Kisah dari Tokyo: Oposisi, Amangkurat I, dan Kekuasaan Jawa

Dalam budaya kekuasan Jawa, raja atau penguasa adalah wakil Tuhan'.

wikiedia
Suasana Rampokan Macan di alun-alun pusat kekuasaanJawa tahun 1900-an.
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Bagaimana imajinasi kekuasaan Jawa ditegakkan?  Ketika pertanyaan ini dajukan kepada pengamat sosial, Fachry Ali, menyatakan jawabannya itu sudah ada dalam makalah yang ditulisnya pada Konggres Kebudayaan Jawa II di Surabaya pada 21-23 November 2018 silam.

Dalam makalah yang berjudul ‘Politik-Ekonomi Kekuasaan Jawa’ memang Fachry diantaranya menceritakan kisah pilu mengenai kekuasaan yang dijalankan pada masa kerajaan Mataram di masa lalu. Kisah pilu dan berdarahnya kekuasan ditegakkan. Kisah pilu dari para tokoh yang kemudian meninggalkan jejak dalam sejarah.

Fachry kemudian mengutip 'Indonesianis', Benedict R.O’G Anderson yang menulis buku bertajuk  ‘The Ide Power of Javanese Culture’. Di situ dikatakan: Karena semua kekuasaan berasal dari sumber tunggal yang sama, kekuasaan itu sendiri berada di atas persoalan baik dan buruk.

‘’Bagi cara berpikir Jawa —misalnya menyatakan kekuasaan beradasarkan kekuasaan adalah absah, sementara kekuasaan berdasarkan senjata adalah tidak absah - tidak punya arti apa-apa. Kekuasaan tak mempersoalkan keabsahan dan ketidakabsahan,’’ tulis Fachri sembari menguntip Anderson. Kini Fachri tengah berada di Tokyo, Jepang dan akan melanjutkan perjalanan menuju Nigeria.

''Aku kini ada Tokyo dan pas lagi mengingat-ingat sosok Pak Ben Anderson. Eh kamu nelpon dan tanya tentang dia. Kebetulan sekali,'' kata Fachry sembari tertawa lebar.

Fachry Ali di kuil Yasukuni, Tokyo.



Fachri selanjutnya mengatakan, dalam hal itu maka bisa dilihat bahwa kekuasaan di dalam prespektif Jawa adalah ‘netral’ terhadap moral. Bahkan, kala itu seorang penguasa atau raja ‘berhak’ membunuh tanpa pandang bulu, seperti terungkap dalam ‘Astha Brata’ (delapan kebijakan) -yang merupakan pedoman etik penguasa Jawa.

‘’Maka. disamping harus bersikap bijak, lembut,  dan memakmurkan rakyat, raja harus siap dengan senjata untuk menghancurkan lawan-lawannya. Di dalam praktiknya, hal ini bahkan berlangsung atau berlaku terhadap keluarga raja sendiri. Dalam usaha membangun ‘Kekuasaan’ tanpa tandingan (keagungan-binatraan),’’ lanjut Fachry.

Para 'adi dalem' Kraton Jogjakarta dalam acara pemakaman seorang isteri Sultan Jogjakarta, Ratu Kencono, yang wafat pada usia 72 pada tahun 1931.

Dia kemudian mengutip sebuah kisah pilu, bahkan tragis, yang menimpa Pangeran Alit pada masa Raja Amangkurat I. Fachry mengutip kisah yang ditulis seorang sejarawan, G Mudjanto, dalam ’The Concept of Power in Javanese Culture’.

Kala itu, kisah Fachry seorang raja telah menggunakan taktik lain, yaitu menghilangkan atau membuang lawan-lawannya dan semua yang pihak yang dianggap bisa menentangnya. Misalnya, tindakan provokatif yang dilakukan Raja Amangkurat I kepada adiknya Pangeran Alit yang mengakibatkan kematian yang terakhir. Hal sama juga dilakukan Pakubuwono II, karena merasa khawatir, (juga sempat) membuang kakak tirinya (dari ibu yang berbeda), yaitu Pangeran Arya Mangkunegara, ayah Raden Mas Said, ke Srilanka.

Jadi, tulis Fachry, tindakan ‘brutal’ kekuasaan di Jawa -di dalam perspektif moderen— ini tidak ada pertanggungjawaban legal. Juga tak ada pertangungjawaban yang sama seperti dalanm soal ketika isteri Panglima Perang Mataram, Wira Guna, terpaksa dibunuh suaminya atas perintah langsung Sultan Agung (1613-1646). Padahal sang isteri sang panglima itu adalah ‘korban’ selingkuhan putra mahkota Mataram, Amangkurat I.

‘’Dan ketika yang terakhir dia naik tahta pada 1646 (sampai 1677), Amangkurat I bukan saja membunuh, cengan cara-cara tertentu, Wira Guna dan seluruh keluarganya, melainkan membantai 6.000 ulama seperti dilaporkan utusan VOC, Rudolf van Goens. Dengan meriam Sapujagad yang dipasang di depan kraton, ditembakkan kepada mereka. Fakta ini memperlihatkan bahwa kekuasaan seperti ajaran Asta Bharata itu bukan hanya telah terpraktikkan dalam kenyaatan, melainkan juga menunjukan ‘Kekuasaan’ dalam kebudayaan Jawa itu berada di atas baik dan buruk.

Mengapa ada imajinsi atau ide kekuasaan seperti itu? Fachry mendaskan bila hal ini berkaitan dengan konsepsi bahwa raja atau penguasa adalah ‘kinarya wakiling Hyang Agung (wakil Tuhan). Karena itu, sementara raja berkewajiban menegakkan keadilan. bawahan seperti petinggi negara, seperti kasus Pangeran Alit, Wira Guna, dan Pangeran Arya Mangkunegara harus tunduk patuh secara total. Siapa yang berani menetang perintah-perintahnya sama dengan menolak kehendak Tuhan.



Fachry dalam soal kekuasaan Jawa yang begitu memusat menyatakan, akibatnya raja (penguasa) harus tetap waspada terhadap setiap potensi pemencaran kekuasan. Ini yang menjelaskan mengapa Syekh Amongraga, seorang tokoh ‘oposisi’ saat itu yang berasal dari Gresik, seperti dikisahkan dalam ‘Serat Centhini’, diburu panglima Wira Guna atas perintah Sultan Agung, yang ketika itu berada di desa Kanigara, Gunung Kidul. Setelah ditangkap, Syekh Amongraga kemudia dimasukkan dalam kerangkeng besi dan dalam keadaan hidup, dibuang ke Laut Jawa Selatan (Laut Kidul). Kendatipun demikian perlawanan simbolik atas supremasi kekuasaan Sultan Agung tetap tampil.

‘’Kerangkeng yang telah dibuang itu tiba-tiba berbalik ke darat —meski tanpa tubuh Syekh Amongraga. Maka di dalam dalam perspektif budaya Jawa, kita bisa menyatakan betapa sensitifnya kekuasaan terhadap tokoh yang dianggap calon tandingannya. Betapapun, Amongraga hanya sisa kekuatan Gresik yang berusaha menghindar dari 'penindasan Mataram’,’’ tukas Fachry.

Maka, di dalam konteks inilah semua pihak bisa 'mencandra' (meneliti/mengkaji) bahwa keharusan struktural bagi pemegang 'Kekuasaan' itu harus menjaga jarak dengan rakyat. Pertama karena ‘kekuasaan’ lebih merupakan upaya pribadi penguasa dalam mendapatkannya, seperti melalui disiplin ketat pemurnian diri dan dengan mengumpulkan ‘pernik-pernik’ yang dianggap berkaitan dengannya dan dianggap sebagai sumber pemberi kekuatan.

‘’Maka, misalnya Kiai Plered, tombak yang mampu membunuh apa yang disebut sebagai ‘supranutarl men’ seperti Arya Penagsang dan Kapten Tack, harus dimiliki oleh raja. Ini juga berlaku pada Kiai Becak, bendhe atau gong yang selalu di bawa ke medan laga yang bentuk suara ketika dipukul, memberi tanda kemenangan atau kekalahan di dalam perang. Dengan semua itu, maka kekuasaan Jawa tidak harus dipertangungjawabkan kepada publik,’’ kata Fachry.

Kedua, dengan konsepsi bahwa sumbernya adalah tunggal, maka kekuasaan akan berada dalam ‘bahaya’ jika berada di tengah-tengan rakyat. Rakyat, dalam interpretasi atas kekuasaan tersebut, adalah terra incognito (daerah tak dikenal atau belum didentifikasi dengan jelas).

‘’Di dalamnya terhimpun ‘kemajemukan’ kekuatan yang berpotensi menjadi tandingan kekuasaan raja. Kemunculan pergerakan rakyat dari Klaten di bawah Pangeran Kajoran serta gerak-gerik para pengembara asal Makassar menjelang runtuhnya Mataram di bawah Amangkurat I, di dalam perspetif kekuasaan ini, menunjukan betapa ‘berbahaya’-nya kerumunan rakyat,’’ tegas Fachry.

Bahkan, ujar dia, di dalam faktanya sejarah, kerumunan pengembara asal Makassar yang sukar diidentifikasikan dalam perspektif kekuasaan Jawa tersebut berasal dari pertarungan kekuasaan ’sabrang’, yaitu kejatuhan Gowa, Makassar pada tahun 1669 yang diikuti perintah dari Arung Palakka, rombongan ini bergerak ke Jawa. Setelah tak nyaman di Banten, orang-orang ini memasuki wilayah Mataram dan berdiam di Jepara. Amangkurat I menolak memberikan tempat yang sah kepada mereka, kecuali di wilayah Demung (kini disebut Besuki). Mereka inilah yang kelak bergabung ke dalam pemberontakan Trunajaya pada tahun 1675.

‘’Dominasi perspektif ‘anti-kerumunan massa’ inilah yang menjelaskan mengapa tembok keraton harus dibangun. Dalam arti bahwa di samping usaha penguasa secara pribadi menjaga, mengkonsentrasikan, dan mengakumulasikannya, kekuasan harus dijaga di dalam kungkungan fisik: tembok-tembok kraton. Kekuasaan di tangan raja sebagai sebuah keharusan struktural, melainkan juga keyakinan akan adanya potensi penyebarannya. Karena itu, sebagai salah satu usaha menjaga kekuasaan agar tidak berpencaran, tembok kraton harus dibangun, urai Fachry Ali seraya menuliskan bahwa kraton itu kemudian dihayati juga sebagai pusat dunia.


 
Berita Terpopuler