Sekali Lagi, Sabar Sikapi Viral Ceramah Abdul Somad

Umat Islam dihimbau untuk sabar dan tenang terkait viral cermah UAS.

Ist
Ibunda Ustaz Abdul Somad (kiri).
Red: Muhammad Subarkah

Oleh Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Viralnya berita soal materi ceramah berserta adanya indikasi pelaporan kepada Ustadz Abdul Somad (UAS) oleh sekelompok orang di Nusa Tenggara Timur terus mendapatkan perhatian. Pagi ini saya terima pernyataan dari Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (PP IPHI). Dia teman saya sejak kuliah Di Yogyakarta.

Ismed menyampaian himbauannya setelah soal isu ini juga mulai disikapi para jamaah haji yang kini sebagia besar masih di tanah suci.

’’Mereka ikut-ikutan marah dan ramai berkomentar atas pelaporan UAS, Makanya saya harus berusaha keras cegah supaya jangan para jamaah haji tenang dan isu ini tak meluas,’’ katanya.

Maka, selang tak berapa lama sebuah pernyataan sagera dikirimkan oleh Ismed melalui SMS. Lengkapnya himbauan dia seperti ini:

Mencermati soal materi ceramah Ustadz Abdul Somad yang saat ini tengah menjadi polemik. Sebaiknya semua pihak bisa menahan diri. Jangan terjebak dalam arus Perang Proxy yang tengah dimainkan dan sangat kontraproduktif bagi kehidupan Kebangsaan Kita.

Jika ada materi ceramah yang dianggap kurang elok. Sebaiknya diselesaikan melalui Silaturahmi dan Diolog Antar Agama yang selama ini sering dilakukan bersama MUI, MAWI, DGI serta yang mewakili Budha dan Hindu. Sejatinya semua pihak harus bisa menjaga kebersamaan dan persaudaraan sebagai bangsa. Jangan mudah diprovokasi, termasuk oleh pihak-pihak yang memang diketahui sebagai Islamophobia.

Khusus kepada Alumni Haji Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, IPHI baik di Pusat maupun di Wilayah seluruh Indonesia, saya minta agar ikut menjaga suasana kondusif. Anggota IPHI harus aktif menjaga rasa persaudaraan dalam kehidupan antar umat beragama dan berbangsa.

Kepada para Jama'a Haji yang saat ini masih berada di Tanah Suci Makkah dan Madinah, mohon do'akan agar Bangsa dan Negara Indonesia tetap kokoh dalam Bingkai NKRI. Tidak mudah terpancing oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang by design sengaja ingin menciptakan kegaduhan.

Dan memang 'suasana panas' seperti saat ini kerap dirasakan. Entah  mengapa segala soal agama Islam menjadi sensitif. Sebelum ini ribut ada soal taruna Akmil Enzo Ali yang ramai-ramai di-bully agar dipecat dengan tuduhan terlibat dalam gerakan Wahabi karena membawa bendera bertuliskan kalimat tauhid ketika naik gunung.

Setelah soal Enzo disikapi pihak TNI melaui Kasad, isu ini menjadi reda. Tapi kemudian ramai. Kemudian muncul polemik soal dana gerakan radikal dari ulama Arab yang bertujuan untuk mengongkosi gerakan kekhalifahan dan radikal. Ramai tuduhan bahwa gerakan ini diberikan kepada pesantren-pesantren. Pihak Muhammadiyah —seperti mantan Ketua Umum Din Syamsuddin dan Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti —  sampai turun tangan agar pihak yang menyebarkan segera menyebut saja siapa mereka dan uang itu ada di mana. Ini agar tidak terjadi fitnah.

Dan tersebut seperti lagu wajib 'Dari Sabang sampai Merauke' alias 'terus sambung menyambung menjadi satu'. Celakanya yang terakhir ini, terjadinya tepat di hari ulang tahun kemerdekaan RI ke 74. Tiba-tiba di Nusa Tenggara Timur (NTT) ada sekelompok orang pergi kekopolisian setempat untuk melaporkan UAS atas ceramahnya yang sebenarnya diucapkan dalam forum pengajian subuh di dalam masjid di Riau sekitar tiga tahun silam.

Pihak kepolisian di NTT setelah dikonfirmasi Republika membenarkan adanya pertemuan dengan warga itu seraya menyatakan belum ada pihak yang melaporkan secara resmi. Harus diakui polisi bertindak bijak dan sangat hati-hati dalam soal ini. Sebab, semua tahu ini kalau salah penanganan menjadi bara yang memantik perpecahan bankan konflik sosial.

Pihak cendikiawan pun ikut ramai ramai berkomentar. Guru besar Universitas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM pun bersikap senada dengan Ismed Hasan Putro. Dia meminta agar umat Islam tenang dan sabar.’’Sadarilah ini perang Proxy. Ini persis suasana yang saya alami di tahun-tahun panas menjelang 1965. Sabar. Sabar,’’ katanya.

‘’Kalau soal ajaran Islam dari dahulu memang sering disalah pahami. Dan kewajiban ulama di depan jamaahnya ya harus menyampaikan apa yang diketahuinya sesuai ajarannya. Jadi apa yang dikatakan UAS adalah menyampaikan ketentuan ajarannya agamanya. Sama juga dengan pengkhutbah di agama lain. Mereka bebas mengatakan apa yang diajarkan agamanya,’’ kata Abdul Hadi.

Terinspirasi soal kesalahpahaman dan ketakutan terjadap ajaran atau istilah agama juga sebenarnya terjadi sejak zaman kolonial. Ada artikel menarik yang ditulis Hendri F Isnaeni dalam  Majalah Historia. Majalah ini khusus menulis berbagai hal mengenai kazanah sejarah Indonesia.

Hendri menulis tentang nasib seorang ulama di Kudus pada zaman kolonial ketika menceraahkan kan tentang ajaran iman kepada para santrinya. Sang kyai ini saat itu menyebut kata kafir. Akibatnya, ada pihak yang mendengarnya dan dia pun segera melaporkan sang kyai kepada pihak keamanan untuk diadili. Tulisan lengkap artikel yang bertajuk ‘Sebut Kafir, Kiai Diadili’  itu lengkapnya begini:

Di Kudus, tinggallah seorang ulama besar yang sangat berpengaruh dan teguh pendiriannya. Ulama tersebut bernama Kiai Haji Raden Asnawi, A’wan Syuriah Nahdlatul Ulama. Pada zaman kolonial Belanda, dia hadapkan ke Pengadilan Negeri (landraad) karena tuduhan melakukan delik penghinaan kepada orang yang tidak salat sebagai orang kafir atau orang gila.

Menurut KH Saifuddin Zuhri dalam memoarnya, Berangkat dari Pesantren, mengingat ulama tersebut sudah berusia lanjut dan sangat berpengaruh dalam masyarakat Kudus, ketua pengadilan secara persuasif meminta terdakwa mencabut kata-katanya dengan alasan tergelincir lidah (slip of the tongue). “Tetapi ajakan itu ditolak mentah-mentah,” kata Menteri Agama era Presiden Sukarno itu.

Kiai Asnawi menegaskan bahwa dirinya sekadar mengatakan apa yang tersebut dalam kitab Fiqih: Falaa tajibu ‘alaa kafirin ashliyyin wa shobiyyin wa majnuunin artinya maka sembahyang itu tidak wajib dikerjakan oleh orang kafir, anak masih bayi, dan orang gila.

“Dengan demikian maka siapa pun yang tidak melakukan sembahyang atau yang merasa dirinya tidak dibebani kewajiban sembahyang, samalah artinya dengan menyamakan dirinya orang gila. Yang menamakan dirinya sama dengan orang gila ialah pengakuannya sendiri berdasarkan bunyi kitab Fiqih, saya sekadar menerangkan bunyi kitab itu,” kata Kiai Asnawi membela diri.

Pengadilan menjatuhkan hukuman denda sebesar 100 gulden. Namun, Kiai Asnawi tidak memiliki uang sebanyak itu. “Kalau tak mampu membayar denda 100 gulden, Pak Kiai mesti masuk penjara sekian hari,” kata ketua pengadilan.

Kiai Asnawi keberatan alasannya masuk penjara bagi orang tua seperti dirinya amat menyusahkan. “Lagi pula bagaimana nasib santri-santri saya? Siapa yang mengajar mereka? Siapa yang mengimami sembahyang?” tanya Kiai Asnawi menebar pandangan ke sekeliling ruang pengadilan. Dia tetap berdiri dibantu tongkat dengan kepala tegak.

Majelis menjadi riuh. Ketua pengadilan menskor persidangan sambil berunding dengan jaksa. “Perundingan sambil berbisik itu diakhiri dengan sang ketua pengadilan merogoh dompet dari kantongnya dan menyerahkan sejumlah uang kepada jaksa,” kata Saifuddin, ayah dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.

“Pak Kiai, ini ada uang seratus gulden, harap Pak Kiai membayarkan dendanya,” kata jaksa. Kiai Asnawi pun dibebaskan dengan membayar denda seratus gulden yang berasal dari ketua pengadilan.

Menurut Saifuddin, begitulah gambaran Kiai Asnawi yang juga pernah mengirim surat kepada Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Rois Akbar NU, dan membuatnya masygul berhubung dengan penggunaan terompet dan genderang oleh Ansor NU dalam baris berbaris.

“Beliau tidak sependapat dengan Hadlaratusy Syaikh yang memperbolehkan terompet dan genderang dalam Ansor NU,” kata Saifuddin.

Meskipun memiliki kharisma yang disegani di kalangan masyarakat, namun Kiai Asnawi tidak luput dari sentimen masyarakat karena tidak mengungsi ketika kota Kudus diduduki Belanda dalam agresi militer kedua pada Desember 1948.

Alasannya, menurut Saifuddin, Kiai Asnawi yang sudah berusia 80 tahun tidak mampu hidup dalam gerilya, dikejar-kejar musuh dan bergerak terus. Selain itu, dia amat berat meninggalkan masjid dan pesantrennya.

“Beliau tetap Republiken, menolak kerja sama dengan Belanda, meskipun tetap tinggal di dalam kota,” tegas Saifuddin.

Akhirnya, i'tibar dari kasus itu kepada semua Umat Islam Indonesia harus bersabar. Ingat  Sabar iku tan ana watese (sabar tak ada batasnya)! Semua ini memang berat tapi harus dilakukan demi cinta kepada negara dan bangsa ini.

 
Berita Terpopuler