Nasib Badak Jawa Terakhir Hadapi Anak Gunung Krakatau

Ada 67 ekor badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon yang terancam punah.

WWF Indonesia
Badak Jawa
Rep: Novita Intan Red: Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Erupsi Gunung Anak Krakatu menyebabkan tsunami di Selat Sunda pada Sabtu (22/12). Kejadian ini turut melenyapkan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon di Kabupaten Pandeglang, Banten.

Bencana tersebut menewaskan ratusan korban akibat terjangan tsunami. Bahkan, dua petugas taman nasional menjadi korban meninggal. Mereka terbawa arus dari sejumlah bangunan kantor dan kapal milik taman nasional yang juga hancur.

Meski demikian, gelombang tersebut tak menyeret serta badak jawa yang terancam punah dan saat ini tersisa 67 ekor. Badak jawa ini merupakan badak paling terancam dari spesies badak di dunia dan terdaftar sangat terancam punah. "Kami yakin badak ini dalam keadaan aman karena ombak datang dari pantai utara. Keberadaan badak yang sering main ke pantai utara tidak terlalu banyak. Mereka lebih banyak main di pantai selatan, daerah konsentrasinya di pantai selatan," ungkap Kepala Taman Nasional Ujung Kulon, Mamat Rahmat, seperti dilansir dari laman BBC News, Sabtu (29/12).

Menurut Mamat, tsunami tersebut meratakan vegetasi hingga 100 meter dari bibir pantai di Citelang, Jamang, dan Tanjung Alang-Alang. "Memang vegetasinya rusak, tapi kalau satwa biasanya ketika ada gemuruh dia akan langsung melarikan diri, (mencari tempat yang) lebih aman ke dalam (hutan). Jadi saya yakini badak aman," ucapnya.

Penyisiran pantai, diakuinya, telah dilakukan untuk memastikan tak ada badak jawa yang menjadi korban. Namun, ia belum dapat mengambil video dari kamera-kamera yang terpasang di sejumlah titik di pesisir pantai untuk memastikan keberadaan badak-badak tersebut kini.

 

Aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau mulai meningkat sejak Juni 2018 lalu. Erupsi pun terjadi secara berkala hingga akhirnya menyebabkan tsunami akhir pekan lalu. Sejak lama, ancaman terhadap pelestarian badak jawa alias badak bercula telah dibahas para aktivis lingkungan dan pemerintah, terutama sejak pucuk gunung tersebut menyembul dari permukaan laut pada 2013 lalu.

"Sejak dulu, sudah direncanakan dalam strategi rencana aksi konservasi badak Indonesia. Salah satu masukan adalah pemindahan beberapa ekor badak ke lokasi yang lebih aman," tutur staf pemantauan badak WWF Indonesia, Ridwan Setiawan.

Lokasi yang dimaksud Ridwan adalah habitat kedua bagi badak jawa. Para pakar khawatir bila Anak Krakatau meletus keras atau menyebabkan gelombang tsunami ke wilayah Ujung Kulon, populasi badak Jawa akan musnah. "Kita paham bahwa kita tidak bisa menempatkan semua populasi badak jawa hanya di Ujung Kulon saja," kata Ketua Yayasan Badak Indonesia (YABI) Widodo Sukohadi Ramono.

Menurutnya, ada pertimbangan yang harus dilakukan sebelum pemindahan sebagian badak ke habitat kedua itu dilakukan. Misalnya, pemilihan induk badak yang harus dalam kondisi sehat, memiliki kekerabatan yang paling jauh dengan sesamanya, dan mampu bereproduksi.
Selain itu, kriteria lokasi yang cocok sebagai habitat badak jawa juga harus terpenuhi. Pertama, tersedia pakan alaminya di mana spesies tumbuhan yang dimakan itu lebih dari 200 spesies. "Dia juga harus ada air. Air untuk minum, air untuk kehidupannya. Badak harus berkubang, harus mandi, mungkin sekitar 60 persen kehidupan hariannya itu berasosiasi dengan air,” ucapnya.

Beberapa pertimbangan lain, seperti jenis tanah, kondisi lahan, hingga iklim. "Badak memerlukan kondisi iklim yang selalu basah sepanjang tahun," imbuhnya.

 

 

 

Rencana pemindahan sebagian badak jawa ke habitat kedua sudah molor. Seharusnya, penentuan lokasi habitat kedua dilakukan pada 2017 lalu. Dengan demikian, tahun ini bisa dimulai proses pemindahan badak. Namun namanya perencanaan, kadang-kadang tidak sesuai dengan kenyataan.

"Banyak kendala, faktor teknis dan nonteknisnya, ada kendala internal, ada eksternal,” ungkap Kepala Taman Nasional Ujung Kulon, Mamat Rahmat.

Mamat menyatakan, pemerintah bersama sejumlah lembaga pelestari lingkungan telah menyurvei 10 lokasi potensial. Dari 10 lokasi itu, mereka menemukan satu wilayah yang mendekati kondisi alam Taman Nasional Ujung Kulon, yakni Suaka Margasatwa Cikepuh. "Tapi di sana juga ada kegiatan pinjam-pakai dengan Kostrad, (untuk) latihan tempur. Nah ini juga, pengaruh karena dentuman suara senjata dan meriam terhadap badak ini perlu dikaji lagi," katanya.

Perambahan lahan oleh manusia yang bisa mengancam habitat badak jawa juga masih terjadi di sana. Hal ini yang membuat rencana pemindahan badak jawa ke habitat kedua itu tersendat. "Kita cari lokasi itu susah, di pulau Jawa maupuan di luar Jawa, mencari hutan yang cukup luasannya, yang masih aman, kan susah ya. Karena minimal 5.000, harus satu hamparan,” ucapnya.

Memindahkan binatang, menurutnya, bukan sekadar mengangkut mereka dari satu tempat ke tempat lain. Lokasi tersebut harus sudah siap ditinggali spesies badak paling langka di dunia tersebut. "Harus tersedia dulu makanannya, airnya, bagaimana penyakit di situ, bagaimana predatornya, bagaimana kompetitornya, bagaimana pemerintah daerahnya, bagaimana masyarakat sekitar," ungkap Mamat.

Ketua Yayasan Badak Indonesia (YABI) Widodo Sukohadi Ramono mengatakan, Sumatra menjadi habitat kedua yang potensial bagi badak jawa. Sebab, badak Jawa pernah hidup di Sumatra bersama spesies badak sumatera. Meski demikian, mereka belum mensurvei titik mana yang paling sesuai untuk dijadikan tempat tinggal badak tersebut.

"Seperti di Berbak Sembilang, itu pernah ada badak di sana. Kemudian di daerah Bukit Tiga Puluh, itu juga ada kemungkinan di situ. Lalu, hutan restorasi ekosistem, hutan harapan di Jambi, itu juga menjadi kemungkinan," ucap Widodo.

Untuk itu, diperlukan upaya pemindahan populasi badak jawa ke habitat baru. Sebab, pasca tsunami upaya tersebut semakin genting untuk dilakukan. "Kami mungkin akan melapor ke ibu direktur dan bapak dirjen terkait dengan ancaman yang nyata ini, sehingga bisa lebih cepat mengambil langkah dalam menyiapkan second habitat," kata Mamat.

Ia tak ingin nasib badak jawa berakhir karena keterlambatan upaya penyelamatan. "Seandainya suatu saat di Ujung Kulon kena letusan Anak Krakatau seperti tahun 1883, maka masih ada cadangan (badak awa) di tempat yang baru itu," ucapnya.

 
Berita Terpopuler