Ondel-Ondel Jalanan, Sukma Kencana tak Lelah Susuri Ibu Kota

Farah Noersativa
Ondel-Ondel Sukma Kencana
Rep: Farah Noersativa Red: Budi Raharjo

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Suara alunan gesekan senar tehyan, sebuah alat musik khas Betawi, petang itu kencang menggema di Jalan Cikini Raya, depan Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Sekelompok remaja terlihat dari kejauhan.

Mereka membawa alat musik Betawi, seperti kendhang, gong, dan tehyan itu. Dengan penuh semangat,  mereka memainkannya sembari menyusuri jalan. Sepasang boneka raksasa khas budaya Betawi, yang dikenal masyarakat Ondel-Ondel, juga dimainkan oleh mereka.

Di antara mereka, ada seorang anak bertubuh lebih besar dari pada yang lain, membawa ember bekas cat di tangannya. Ia agak terlepas dari kelompoknya. Dengan ember cat itu, ia menyodorkannya ke masyarakat yang memperhatikan kedatangan mereka.

Masyarakat saat itu, ada yang langsung merogoh kantongnya untuk mengambil uang receh, ada juga yang menggelengkan kepalanya. Sesekali ada pula yang memberikan uang lembaran cokelat atau ungu dari dompetnya.

Masyarakat tampaknya telah memahami bahwa kelompok yang membawa boneka Ondel-Ondel itu adalah kelompok yang datang untuk “menghibur” masyarakat di jalan. Ada yang menyebut mereka adalah pengamen Ondel-Ondel, ada pula yang menyebut mereka kelompok Ondel-Ondel penghibur. Yuti (52), sang kepala kelompok itu lebih memilih sebutan yang kedua.

Setiap hari, Yuti dan teman-temannya yang tergabung dalam kelompok “Sukma Kencana” itu menyusuri jalanan di kawasan Menteng dan sekitarnya. Perlahan dan tanpa terasa, setiap hari jarak sepanjang 10 sampai 15 kilometer bisa mereka susuri. Kadang mereka beraksi di sekitaran jalan Cikini, Cisadane, Raden Saleh, dan Manggarai.

Biasanya, kelompok mereka terdiri atas 13 orang, persis saat petang itu mereka beraksi. Dari ke-13 orang itu, 11 orang masih berada di bawah usia 17 tahun. "Cuma saya dan dia yang punya KTP," ujar Yuti sambil menunjuk salah serang anak yang bertubuh paling bongsor.

Tak hanya itu, pria yang mengaku berasal dari Kebon Sirih, Jakarta Pusat ini mengakui, dirinya bersama kelompoknya adalah kelompok penghibur Ondel-Ondel yang masih asli. Maksudnya, mereka masih membawa alat musik khas budaya Betawi saat beraksi di jalanan. “Kami bawa tehyan, gong, kempul, dan keneng,” ujarnya. Ia tak menampik sering bertemu banyak ondel-ondel lain di jalan namun hanya bermodalkan lagu yang dimainkan di pemutar musik.

Pria yang saat ini bertempat tinggal di Kampung Rawa itu mengatakan, dari hasil kerja jalanan ini setiap hari bisa mendapatkan penghasilan maksimal Rp 500 ribu. Penghasilan itu didapatkan pada hari-hari yang memang ramai pelintas, seperti Sabtu dan Ahad. “Dari Rp 500 ribu itu, dibagi lagi untuk perawatan alat-alat Rp 120 ribu. Sisanya dibagi 13 orang,” ujarnya. Setiap Ahad, Sukma Kencana biasanya menghibur masyarakat di kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat.

Kelompok penghibur boneka yang terbuat dari bambu itu menyusuri jalanan Ibu Kota berkilometer mulai pukul empat sore hingga pukul dua belas malam setiap hari. Merasa sudah biasa, berjalan kaki sambil memikul seperangkat alat musik tadi, tak membuat mereka lelah.

Terlebih, tak sekadar menghibur masyarakat, mereka juga merasa memiliki misi melestarikan kesenian Ondel-Ondel. “Sudah lama kami melakukan ini, sudah turun-temurun selama tiga puluh tahun,” kata Yuti. “Jangan sampai lunturlah, budaya Betawi ini.”




Seperti yang dikatakan Yuti, kelompok Ondel-Ondel penghibur di Jakarta terdiri dari banyak kelompok. Di kawasan Jalan Pejaten Raya, Jakarta Selatan, Republika juga menemui kelompok Ondel-Ondel jalanan lainnya.

Ditemui di sebuah halte di kawasan itu, Yudi (28) dan Yani (33), tampak sedang beristirahat. Bersama mereka, boneka Ondel-Ondel berdiri mematung. Sebuah gerobak yang berisikan pemutar musik juga tampak tak jauh dari mereka. Yudi dan Yani sedang duduk sambil ditemani gelas air mineral dingin, yang baru saja diteguk melepas dahaga.

Tak sesemangat Yuti yang ditemui di depan Stasiun Cikini, Yudi dan Yani tampak lesu malam itu. Katanya,
mereka telah beberapa kali melewati jalan Pejaten Raya namun masih sedikit hasil yang mereka dapatkan. “Baru dapat Rp 25 ribu,” ujar Yudi.

Pria yang bermukim di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat itu mengatakan, setiap hari ia bersama tiga orang temannya beraksi di jalanan Ibu Kota. Tidak tentu hanya di satu wilayah saja. Ia dan kelompoknya yang dinamakan “Irama Betawi” itu kadang beraksi di Jakarta Pusat. Lain hari mereka menyusuri jalan-jalan di Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, bahkan Jakarta Barat. “Sudah dikoordinasikan sama tempat saya kerja,” kata dia.

Seperangkat Ondel-Ondel yang dimainkan bukanlah milik mereka. Mereka menyewa Ondel-Ondel dan pemutar musik di sebuah sanggar di Jalan Kembang Pacar, Pasar Gaplok, Jakarta Pusat. Biaya sewanya Rp 70 ribu per hari. Dengan beranggotakan empat orang, mereka mengaku masih bisa mengantongi hasil mengamen yang cukup.

Bapak beranak satu ini lalu menceritakan setiap harinya pada pukul 12 siang mereka bersiap-siap untuk berkeliling. Setelah itu, pukul 13.00 mereka mulai diantarkan oleh mobil ke titik-titik yang ditelah ditentukan. Ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa Ondel-Ondel jalanan biasa terlihat di sore hari. “Kita mulai pukul 15.30 untuk berkeliling menggunakan satu ondel-ondel dan satu gerobak pemutar musik,” kata dia.

Seperti halnya pengamen jalanan, Yani dan kelompok kadang harus kucing-kucingan menghindari razia yang dilakukan oleh petugas Dinas Sosial. Razia sering mereka temui. "Kalau tertangkap bisa disita dan baru sebulan dikembalikan (Ondel-Ondelnya),” katanya.

Kendati disamakan dengan pengamen jalanan oleh Dinas Sosial, Yani sebenarnya tak mau diperlakukan seperti itu. Selain mencari uang, ia juga bermaksud memperkenalkan dan melestarikan budaya asli Betawi kepada masyarakat. "Karena kita sudah tidak ada pekerjaan lagi, kalau tidak bekerja ya mengganggur,” ujar Ibu beranak empat ini.



Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta (Dinsos DKI) menyebut kelompok Ondel-Ondel penghibur sebagai pengamen Ondel-Ondel. Ini berarti masuk dalam daftar Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

Kepala Dinsos DKI, Masrukhan, mengatakan penertiban PMKS terutama pengamen Ondel-Ondel, telah dilakukan dengan cara membuat zona-zona terlarang bagi mereka. Zona 1 adalah jalan protokol dan jalan-jalan yang dilewati oleh tamu negara.

Zona 2 merupakan lingkungan umum yang diperuntukkan bagi akses fasilitas umum seperti Rumah Sakit dan stasiun, tempat ibadah dan jembatan. Kedua zona itu terlarang bagi pengamen. "Mereka mereka diperbolehkan beroperasi pada Zona 3, yakni di lingkungan perumahan dan perkampungan," kata dia.

Dalam menertibkan, Masrukhan mengakui pihaknya tak segan melakukan penyitaan terhadap alat-alat untuk mengamen, termasuk Ondel-Ondel. “Bila terjangkau, barang-barang akan kita sita, dan kita kembalikan bila memang ada surat pernyataan jaminan untuk tidak mengamen lagi,” ujarnya menjelaskan.

Data dari Dinsos DKI, sejak Januari hingga September 2017, tercatat hanya enam orang saja pengamen Ondel-Ondel yang terjaring Dinsos. “Hal ini bukan berarti mereka (pengamen Ondel-Ondel) mematuhi aturan. Tapi karena memang takut dengan Dinsos, sehingga menghindar,” kata Aminullah, Staf Rehabilitasi Tuna Sosial dan Korban Tindak Kekerasan, Dinsos DKI, menambahkan.

Ditemui di kantor kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, Amin mengatakan fakta di lapangan, pengamen Ondel-Ondel sering bermain di jam-jam yang sepi razia. Terlebih, petugas Satgas Pelayanan, Pengawasan, dan Pengendalian Sosial (P3S) Dinsos DKI memiliki jam kerja terbatas. "Mereka sering memanfaatkan waktu-waktu lengah kami,” ujarnya.

Dalam Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No 8 tahun 2007 (Perda No8/2007) tentang ketertiban umum, pasal 47 ayat 1 menyebutkan perihal pelarangan masyarakat menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil. Berdasarkan perda ini pula, Dinsos DKI mengimbau masyarakat untuk tidak memberi uang pada mereka yang disebutkan itu.

Amin berpendapat tidak ada kaitannya melestarikan budaya Betawi dengan menerima uang apresiasi di jalanan. Menurutnya, kalau memang tujuannya melestarikan budaya, seharusnya bersifat sukarela. Tidak diberi uang pun tidak masalah.

Budayawan Ridwan Saidi, saat Republika tanyai soal Ondel-Ondel jalanan ini, menjawab tidak ada masalah bila emang masyarakat Betawi membawa Ondel-Ondel ke jalan untuk mencari nafkah. “Biarinlah, dia kan juga cari makan. Ekonomi udeh susah, jangan dilarang-larang,” ujarnya tegas.

Mantan anggota DPR itu menyatakan tak setuju bila membawa Ondel-Ondel ke jalan dapat menurunkan derajat martabat budaya asli Betawi. “Kaga ada, derajat (budaya) Betawi naik kok,” katanya. Karena itu pula, ia juga sepakat dengan anggapan, adanya Ondel-Ondel di jalan justru mendekatkan budaya Betawi dengan masyarakat.

 
Berita Terpopuler