Perlawanan Jawa, Sukmawati, Modi: Sejarah Bukan Megalomania!

Perlawanan Jawa, Sukmawati, Modi: Sejarah Bukan Megalomania !

KTLV
Lasykar rakyat dalam pemberontakan petani dan ulama di Banten, tahun 1888.
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

''Setelah perang Jawa (Perang Diponegoro) usai pada tahun 1830 tak ada lagi perlawanan di Jawa!'' Pernyataan Sukmawati Soekarnoputri yang terkait soal jasa Bung Karno dan Nabi Muhammad SAW dalam kemerdekaan Indonesia kini bikin ribut dunia maya. Pertanyaan Sukma memang kontroversial. Kehebohannya sama dengan pernyataan dia dahulu ketika menyoal suara adzan tak semerdu tembang, perbandingan keanggunan konde dan kebaya dengan busana muslimah, dan lainnya.

Tapi dalam soal tersebut hanya soal Jawa yang tak lagi melakukan perlawanan usai perang Jawa itu yang akan dibahas. Benarkah pernyataan ini benar?

Mungkin Sukmawati benar sebab di masa lalu sebelum ada penelitian tentang 'Geger Banten' (Pemberontakan Petani Banten tahun 1888) yang ditulis oleh mendiang empu sejarah Kartono Kartodirdjo begitu adanya. Penulisan sejarah Indonesia sebelum ada disertasi yang ditulis Sartono di Leiden Belanda ini memang berbau 'megalomania kolonial': Sejarah hanya mencatat tokoh besar, peristiwa besar, kerajaan, para pangeran dan elit lainnya. Soal sejarah rakyat dan jasa kaum kecil masa kaum Marhaen terlupakan. Mereka hanya dianggap sebagai pelengkap penderita.



Maka sosok sejarawan Sartono itulah yang mengubah persespi megalomania dalam sejarah Indonesia. Melalui penelitiannya pada peristiwa pemberontakan para haji, kiai, dan petani Banten itu dia menceritakan peran rakyat kecil dalam perjuangan kebangsaan. Sartono tak tertarik menulis sejarah orang besar dan para bangsawan layaknya cerita babad tanah Jawa yang penuh mitos.

Selain itu, berkat disertasi tersebut Sartono kemudian menuliskan bila sebenarnya pulau Jawa tak pernah sepi dari perlawanan kepada kolonial yang dilakukan rakyat biasa. Dan itu terjadi baik sebelum dan sesudah perang Jawa. Lagi pula ini memang tak dicatat, karena penulisan sejarah versi kolonial hanya mencatat 'orang besar'. Peran sosok jelata seperti 'Badu' dan 'Dadap' (sebutan klasik orang kecil), 'guru ngaji di surau, bahkan bandit yang mengaku Ratu adil dan berjuang melawan penjajah dengan semangat 'jihad' (perang suci) tak ditulis dalam sejarah.

Contohnya pun banyak sekali, misalnya perlawanan Kiai Iman Rafingi di Kalisasak Pekalongan, Entong gendut di Betawi, para haji di Banten, atau terlawan rakyat di Garut zaman Sarekat Islam, perlawanan Haji Misbach di Solo, dan berbagi perlawanan lain yang membuat mereka dibuang dan mati dalam pembuangan di Tanah Merah,  Digul Papua.

Keterangan foto: H Misbcah dkk di buang ke Digul setelah PKI gagal melakukan pemberontakan.

Kenyataan itu, terlihat sangat jelas misalnya ketika menelisik buku ‘Bandit-Bandit’ Pedesaan di di Jawa (Studi Historis 1850-1942), karya  sejarawan Universitas Gadjah Mada, DR Suhartono. Dalam kajian mengenai dunia ‘perbanditan’ di Jawa pada kurun itu  (penelitian dilakukan di tiga daerah: Banten dan Batavia di Jawa Barat, di Yogyakarta dan Surakarta di Jawa Tengah, dan Keresidenan Pasuruan), maka  dengan sangat jelas situasi sosial seperti apa yang membuat munculnya aksi kekerasan tersebut.

Dalam kajiannya Suhartono menulis, memang perbanditan (kalau masa sekarang mungkin bisa disebut sebagai aksi premanisme, red) pada saat itu adalah bentuk dari kriminalitas yang berkembang di masyarakat agraris. Meski begitu, istilah perbanditan sebenarnya masih dapat dibedakan , yaitu semata-mata kriminal dan ‘venal’ (penal) yang bertujuan mendapatkan hasil harta rampokan untuk hidup, sedangkan yang lain adalah bentuk perbanditan sosial model Robin Hood, yakni melakukan perbanditan yang hasil kejahatannya itu nantinya dibagikan kepada anggota masyarakat miskin.

Lalu model perbanditan apa yang kemudian terjadi di Jawa pada kurun itu? Dalam kajian Suhartono secara sekilas dapat dikatakan, meski ada sifatnya yang ‘murni kriminal’ itu, namun sebenanrya perbanditan di Jawa pada kurun tersebut lebih banyak bersifat sebagai protes sosial atau perlawanan kepada pemerintah kolonial.

‘’Secara khusus perbanditan yang banyak terjadi di pedesaan Jawa adalah 'kecu', rampok, 'koyok', dan sejenisnya. Dan karena aksi ini secara sadar dilakukan sebagai usaha perbaikan kondisi ekonomi dari pihak pelakunya, maka aksi mereka  dapat juga dikatakan sebagai perbanditan sosial.

Menurut dia, pada dasarnya semua perbanditan muncul karena rakyat pedesaan kehilangan orientasi dan lepas dari kehidupan budayanya akibat kemiskinan, penindasan, dan penghisapan oleh pihak kolonial . Aksi ini bisa saja dilakukan oleh individual atau sekelompok orang untuk mendapatkan haknya kembali yang telah dirampas.

Uniknya, selain dilakukan dengan melakukan perampasan harta, aksi perbanditan yang merupakan ekpresi dari perlawanan rakyat itu juga kerapkali diwujudkan dengan tindakan perusakan terhadap berbagai perusahaan milik penguasa saat itu. Di beberapa tempat misalnya, aksi perbanditan ini dilakukan dengan melakukan pembakaran terhadap kebun tebu, los tembakau, pengrusakan saluran irigasi, dan pengrusakan gudang dan bangunan.  

Adanya fenomena seperti itu, bisa dirujuk pada sumber data yang didapat dari arsip 'Kolonial Verslag'. Pada arsip itu  dilaporkan bahwa tindakan ‘perbanditan’ terjadi hampir setiap hari dan dilakukan dalam frekuensi yang cukup besar. Di pihak lain, resistensi serupa berupa perlawanan terhadap penindasan kolonial yang diekpresikan dengan tindakan perbanditan itupun kerapkali diwujudkan dengan aksi perampokan dan kerusuhan yang serius.

Di Vorstenlanden (wilayah kerajaan yang ada di Yogyakarta dan Surakarta) dikenal munculnya 'kecu' (orang jahat) yang banyak melakukan perampokan di wilayah itu. Aksi mereka ini menyasar pihak pabrik, perkebunan, orang Cina, pemimpin wilayah setempat.


Sedangkan di Batavia perlawanan kepada penguasa kolonial berupa kerusuhan banyak ditujukan pada tuan tanah partikelir dan orang-orang Cina. Di Probolinggo dan Pasuruan aksi kekerasan itu memang seringkali dilakukan dengan cara melakukan pembakaran kebun tebu dan bedeng tempat penyimpanan tembakau.

Namun, selain ada yang dilakukan dengan maksud murni merampok, pada kenyataan lain aksi perbanditan itu juga kadangkala diekpresikan munculnya sebuah ‘kepemimpinan mistik’ (aksi mesianis). Hal ini ditandai dengan munculnya seseorang yang mengklaim dirinya sebagai ‘ratu adil’ atau utusan Tuhan untuk membebaskan segala derita rakyat yang tertindas. Para bandit ini acapkali mengaku punya kekuatan supranatural yang dapat dibanggakan dalam menghadapi lawannya, yakni para penindas itu.

Suhartono menulis, salah satu sosok bandit yang mengaku sebagai ‘orang suci’ itu adalah Mas Zakaria, seorang bandit dari Banten. Karier bandit Zakaria ini berlangsung pada tahun 1811-1827. Zakaria mengaku sebagai keturunan orang suci dari bapaknya yang ternyata juga seorang bandit. Bahkan, dua dasa warsa setelah kematiannya, masih banyak orang di Banten yang percaya roh Zakaria berperan dalam mengobarkan
pemberontakan Cikande yang pecah pada tahun 1847.

Para pelaku pemberontakan Cikande ketika ditangkap, banyak yang mengaku bila tindakan nekadnya  mengobarkan aksi perlawanan kepada pemerintah kolonial Belanda itu adalah untuk meneruskan sepak terjang leluhurnya yang bernama Zakaria tersebut.

Di Batavia juga dikenal aksi perbanditan yang dilakukan oleh Entong Gendut, yang tinggal di kawasan Jatinegara. Dia melakukan aksi kekerasan kepada tuan tanah yang  bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat kecil. Entong menolak melakukan kewajibannya dan melunasi hutang kepada tuan tanah. Akibatnya para tuan tanah naik pitam. Mereka kemudian meminta pemerintah kolonial bertindak dengan mengerahkan aparat keamanannya untuk menangkap ‘Bang Entong.’

Namun, Entong pun tahu bahwa dirinya akan segera ditangkap. Dia kemudian mengumpulkan massa untuk melawan usaha penangkapan tersebut. Maka kemudian terkumpulah sekitar 40 orang yang bersedia bergabung dengannya untuk melakukan perlawanan. Dan untuk lebih menyakinkan pengikutnya bahwa dia seorang ‘ratu adil’ maka ketika melakukan perlawanan Entong pun membawa berbagai simbol tertentu yang dinilai punya kekuatan mistik, seperti mengibarkan bendera bergambar bulan
sabit hingg melakukan pengajian bersama untuk membaca Alquran dan membacakan wirid.  

Sikap Entong sebagai seorang ‘ratu adil’ makin tampak ketika melihat cara dia melakukan perlawan terhadap pasukan polisi kolonial yang hendak meringkusnya. Saat bertempur dia bersama pengikutnya secara terus menerus memekikkan  teriakan ‘Sabilillah’ (perang suci di jalan Allah). Aksi yang  sama juga muncul di wilayah Surakarta dan Yogyakarta.

Sekitar tiga dasa warsa sebelum meletusnya perlawanan Entong Gendut, di dua kawasan tersebut saat itu juga merajalela aksi perbanditan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Masyarakat setempat menyebut pihak pelakunya sebagai gerombolan  ‘kecu’. Mereka mengincar aparat birokrat pemerintah tingkat desa, yang disebut ‘ bekel’.

Keterangan foto: Cokro Aminoto dalam sebuah pertemuan Sarekat Islam. Guru Soekarno ini oleh Rakyat Jawa kala itu disebut Ratu Adil. Setiap berjalan menghadiri rapat akbar, rakyat duduk bersimpuh ketika Cokroaminoto lewat.  Pihak kolonial menyebutnya raja Jawa tanpa mahkota. Gaya pidato Bung Karno meniru gaya pidatonya.

Laporan Asisten Residen Sragen misalnya menyatakan, pada 15 September malam 1873 sekitar dua puluh orang tak dikenal menyerbu rumah ‘bekel’ di desa
Kretek, Sragen. Tak cukup membawa 11 ekor kerbau, beberapa pikul padi, dan membawa kekayaan seharga 108,84 gulden, mereka juga membunuh isteri tua dari bekel tersebut. Aksi mereka tergolong cerdik karena kemudian tak bisa ditangkap.

Dan berbagai aksi seperti ini kemudian terus berlangsung secara luas dalam waktu cukup lama. Malahan, sampai masa dasa warsa pertama abad ke-20, akitvitas ‘kecu’ itu masih menunjukan frekuensi yang tinggi.

Daerah Klaten malah bisa disebut sebagai wilayah yang punya banyak kejadian ‘pengkecuan’. Antara tahun 1885-1900 tercatat di Klaten terjadi 23 kali tindak peng-'kecuan', Sragen 16 kali, Surakarta, 15 kali, Boyolali 13 kali, dan Wonogori 8 kali.

‘’Pada tahun 1915 peng-'kecuan' di Surakarta jumlahnya relatif besar, 51 kali, di bandingkan tahun-tahun sebelum 1900 yang rata-rata kurang dari 10 kali setahun. Rupanya hal ini ada korelasi antara resistensi petani dan gerakan Sarekat Islam sehingga gerakan ini mampu menampung aspirasi petani. Yang terhitung sangat tinggi adalah pengekecualian yang terjadi tahun 1919 yang mencapai 85 kali setahun. Angka ini menurun drastis tinggak 24 kali setahun atau seperempatnya
pada tahun 1924,’’ tulis Suhartono.


 
Berita Terpopuler