Referendum dan Perang Aceh: Jangan Lupakan Sejarah

Jangan anggap sepela soal adanya tuntutan referendum Aceh.

Gahtena.nl
Pasukan Morsase (Pasukan Khusus) Belanda sewaktu perang Aceh.
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Ada apa dengan Aceh? Pertanyaan ini mengemuka hari-hari ini. Tiada angin tiada hujan dan terindikasi dengan soal persaingan pemilu dan pilpres 2019, tiba-tiba mendadak ada permintaan referendum itu dikatakan Muzakir Manaf alias Mualem.

“Alhamudlillah, kita melihat saat ini, negara kita di Indonesia tak jelas soal keadilan dan demokrasi. Indonesia diambang kehancuran dari sisi apa saja. Itu sebabnya, maaf Pak Pangdam, ke depan Aceh kita minta referendum saja,” begitu tegas Muallem yang disambut tepuk tangan dan yel yel "hidup Muallem".

Menariknya ucapan ini dikatakan langsung oleh Muallem pada acara terbuka berbuka bersama tokioh penting Aceh. Acara itu berupa peringatan Kesembilan Tahun (3 Juni 2010-3 Juni 2019), wafatnya Wali Neugara Aceh, Tgk. Muhammad Hasan Ditiro  Gedung Amel Banda Aceh, Senin (27/5) malam kemarin.

Pidato Muallem ini jelas sesuatu yang serius meski beragam analisanya. Pejabat pemerintah dan politisi Aceh misalnya menghargai itu  sebagai hak berendapat. Pejabat tinggi nasional yang ada di Jakarta pun begitu.

Menhan mengatakan Muallem tak usah macam-macam karena itu soal baru yang mengancam negara NKRI dan bisa berakibat munculnya kasus konflik seperti dahulu. Mendagri mengatakan pernyataan itu berlebihan karena semua hak dan kewenangan sudah diberikan kepada Aceh.

Namun apa pun jadinya, fantasi  yang ada di kepala saya tentang konflik Aceh sewaktu ditetapkan sebagai daerah Operasi Militer dan sebelum ada perjanjian damai bangkit kembali. Masih terbayang suasana kekerasan hingga serbuan tentara di Lhokseumawe pada menjelang tahun 2000-an.

Rakyat Aceh di kala menuntut referendum menjelang ditandatanginya perjanjaian damai di Helsinki beberapa tahun silam. (google.com)

Saya melihat langsung  banyak sekali korban yang menyesaki rumah sakit kala itu  akibat indisen perempatan Cunda, penyerangan Kampung Kandang, hingga terbunuhnya banyak tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka sempat ketemu dengan saya, misalnya Sofyan Dawood yang jenaka serta ke mana-mana pakai kaca mata hitam atau Ahmad Kandang yang pendiam. Tragis memang.

Selain itu saya juga simak cerita  dari rekan jurnalis senior, Teguh Setiawan, yang sempat bertemu Tengku Bantaqiyah di hutan pedalaman Aceh sebelum tertembak. Katanya, sosok juga lucu, menarik, sekaligus  penuh kharisma. Dia seorang taat beribadah dan hidup kesehariannya sangatlah sederhana

Teguh bercerita bila anak pasukan Bantaqiyah selalu dia diperintahkan menjalani amalan agama tertentu dalam surau di pedalaman ketika berjuang. Bantaqiyah juga serius melakukan wirid setiap shalat, terutama setelah shalat Maghrib sampai datangnya waktu Isya. Dia selama itu tak pernah ke luar atau bangkit dari tempat duduk shalatnya.

‘’Untuk sampai ke tempat Tgk Bantaqiyah saya perlu sampai dua malam. Letaknya sangat susah di pedalaman Aceh Barat. Saya ke sana dipandu kurir dan harus berjalan kaki naik turun gunung dan masuk hutan,’’ kata Teguh mengenakan. Setelah bertemu, lanjutnya Tg Bantaqiyah tertembak dalam operasi penyergapan yang dilakukan TNI.

 

 

Selain itu saya juga sempat saksikan betapa berat dan penuh emosi para warga Aceh menjelang dan ketika perjanjian damai. Di pedalaman kampung di Aceh Utara saya saksikan ibu-ibu menangis ketika para juru damai yang terdiri dari orang Indonesia, asing, dan Aceh melakukan simbolisasi perdamaian dengan memotong senjata, termasuk memotong senjata serbu yang legendaris milik GAM, yakni senapan AK 47.

Saat itu, di tepi ladang sebuah kampung yang terpencil yang dijadikan tempat upacara perdamaian dan landasan helikopter, para ibu sembari menggendong anak-anaknya menyaksikan salah satu bagian acara perdamaian dengan berlinang air mata.

’’Saya tak terima-saya tidak terima. Senjata itu dibeli dari uang kami orang Aceh,’’ kata para ibu saat itu sembari sesenggukan. Mereka duduk di bawah pohon kelapa sembari melihat acara dari kejauhan.

Nah, di situlah hati saya bergidik dan melihat ‘kilatan api perlawanan’ yang ada di dalam diri dan mata mereka. Di situ saya teringat sosok Cut Nyak Dien pejuang Aceh yang meninggal dalam pengasingan Belanda di Jawa Barat yang legendaris itu. Betapa teguh dan berani sikap para ibu itu.

Sama dengan Teguh saya pun khawatir dengan situasi yang muncul belakangan. Untuk menuliskan kegundahan hatinya saya menjadi paham bila menulis begini. Apalagi dia saat itu orang dari Jakarta yang diberi tugas mengurus sebuah koran yang terbit di Aceh. Teguh tahu persis risiko yang berulang kali dialaminya sebagai orang yang disebut sebagai ‘orang Jawa’. Nyawa jadi taruhan.

Kali ini melalui laman media sosial dia pun khusus menulis tentang Aceh yang ditujukan kepada saya yang juga mengalami tragedi konflik Aceh secara langsung. Dia menulis begini:

“Saya bermimpi mengunjungi Aceh bersama Muhammad Subarkah.  Sepanjang perjalanan membaca HC Zentgraff (buku ini menuliskan kisah seorang Morsase selama bertempur di Aceh), mampir di Pesantren Tano Abe, membaca karya Hamzah Fansuri, seraya membayangkan berapa lama mendiang pakar sejarah asal Prancis, Dennys Lombard. berada di perpustakaan tertua di Asia Tenggara itu.

''Ingin saya katakan ke Muhammad Subarkah bahwa saat orang Jawa masih sibuk berdebat soal keris berliuk atau tidak, orang Aceh sudah punya perpustakaan. Lalu juga bersama pergi ke Gayo, menikmati kopi luwak di pinggir Danau Laut Tawar, sebelum ekosistem lahan basah itu kini mengecil dan jadi empang,'' lanjutnya.

Selain itu Teguh bermimpi, "Kita nanti akan ke Singkil, mampir ke Pesantren yang membesarkan nama Abdurauf Asy Singkili. Atau ke Beutong Ateuh, bernostalgia di meunasah Teungku Bantaqiah. Balik lagi ke Banda Aceh, dan selfi di lokasi Jenderal Kohler terbunuh saat menyerbu Kutaraja, kota yang kini bernama Banda Aceh.”

Saat Jendral Kohler tertembak di depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Lihat lokasinya yang terletak di bawah pohon Geulumpang. (gahetna.nl).

Namun yang paling membuat saya bulu kuduk meremang adalah ketika dia menyarankan agar baca tulisannya bertajuk 'Peutjut yang Sunyi, Perang Aceh yang Terlupa'. Dia ingin bercerita mengenai sebuah arena pemakaman Belanda yang berada di tengah Kuta Raja (Banda Aceh).

Peucut itu bukan sekadar pemakaman serdadu Hindia-Belanda, tapi saksi bisu kehebatan rakyat Aceh melawan serdadu Belanda. Ribuan serdadu Belanda dimakamkan di sini, dan nama-nama mereka tertera di gerbang Peucut. Dengan sejenak membaca nama-nama di gerbang itu, pengunjung akan tahu betapa serdadu Hindia-Belanda yang bertempur di Aceh terdiri dari berbagai suku; Jawa, Ambon, dan lainnya,’’ tulis Teguh.

Ketika membaca tulisan ini saya jadi teringat pernyataan Prof Henk Schulte Nord Holt dari Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) tentang perang Aceh. Katanya, kini hampir tidak ada generasi Belanda (jangan-jangan orang Indonesia juga,red) saat ini yang mengidentifikasi diri dengan Perang Aceh,

"Orang Belanda lebih sibuk dengan isu perbudakan di masa lalu, karena banyak keturunan budak yang tinggal di Belanda. Perang Aceh hanya dilihat sebagai tindakan tidak benar secara politik," katanya.

Di situ ada juga pernyataan dia yang memiriskan hati:”Perang Aceh adalah lonceng besar yang akan terus berbunyi dan memekakan telinga!”

Nah, masihkan semua main-main dengan soal Aceh yang serius ini. Sebab, selain Aceh daerah istimewa lain seperti Jogjakarta dan Papua juga pernah meminta referendum ketika ada soal serius dengan Jakarta.

Maka belajarlah dan jangan lupakan sejarah. Ingat, tak ada yang baru di bawah sinar matahari. Dan semua prajurit TNI yang pernah bertugas di Aceh zaman konflik paham bila sekilas kesan perang di Aceh layaknya mainan, tapi kalau mati sungguhan!

 
Berita Terpopuler