pengadilan untuk dewa Hindu, Dewa Ram, di reruntuhan masjid abad pertengahan.

Ketegangan antara mayoritas Hindu dan Muslim telah tinggi sejak Desember. Saat itu pemerintah mengubah undang-undang kewarganegaraan negara dan memberikan kewarganegaraan jalur cepat kepada non-Muslim.

Menurut para kritikus, ini adalah bagian dari agenda partai yang berkuasa untuk mengubah India yang sekuler resmi menjadi negara Hindu. Pemerintah mengatakan, kebijakan itu tidak ditujukan untuk membungkam Muslim, tetapi membantu orang-orang yang rentan mendapatkan keselamatan.

Polisi di Delhi mengatakanm mereka sedang menyelidiki serangan brutal terhadap seorang pria Muslim oleh warga desa Hindu yang menuduhnya menyebarkan virus dengan menyuntikkan air liurnya ke buah-buahan dan sayuran. Sebuah video serangan memperlihatkan para pria memukul pria itu dengan tongkat dan menanyai dia tentang rencana untuk menyebarkan virus. Pria berusia 21 tahun itu kini sedang dalam pemulihan di sebuah rumah sakit Ibu Kota karena cedera. Ia belum dinyatakan positif terkena Covid-19.

Tagar seperti "Corona Jihad" sedang tren di media sosial. Sebuah video palsu seorang Muslim meludah, menjilat, dan melanggar karantina wilayah ditambahkan sebagai serangan balasan terhadap Muslim.

Banyak penjual buah dan sayuran terpaksa menutup toko-toko mereka. Beberapa sopir truk dipukuli di sebuah negara pegunungan yang terpencil. Bahkan, seorang wanita Muslim kehilangan bayinya yang baru lahir setelah dokter diduga menolak merawatnya karena takut kalau dia terinfeksi.

Paramedis India memeriksa nama jamaah yang mengenakan masker sebelum diberangkatkan menuju fasilitas karantina saat terjadinya wabah virus Corona di daerah Nizamuddin, New Delhi, India, Selasa, (31/3). Polisi telah menutup daerah itu setelah beberapa orang yang menghadiri sebuah sidang Islam awal bulan itu dinyatakan positif Covid-19 - (Manish Swarup/AP)

Dua keluarga Muslim diserang di Kota Gurgaon. Bahkan, sebuah peluru ditembakkan di sebuah masjid oleh anggota Hindu, yang mengeklaim mereka sedang memeriksa apakah Muslim ada di dalam lokasi tersebut.

Para ahli mengatakan, menghubungkan Jamaah Tabligh dengan pandemi telah menjadi cara sistematis memberikan dorongan baru bagi Islamofobia di negara ini. "Kelas politik secara sistematis menggunakan biner Hindu-Muslim hanya untuk mengekstraksi keuntungan politik," kata associate professor di Pusat Studi Masyarakat Berkembang, Hilal Ahmed.

Pada tahap awal, kemapanan politik India menunjukkan ketidakjelasan dalam merespons konflik yang ada. Kemudian, begitu Jamaah Tabligh menunjukkan kasusnya, hal ini digunakan sebagai pemicu.

Namun, pemerintah menolak tuduhan itu. Mereka mengatakan tindakan kekerasan sedang dilakukan oleh aktor jahat.

"Pemerintah India sangat prihatin dengan insiden seperti itu. Kami tidak ingin insiden terjadi di mana pun di negara ini, tidak hanya terhadap komunitas Muslim atau minoritas, tetapi untuk semua manusia," kata juru bicara pemerintah, Kuldeep Singh Dhatwalia.

 
Berita Terpopuler