Tafsir Al-Amin Bedah Surah Al-Fatihah

Tafsir Al-Amin Bedah Surah Al-Fatihah

Republika/Mahmud Muhyidin
Petugas memperlihatkan Alquran dari DKI Jakarta di Perpustakaan Jakarta Islamic Center, Jakarta, Kamis (15/11). Perpustakaan Jakarta Islamic Center memiliki beragam koleksi Alquran dan tafsirnya yang berasal dari beberapa negara islam hingga dalam negeri untuk mencari referensi keilmuan peradaban Islam.
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Ali Yusuf, Jurnalis Republika

JAKARTA — Tafsir Al-Amin Bedah Surah Al-Fatihah menjadi pemacu semangat untuk mempelajari tafsir Alquran. Struktur penulisan di Tafsir Al-Amin Bedah Surah Al-Fatihah tulisan Prof Muhammad Amin Suma ini mudah dipahami terutama bagi pembaca Ajam, atau pembaca bukan orang Arab yang masih awam terhadap dasar-dasar ilmu Alquran seperti Nawhu Shorof, kosa kata (mufrodat) dan gaya bahasa Alquran (uslub) sebagai perangkat dasar untuk mempelajari ilmu ini.

Melalui gaya bahasa sederhana, penjelasan yang baik tentang ghoribul Alquran atau kata-kata yang langka dalam Alquran, membuat buku setebal 151 halaman ini memudahkan pembaca mengerti tentang surah Alquran yang ditafsir Prof Amin Suma. Untuk menafsirkan Surah Alfatihah dan memudahkan pembaca memahaminya, Prof Amin Suma membagi tulisannya kedalam lima bagian. Bagian pertama Pendahuluan, bagian kedua Pedoman Dasar dan Umum Transliterasi, Penerjemahan, dan Penafsiran Alqurab, bagian ketiga Tafsir Lafzh Al-Jalalah (Lafal Keagungan/Kebesaran Allah), bagian keempat Kalimat Al-Istiadzah dan bagian terakhir menguraikan tentang surah al-Fatihah yang ditafsirkan.

Prof Amin Suma menyampaikan, Alquran tidak akan pernah habis digali oleh berapa pun banyak orang yang melakukan penerjemahan apalagi penafsiran terhadap Alquran. Menurutnya, semakin banyak penggalian terhadap Alquran, semakin terasa sedikit kita tahu tentangnya dan semakin sedikit kita menggeluti Alquran maka akan semakin menipis pula semangat untuk menggali isi kandungan Alquran dan apalagi untuk mengembangkan pemahamannya .

“Inilah yang merangsang saya terus-menerus melakukan penggalian, pemahaman, perenungan, dan penulisan terhadap khazanah keilmuan yang ada di dalam Alquran sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulu kita,” kata Prof Amin Suma dalam pendahuluannya hlm 6.

Buku atau kitab Tafsir Al-Amin Bedah Surah Al-Fatihah ini ditulis untuk mengiringi Alquran yang selalu eksis sepanjang zaman di semua tempat dan keadaan, maka tafsir Alquran harus selalu setia menyertainya untuk setiap generasi dan semua kondisi dengan peluang dan tantangannya masing-masing. Secara tekstual wahyu Alquran bahkan juga hadits memang sudah berakhir begitu Nabi Muhammad SAW wafat. Namun secara faktual kontekstual, penafsiran Alquran dipastikan boleh dan bahkan terus harus terus dikaji sepanjang zaman di semua keadaan.

“Terutama ketika dihadapkan pada berbagai persoalan yang mengalir deras tanpa henti yang tengah melanda semua negara dengan segala permasalahannya masing-masing termasuk di Indonesia,” katanya.

Saat ini kata dia, minimal sebagian umat Islam seakan-akan terkesima menyaksikan gelombang kehidupan nyata sungguh dahsyat dan luar biasa membingungkan logika, apalagi jika alat ukur yang digunakan untuk menilai adalah nilai-nilai universal dan kaidah-kaidah agama yang bersifat baku standar dan Abadi. Maka Alquran dalam konteks ini menjadi pegangan untuk semua orang, semua urusan, semua ilmu, semua tempat, semua keadaan, dan semua zaman yang tidak terbatas apalagi dibatasi.

Mengawali penjelasan BAB 2 tentang Pedoman Dasar dan Umum Transliterasi, Penerjemahan, dan Penafsiran Alquran, Prof Amin memastikan tidak perdebatan di kalangan umat muslim terutama para ulamanya wa-bil-khushush ahli ilmu-ilmu Alquran, bahwa Alquran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam melalui perantara malaikat jibril AS dalam bentuk lafal Arab.  Mengingat Alquran adalah wahyu (kalam)  Allah SWT, maka dapat dipastikan bahwa Alquran bukanlah omong manusia apapun profesi dan status sosialnya, bukan puisi para penyair (wa-ma huwa bi qauli al-syai’r), bukan mantra-mantra para dukun (kahin), bukan bisikan setan yang terkutuk (wa-ma huwa bi-qauli syauithanir-rajim) dan bukan pula karangan Nabi Muhammad SAW. 

Oleh karena itu, untuk mengenali, memahami, dan juga mensosialisasikan Alquran kepada masyarakat luas sudah tentu memiliki perangkat ilmu dan tata cara (metode) tersendiri untuk melakukannya. Termasuk tentang teknik penulisan, transliterasi, penyalinan, terjemahan, penafsiran, dan istinbath al-ahkam.

Transliterasi adalah penyalinan suatu bahasa dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain, dalam tulisan ini penggantian abjad Arab ke abjad Latin-Indonesia. Dengan kalimat lain transliterasi adalah penyalinan dengan huruf lain (naskah yang ditulis dengan huruf Batak Toba misalnya disalin dengan menggunakan huruf latin). Transliterasi bisa juga diartikan dengan alih bahasa dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain (naql al-qalam min lughatin Ila lughatin ukhra), terjemaah, penerjemaah, (al-tarjamaah) atau tepatnya terjemaah yang bersifat bunyi (al-tarjamaah al shautiyyah).

Transliterasi Alquran ke dalam bahasa non-Arab sejatinya bukanlah teks Alquran, mengingat transliterasi Alquran dalam kenyataannya masih belum bisa menyamai teks-teks asli Arab yang dialihbahasakan. Meskipun beberapa bentuk dan transliterasi Alquran telah dibuat oleh sejumlah orang, lembaga, atau bahkan negara. Namun hingga saat ini tetap saja dirasakan masih ada perbedaan-perbedaan mendasar antara teks Arab Alquran yang bahasa Arab dengan transliterasinya ke dalam bahasa Arab.

Meski sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyah, al Syathibi, dan K.H Sirajuddin Abbas salah seorang ulama Indonesia pernah menyatakan keberatan dan sebagian ada yang menfatwakan haram melakukan transliterasi Alquran kedalam bahasa non Arab. Karena mustahil bisa memenuhi standar minimal apalagi mengungguli bahasa Alquran yang sarat dengan mukjizat. Begitu pula dengan terjemahan yang menggunakan terjemahan harfiah yang juga diyakini tidak akan bisa menjelaskan maksud dari ayat-ayat Alquran yang transliterasikan dan terjemahkan.

Namun, demi kemaslahatan yang jauh lebih besar terutama demi tersosialisasikannya Alquran kepada segenap ummatan muslimatan secara keseluruhan, tetap memerlukan dan menjalankan tugas-tugas transliterasi Alquran ke dalam bahasa non Arab.  Demikian pula dengan kegiatan penerjemahan dan terutama penafsirannya ke dalam bahasa bahasa non Arab, termasuk ke dalam bahasa Indonesia di samping tetap melahirkan dan menghadirkan kitab-kitab tafsir Alquan yang berbahasa Arab.

Prof Amin Suma mengatakan, satu hal penting yang mutlak perlu di kawal sepanjang zaman ialah bahwa transliterasi, terjemah, dan tafsir Alquran itu bukanlah Alquran sebagaimana yang kita Imani.  Transliterasi, penerjemahan, dan penafsiran Alquran merupakan hal yang berbeda dengan Alquran. Maksudnya, Alquran adalah Alquran dan transliterasi Alquran, terjemahan, dan penafsirannya masing-masing tetap disebut sebagai transliterasi Alquran terjemahan Alquran dan tafsir Alquran.

Karena terjemahan Alquran itu bukan Alquran, maka tidak tidak sah mengistinbath hukum syariah dilakukan dengan hanya mengacu kepada terjemahan Alquran. Mengingat di samping pemahamannya mengandung kemungkinan salah pada satu sisi, sementara pada sisi yang lain penerjemahan Alquran ke dalam bahasa non Arab itu juga sebelumnya sebelumnya sudah mengandung kemungkinan salah. Dengan demikian maka akan terjadi kemungkinan double kesalahan dalam mengistinbathkan hukum dari terjemahan Alquran (salah dalam penerjemahan dan salah pula dalam pemahaman istinbath hukumnya). Itulah pula di antaranya alasannya mengapa shalat dinyatakan tidak sah hukumnya atau minimal tidak sempurna jika dilakukan dengan hanya bacaan membaca terjemahan Alquran dan membacanya tidak dianggap sebagai perbuatan ibadah.

“Hal itulah karena Alquran adalah namanya yang meliputi HAM dan sekaligus makna.  Lagi pula tidak mungkin diketahui hukum-hukum syariat yang ditetapkan Alquran tanpa memahami nazham dan maknanya,” katanya.

Transliterasi, penerjemahan, da penafsiran Alquran ke dalam bahasa non Arab bahkan penafsiran kedalam Arab sekalipun , lebih berfungsi sebagai sarana dan prasarana yang membantu para pembaca untuk memahami isi kandungan Alquran dalam fungsinya sebagai buku petunjuk (kitab hidayah) di samping sebagai sumber informasi, sumber ilmu pengetahuan dan terutama sebagai sumber keyakinan keagamaan yang umat Islam akui sebagai salah satu rukun iman yang wajib diimani.

Sedangkan untuk sampai ke tingkat istinbath al-hakam, seseorang khususnya munfassir dipastikan wajib mengenal ilmu bahasa khususnya bahasa Arab dalam konteks yang luas, ilmu-ilmu Alquran khususnya Ilmu tafsir yang menjadi hur Alquran, ilmu kalam khususnya ilmu tauhid, ilmu fiqih-ushul fiqih, ilmu-ilmu sejarah khususnya sejarah kenabian dan keislaman, ilmu ahwal al-basyar atau ilm al ijtimai (sosiologi), dan lain-lain, bahkan juga sains dan teknologi terutama di zaman modern (mutakhir) sekarang ini.

Singkatnya kata Prof Amin Suma, semakin banyak seorang melibatkan cabang ilmu pengetahuan dalam menafsirkan surah ayat atau bahkan kalimat dalam Alquran, maka akan sangat mungkin bisa melahirkan pemahaman dan instinbat hukum yang lebih utuh dan menyeluruh (kaffah holistic).  Holisitisitas penafsiran Alquran inilah sejatinya yang sesuai dengan jati diri Alquran yang bisa Prof Amin Suma katakan Alquran satu buku untuk semua (One Bool for All). “Maksudnya Alquran ini adalah kitab suci untuk semua orang, semua urusan, semua tempat, semua zaman dan semua keadaan,” katanya.

Setelah menjelaskan tentang Pedoman Dasar dan Umum Transliterasi, Penerjemahan, dan Penafsiran Alquran, pada Bab 2. Pada bagian Bab 3, Prof Amin menjelaskan tentang Tafsir Lafazh Al-Jalalah (Lafal Keanggungan/Kebesaran Allah).  Menurutnya sebelum memulai membaca Alquran dianjurkan bahkan ada ulama yang mewajibkan untuk lebih dahulu membaca kalimat al-taawwudz/al-isti'adzah dan kemudian basmalah bersamaan dengan itu kita juga mengetahui bahwa di dalam kalimat al-taawwudz/al-isti'adzah dan basmalah bahkan juga dalam hamdalah yang pembacanya dalam konteks Alquran dilakukan secara berturut-turut atau (al-taawwudz dulu kemudian basmalah dan baru hamdalah) di dalamnya terdapat lafal Allah yang lazim diistilahkan dengan sebutan "lafaz al-jalalah atau sama dengan keagungan/kebesaran yaitu Allah”. 

“Lebih dari itu Insya Allah kita juga mengenali bahwa lafal Allah merupakan kata terbanyak yang kita temukan di dalam Alquran,” katanya.

Prof Amin Suma mengatakan, mengenali Allah (makrifah Allah) Jalla Jalaluh merupakan hal yang amat sangat mendasar bagi setiap orang beriman. Menurut Abi Bakr al-Jazairi ada empat macam untuk bisa mengenal Allah. Pertama tingkatan yang diraih oleh para ilmuwan yang mengobservasi alam semesta (al-ulama l kauniyyat). Keimanan mereka kepada Allah didapatkan dengan melakukan penalaran dan berargumentasi al-nazhar wa-al-istidlal. Kedua tingkatan keimanan orang-orang mukmin yang keimanannya lebih didasarkan pada sikap pengikutan (al-Iman al taqlidi) yang diperoleh mereka melalui rasa kesadaran diri yang bersifat fitri (al-syuur al fithri) dan sebatas mengandalkan berita-berita yang disampaikan oleh orang lain dalam pengertian menurut orang lain tentang eksistensi Allah dan kemasyhurannya (wujudillah wa syuhratiha).

Tingkatan pengenalan Allah dengan cara yang kedua ini masih tergolong ke dalam tingkatan yang rendah, mengingat pemiliknya adalah orang-orang yang mukmin yang sedikit tipis ketakwaan, ketakutan, dan kecintaannya kepada Allah. Ketiga pengetahuan orang-orang mukmin dari kalangan ahli-ahli syariat ilahiah (ahl al-syari al-ilahiyyah) yang mampu mengenali Allah dengan mengacu kepada metode yang Allah berikan kepada mereka melalui berita dan petunjuknya, serta berita yang diperoleh dari orang yang lebih dulu mengenali Allah dengan cara yang benar berdasarkan kesaksian (al-syawahid) argumentasi (al-barathin) dan dalil-dalil (al-dillah) yang relevan dengan itu.  Orang-orang mukmin terpelajar macam inilah yang kebanyakan mampu mencintai Allah seperti dicontohkan orang-orang berilmu (al ulama) sebagai pewaris Nabi sebagaimana dimaksud dalam surat Fathir Ayat 28. Dan keempat tingkatan pengetahuan para nabi Rasul Allah sebagai tingkatan yang paling tinggi, lebih sempurna dan lebih lengkap. “Karena  dalam mengenal Allah mereka langsung dari Allah sendiri yang meliputi seluruh aspek keilmuan yang bersifat komprehensif dan sempurna (tamam),” katanya.

Sementara pada bagian ke-4 Prof Amin Suma menerangkan tentang kalimat Al-Istiadzah ialah bacaan hamba Allah yang berbunyi audzu billahi min al-syathanir rajim artinya (Aku berlindung dengan nama Allah. Yang Maha Mendengar lagi Maha Tahu, dari godaan syaitan yang terkutuk). Jika membaca artinya itu adalah Taawwudz isinya meminta perlidungan dan pertolonga kepada Allah SWT atas godaan syaitan yang terkutuk.

Redaksi Taawwudz banyak macamnya. Dan yang paling banyak dibaca oleh kaum muslimin dan muslimat di seluruh dunia di antaranya: “Aku berlindung dengan nama Allah. Yang Maha Mendengar lagi Maha Tahu, dari godaan syaitan yang terkutuk. “Aku berlindungan dengan Allah yang Maha Agung, dari godaan/bisikan syaitan yang terkutuk, sesungguhnya Allah itulah Dia yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. “Aku berlindung dengan Allah yang Maha Mulia dari godaan syaitan yang  jahat”.  “Aku belindung dengan Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syaitan yang terkutuk, dari tiupannya, dari sihirnya, dan dari godaan/fitanahnya”.

Taawwudz merupakan doa para nabi dan rasul. Maka Taawwudz sebaiknya dibaca ketika akan memulai memanjatkan doa. Karena para kekasih Allah SWT (Nabi dan Rasull Allah) juga membacakan Taawwudz ketika dalam kesulitan dan ingin segara mendapatkan pertolongan dari Allah SWT. Di antara kekasih Allah yang membaca Taawwudz ketika mendapat masalah felik adalah Maryam yang diabadikan di dalam Surat Maryam (19) Ayat 8 yang artinya “Sesungguhnya aku (Maryam) berlidunga dengan Allah yang Maha Penyayang” (Surat Maryam (19) Ayat 8). “Ya Rabb ku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan syaitan” (Surat al-Muminun (23) Ayat 97). “Aku berlidung kepada Rabb yang menguasai (waktu) subuh” (al-Falaq (113) Ayat 1). “Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia” (Surat an-Nas (114) Ayat 1).

Selain Maryam, Nabi Yusuf juga membaca Taawwudz ketika mendapat godaan Siti Zulaikha, seperti yang diabadikan dalam Surat Yusuf 12 Ayat 23, yang artinya “Aku berlindung kepada Allah”. Nabi Musa AS juga demikian, ketika menghadapi Firaun raja yang kejam juga membaca Taawwudz seperti diabadikan dalam Surat al-Mu’minun Ayat 7, yang artinya. “Aku berlindung dengan Rabb kudan Rabb kalian dari setiap orang yang sombong”.

Surat al-A’raf Ayat 199-201 menjadi dasar hukum perintah membaca Taawwudz. “Jadilah kamu manusia pemaaf, dan suruhlah orang lain supaya mengerjakan yang makruf yang baik, serta berpaling kamu dari orang-orang yang bodoh. Dan, jika kamu ditimpa sesuat godaan syaitan, maka segeralah kamu berlindung kepada Allah dengan membaca Taawwudz. Sesungguhanya orang-orang yang bertakwa itu, bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, maka mereka akan ingat kepada Allah, maka sekitika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya”.

 


Selain Surat al-A’raf Ayat 199-201, ada beberapa ayat Alquran lain yang juga memerintahkan kita supaya selalu dan selamanya memita perlidungan kepada Allah SWT. Di antaranya surat Al-Muminun ayat 96-98 yang artinya. “Tolaklah perbuatan buruk mereka orang-orang musyrik itu denga cara yang lebih baik. Kami lebih mengetahui dengan apa yang yang telah mereka sifatkan. Dan katakanlah Muhammad “Ya Rabb-ku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku juga berlindung kepada Engkau ya Rabb-ku dari kemungkinan kedatangan mereka kepadaku”.

Surat Fushshilat ayat 34-36 juga menjadi dasar hukum membaca taawudz. “Dan tidak sama kebaikan dan kejahatan itu. Tolakalah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugrahkan Allah kecuali kepada orang-orang yang sabra dan tidak dianugrahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. Dan jika kiamu syaitan mengganggu kamu Muhammad dengan suatu gangguan, maka segeralah kamu memohon perlindungan kepada Allah. Sesungguhanya dial ah yang maha mendengar lagi maha mengetetahuia,”

Bab 5 merupakan bagian terakhir yang menerangkan tentang Surah Al-Fatihah. Surat Al-Fatihah yang berarti surah pembuka, pembukaan, permulaam, adalah surah pertama dalam tertib urut-urutannya dan bukan dalam hal penurunannya dari keseluruhan surah-surah di dalam Alquran yang berjumlah 114 surah. Syekh Tanthawi Jauhari mengatakan, surat Al-fatihah ini isinya merupakan abstraksi singkat, padat, dan akurat atas semua isyarat bagi semua lingkup ajaran yang akan disampaikan di dalam Alquran.  Ibnu Qayyim al Jauziyah telah lebih dulu menyampaikan resume abstraksinya terkait dengan isi kandungan surah Al-Fatihah yang tergolong ke dalam kelompok surah-surah Makkiyah ini meskipun ada sebagian yang menyatakan surah madaniyah.

Ibnu Qayyim mengatakan, surah Al-Fatihah ini isi kandungannya meliputi semua induk penuntutan yang sangat tinggi dengan melingkupi segenap jangkauan yang serba sempurna (komprehensif) dan mengandungi semua jawaban yang sempurna pula.  Masih menurut Ibnu Qayyim, bahwa surah Al-Fatihah mencakupi pengenalan terhadap Dzat yang disembah (al-tarif bi-al Mabud), kepastian adanya hari dan tempat semua semua manusia kembali ke pangkuannya (itsbat al-Maad) dan pengungkapan tentang kepastian tanda-tanda kenabian (itsbat al-nibuwwat) dari berbagai aspek.

Terkait dengan keistimewaan surat Al-Fatihah yang oleh Rasul Allah dijuluki dengan surah al-Shala (surah shalat) ada riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah ra yang menyatakan bahwa rasul Allah dalam Hadits Qudsi nya memberitakan kepada para sahabat bahwa Allah berkalam.“Aku bagi surah al-Shala (surah shalat) itu antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, separuh bagian untuk Aku dan separuhnya lagi untuk hamba-Ku. Untuk hambaku ialah apa yang dia minta. Manakala hamba membaca “al-hamdu lillahi rabb al-amin” maka Aku menyahuti dengan hambaku memuji aku (hamidan abdi). Ketika hamba membaca “ar-rahmanir Rahim” Allah berkata hambaku memuji aku (atsna alayya abdi). Ketika hamba membaca “maaliki yaum al-din” Allah berkata (majadi abdi) hamba-Ku menyanjung Aku.  Ketika hamba membaca “iyyaka na'budu wa-iyyaka nasta'in” Allah berkata (hadza baini wa bayna abdi wa-li abdi ma saala) Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan untuk hamba baginya apa yang dia minta.



 

 
Berita Terpopuler