Mungkinkah Menghidupkan GBHN Lagi di Era Jokowi?

Dalam era Jokowi GBHN mungkin bisa hidup lagi?

MPR
Badan Pengkajian MPR menjaring masukan akademisi Gorontalo terkait GBHN.
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: DR Margarito Kamis, Pakar Hukum Tata Negara dan Staf Pengajar FH Univiversitas KHairun Ternate

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, PDI-P, yang pada tahun 1999-2002 bersama sejumlah partai lain menghubah UUD 1945, yang mengakibatkan GHBN hilang, kini mengagetkan kehidupan politik nasional dengan gagasan menghidupkan lagi Garis Besar Haluan Negara, GBHN, atau nama lain yang semakna dengannya. Gagasan ini, sejauh yang tersaji, terlihat memiliki resonansi, dengan nuansa legitimasi nilai gotong royong yang kuat. 

Seperti biasanya dalam kehidupan politik,  setiap kali muncul gagasan perubahan UUD, dimanapun itu, selalu disertai, dalam kenyataannya dengan ragam perspektif konstitusionalisme, yang satu dan lainnya saling menguatkan dan menyangkal. Begitulah hukum besi politik perubahan UUD, terlepas dari rincian tema yang hendak diubah.

GBHN dalam resonansi historis dengan nuansa legitmasi nilai-nilai gotong royong yang kuat itu, memanggil MPR menjadi satu-satunya wadah konstitusional untuk tidak hanya menetapkan, tetapi juga merumuskannya. MPR, dalam kerangka pikir itu menyandang fungsi organik sebagai organ yang memegang kewenangan merumuskan dan menetapkan GBHN. Kewenangan ini, dalam perspektif konstitusinalisme tidak serta-merta menjadikan MPR berstatus hukum sebagai lembaga tertinggi negara.

Tantangan Konseptual

Tidak usah berspekulasi mengenai kemungkinan MPR dirancang  menjadi lembaga tertinggi negara. Tetapi andai saja MPR memang dirancang menjadi lembaga tertinggi negara, apa yang salah dilihat dari sudut pemikiran konstitusionalisme? Satu-satunya perspektif  konstitusionalisme yang dapat diandalkan menantang, bukan melumpuhkan gagasan menghidupkan kembali GBHN dan kemungkinan MPR menjadi lembaga tertinggi negara adalah gagasan yang berbasis pada konstitusionalisme kosmopolitan, nama lain dari global constitusionalism.

Konstitusionalisme tipikal ini, harus diakui dalam kenyataannya dipromosikan oleh kapitalis global melalui jejaringnya yang cukup beragam. Di antara sejumlah jejaringnya adalah Institute For Foreign Relation, Rountable, Rand Corporation dan lainnya, sembari pada level tertentu bersandar pada lembaga berkapasitas global. IMF, World Bank dan lainnya yang sejenis, dalam game ini bisa, dengan cara yang canggih memberi legitimasi atas validitas  gagasan konstitusionalisme kospmopolitan.

Sumbang gagasan dari lembaga-lembaga itu dalam game perubahan terbatas UUD 1945 – bila kelak benar-benar dilakukan - tidak memiliki makna lain apapun  itu, selain memastikan mereka merupakan bagian inti perencana perubahan tatanan global sekaligus pengendali jalannya tatanan global itu. Tidak lebih. Dalam konteks itu senjata jenis lain yang membuat bising, yang akan dipanggil membombardir gagasan menghidupkan kembali GBHN tidak akan jauh dari konsep presidensialisme tradisional, yang pertama kali diperkenalkan Amerika.

Dalam gagasan presidensialisme Amerika itu, presiden dikonseptualisasikan secara hukum sebagai jabatan tunggal, sering disebut single executive. Presiden  dalam konsep itu – konsep khas Montesqieu – yang dielaborasi lebih praktikal oleh James Madison sebagai jabatan pelaksana UU, merealisasikan kewenangan itu bersamaan dengan bekerjanya fungsi pengawasan organ lain. Konsekuensi yang terlihat sejauh ini dalam pemikiran konstitusionaisme Amerika adalah presiden tak perlu dimintai pertanggungjawaban sebagaimana  pertanggungjawaban khas UUD 1945 sebelum diubah.
Pertanggung jawaban khas UUD 1945 sebelum diubah disebut Pak Ismail Suny sebagai pertanggung jawaban politik – mempertanyakan derajat ketepatan  pelaksanaan mandat melaksanakan GBHN - dengan konsekuensi hukum berupa pencabutan mandat, diberhentikan dari jabatan presiden. Bila dianalisis lebih cermat sembari menyodorkan sedikit kekecualian, konsep pertanggung jawaban yang disebut Pak Suny itu, pada level tertentu dianut UUD 1945 saat ini.

Kekecualiannya terletak pada sifat masalah dan bentuk permintaan serta pelaksanaan pertanggungjawaban. Presidensialisme tradisional yang dianut UUD 1945 saat ini  tegas menentukan batas – ruang lingkup – masalah yang dapat digunakan sebagai alasan meminta pertanggung jawaban presiden. Batasnya adalah hukum, bukan politik.  Hukumnya pun hukum pidana. Hanya pelanggaran pidana saja yang dapat diambil dan dijadikan alasan meminta pertanggung jawaban presiden.

Prosedurnya, seperti biasanya dalam konsep presidensialisme Amerika sebagaimana dianut dalam UUD 945 saat ini, rumit. DPR menuduh, MK memeriksa tuduhan itu, dan bila tuduhan itu dinilai terbukti dalam sidang MK, barulah tuduhan itu dibawa ke MPR untuk disidangkan. Sidang MPR menyeduiakan dua kemungkinan. Kedua kemungkinan itu adalah presiden diberhentikan atau sebaliknya tidak diberhentikan, karena berbagai sebab.    

Konsep presidensialisme tradisional ini juga akan disajikan dalam panggung oposan menolak GBHN. Dalam konteks itu presidensialisme akan disama-maknakan dengan pemilihan presiden secara langsung. GBHN dinilai sebagai akal-akalan politik memasuki gerbang gagasan mengubah pemilihan presiden dari langsung ke pemilihan  oleh MPR. Penantang gagasan GBHN akan menyingkirkan kenyataan historis tentang perdebatan pemilihan presiden pada tahun 1787 di Philadelphia Constitutional Convention.

Debat itu dipacu dengan dua isu besar dengan gelombang yang sama besarnya. Dua isu itu adalah pengisian jabatan presiden dilakukan dengan cara dipilih langsung oleh rakyat dan dipilih secara tidak langsung oleh legislatif. Dua gagasan ini memiliki pendukung dan penantang masing-masing.  Gagasan pemilihan presiden secara tidak langsung di sanggah Gubernur Morris, salah seorang peserta Philadelphia Constitutional Convention. Morris dalam sanggahannya sebagaimana dikutip oleh Carol Berkyn …if the legislature elect, “Morris declare, “it will be work of intrique, of cabal, and of faction.

Tidak itu saja argumennya, tetapi argumen selanjutnya  hemat saya cukup sensistif untuk diketengahkan pada kesempatan ini. Sanggahan itu didukung George Masson, perancang Virginia Declaration of Right, dengan argumen yang berbeda. Masson mengakui anggota legislatif merupakan ordinary citizen yang dapat dipercaya, tetapi tidak untuk isu pemilihan presiden. Menariknya pemilihan presiden secara langsung juga ditolak oleh eksponen lainnya.

Albridge Garry misalnya menolak pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Garry berargumentasi…….any organized group that draws together men from across the nation will be able to control the outcome. Penolakan terhadap gagasan pemilihan langsung juga dikemukakan oleh Roger Sherman. Dalam kata-katanya Sherman menegaskan ..The people, tulis Carol Berkyn, “will never be sufficiently informed of “character” to select wisely.  

Dua sudut pandang ini tidak terpecahkan untuk waktu yang lama, hingga akhirnya pada awal September John Dickinson muncul dengan gagasan electoral college, yang perspektif awalnya telah dikemukakan oleh James Wilson dalam debat pada bulan Juli. Hal menarik dalam konteks analisis ini adalah gagasan John Dickinson itu muncul pada debat kesekian kalinya tentang jabatan presiden.

Morris, seperti telah diduga  datang dengan gagasannya, yang memuluskan gagasan Dickinson. Morris menyerukan peserta mengambil jalan tengah –electoral college- model Dickinson. Dalam menaikan level faliditasnya, Morris menyegarkan kembali fondasi konvensi. Fondasinya adalah konvensi  sedari awal ketakutan  terhadap penyalahgunaan kekuasaan, konspirasi dan korupsi. Penyalahgunaan kekuasaan, konspirasi dan korupsi diyakininya akan terjadi bila presiden dipilih oleh House of representatif atau Senat. Moris juga mengokohkan argumennya dengan konsep separation of power. Menurut Moris organ manapun dari keduanya yang diserahkan kewenangan memilih presiden akan merusak konsep separation of power.

Kenyataan historis ini secara kongklusif menyatakan bahwa presidensialisme tidak mengasumsikan secara relative sekalipun, apalagi menyamakannya dengan pemilihan presiden secara langsung. Itu sebabnya tidak ada alasan yang cukup untuk menyatakan kehadirkan GBHN sama dengan mengingkari presidensialisme. Tidak beralasan mempetertangkan GBHN dengan pemilihan presiden langsung. Keduanya tidak pernah diasumsikan sebagai dua sisi yang sama. 


 Konsekuensi paling mendasar dari dihidupkannya GBHN atau apapun namanya dengan substansi yang sama dengan GBHN hanya satu. Konsekuensi itu adalah presiden, terlepas dari siapapun figurnya tidak lagi leluasa seleluasa saat ini. Presiden dalam konteks itu tidak bisa lagi menentukan  sendiri dan mandiri arah dan prioritas pembangunan bangsa dan negara. Itu saja. Tidak lebih.

Tetapi bila presiden, terlepas dari siapapun figurnya kelak yang cukup jam terbangnya sebagai politisi, bisa saja memperoleh kembali mahkota yang hilang itu, bila, sekali lagi bila model GBHN baru kelak sama dengan model GBHN dahulu atau rencana pembangunan nasional jangka panjang yang terdapat dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang. Kesamaan relatif dari GBHN masa lalu dan RPJP yang terdapat lampiran UU Nomor 17 Tahun 2007 itu adalah sifatnya yang sangat umum dan politis, alias tak cukup teknokratis. 

Bila sifat dan kandungan GBHN baru nanti sangat umum, tak memiliki watak teknokratis, maka keleluasaan yang hilang itu akan kembali diperoleh presiden, terlepas siapapun figurnya kelak. Sifat RPJP yang sedemikian umum itulah yang memungkinkan presiden, sesuai kewenangannya berkesempatan tanpa batas mendefenisikan sendiri apa yang harus dan apa yang tidak harus dijadikan prioritas pembangunan pada masa pemerintahannya.

Lampiran UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP, karena sifatnya yang sangat umum, tidak secara eksplisit memuat gagasan atau rencana pembentukan kota baru untuk dijadikan  ibu kota negara ini misalnya, menjadi celah dan kesempatan konstitusional yang memungkinkan Presiden memunculkan gagasan pemindahan ibu kota negara. Kesempatan konstitusional ini diperkuat dengan kenyataan konstelasi politik relasi fungsional DPR-Presiden saat ini sedemikian cair.

Kombinasi kenyataan rumusan lampiran RPJP yang bersifat umum dan cairnya relasi DPR-Presiden, menghasilkan kenyataan lain yang menggelikan. Kenyataan yang menggelikan  itu adalah DPR kehilangan keterampilan politik untuk sekadar menempatkan isu pemindahan ibu kota sebagai isu konstitusional berbasis  UU Nomor 17 Tahun 2007 dan UU Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan. Ini menjadi penjelas paling  otoritatif atas sikap para politisi yang hanya bisa bicara secara parsial dan personal, tanpa mengaitkan dan menempatkan isu itu kedalam kerangka kerja relasi kewenangan dan derajat ketepatan penggunaan wewenang konstitusional dua organ itu.

Terlepas dari soal itu, andai GBHN sungguh-sungguh dibentuk, maka sulit untuk tak memberi nilai GBHN sebagai dokumen hukum tentang arah dan prioritas pembangunan nasional yang dirumuskan bangsa Indonesia secara bersama melalui wakil-wakilnya di MPR, bukan oleh satu orang; presiden. Cara ini bernilai sebagai kongkritisasi, menghidupkan nilai-nilai khas Indonesia, gotong royong kehidupan berbangsa dan bernegara. Cara ini melahirkan legitimasi kultural khas Indonesia.

Dunia tidak berubah dengan sendirinya. Dunia berubah  karena ada yang hendak mengubah, sehingga perubahan apapun itu, dalam sifat dan hakikatnya  selalu direncanakan. Perubahan yang direncanakan, menimbulkan konsekuensi jalannya perubahan itu dikendalikan, mudah diukur ketepatan dan ketidak-tepatannya. Itulah yang terjadi didunia global.

Para perencana perubahan dunia global, dengan cara yang cukup ampuh harus diakui telah sukses mengepung dunia lain dengan gagasan konstitusionalisme global. Dunia lain ditempatkan dalam keadaan harus beradaptasi, bahkan mengadopsi nilai-nilai konstitusionalisme global. Dalam menghadapi isu GBHN, fungsionaris konstitusionalisme global, hampir pasti mereduksi gagasan GBHN sebagai feodalisasi.

GBHN akan dinilai cara feodalisasi bangsa. Mudah bagi pemain-pemain global constitutionalism menandai GBHN sebagai cara feodalisasi bangsa, dengan senjata arah bangsa ditentukan bukan oleh rakyat secara keseluruhan, melainkan meminjam kata-kata George Masson dilakukan oleh “ordinary citizens” politisi-politisi MPR. Legitimkah argumen ini? Tidak. Global Contitutionalism, dalam penandaan Somek, merupakan sebuah fantasi dalam ruang seminar.

Global constitutionalism, dalam sifatnya merupakan sebuah impian  para perencana dunia hendak menjadikan dunia sebagai satu tatanan terkordinasi, yang sepenuhnya liberal. Bermain pada medan konstitusionalisme global sama halnya membiarkan aktor global yang sepenuhnya liberal mengendalikan arah pembangunan sebuah bangsa.
Pemain global tahu lebih mudah mengendalikan satu orang daripada mengendalikan banyak orang. Pada titik itu kehadiran GBHN yang dibuat oleh orang banyak, MPR, jelas mengisolasi secara relatif pemain global mengendalikan dan mengarahkan bangsa ini, sebagaimana mereka mengalami kesulitan  mengendalikan dan mengarahkan China.

China saat ini sekadar sebagai ilustrasi, menurut kajian Kishor Mahbubani, mantan Duta Besar Singapura untuk PBB, mencapai semuanya saat ini melalui perubahan yang direncanakan dan dikendalikan. China boleh dikatakan tidak demokratis, tetapi kemajuan dibidang ekonomi dan teknologinya yang terus menghebohkan dunia, jelas bukan sesuatu yang dapat disepelekan. 

Bersama dan bermusyawarah dalam sebuah lembaga permusyawaratan rakyat merencanakan arah dan prioritas pembangunan bangsa, untuk alasan apapun, tidak dapat dikatakan tidak demokratis. Tidak. Bila seorang diri mendefenisikan arah dan prioritas pembangunan bangsa disebut demokratis, mengapa bersama dan bermusyawarah dalam sebuah lembaga permusyawaratan rakyat disebut tidak demokratis? Tidakkah demokrasi mengandalkan akuntabilitas? Akuntabilitas apa yang hilang dari bermusyawarah membuat GBHN?

Selamat datang GBHN, yang isi dan bentuknya tidak boleh sama dengan GBHN masa lalu, juga RPJP masa kini. Arah kehidupan bangsa dan negara, untuk alasan apapun, tidak cukup legitimasinya bila hanya didefenisikan oleh seorang presiden, terlepas siapapun figurnya kelak. Bergotong royong, bersama dalam semangat kebangsaan menentukan arah bangsa dan negara, sungguh terasa elok untuk disambut. ***

 
Berita Terpopuler