Tentang Azan, Lonceng Gereja, Toa Masjid, Wahabi, dan Musik Blues

Antara
Tujuh orang muadzin mengumandangkan adzan pertama pada salat Jumat di Masjid Agung Kasepuhan (Sang Cipta Rasa) Cirebon Jawa Barat , Jumat (3/10). Adzan yang dikumandangkan oleh tujuh orang muadzin tersebut telah menjadi tradisi di Masjid Agung Kasepuhan (S
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika

Alkisah, sewaktu pengikut Muhammad ibn Abdullah mulai sukar dihitung jari-jari di Makkah, mereka dapat persoalan baru: bagaimana mengumpulkan orang-orang untuk beribadah secara berjamaah? Dari itu, merapatlah Rasulullah dan para sahabat.

Ada yang mengusulkan dengan sinyal api atau asap yang bisa dilihat dari kejauhan. Ada yang mengusulkan mengibarkan bendera. Pilihan yang juga mengemuka adalah mengunakan lonceng seperti pengikut Isa al-Masih atau dengan terompet tanduk binatang seperti bangsa Yahudi.

Kita paham bahwa Nabi adalah manusia yang hormat betul terhadap keyakinan ahlul kitab, dan barangkali enggan cawe-cawe dengan ritual mereka. Selain itu, bayangkan jika suatu saat ada Muslim yang sudah pakai baju rapi, pakai wewangian, berjalan keluar rumah, kemudian di tengah jalan baru sadar bahwa yang bunyi ternyata lonceng gereja. Kan tengsin.

Sayangnya, waktu itu belum ada gitar listrik. Jadi pilihan memainkan musik cadas menjelang shalat berjamaah juga tak masuk akal. Alat musik populer saat itu adalah gendang dan kicrik-kicrik. Kasihan kafir Quraish yang bakal pada mati ketawa kalau liat ada yang main kicrik-kicrik di atap masjid setiap menjelang shalat. 

Ide yang kemudian disepakati saat itu adalah dengan menunjuk seorang Muslim untuk meneriakkan panggilan shalat.

Orang yang ditunjuk, Bilal ibn Rabah, seorang bekas budak kulit hitam. Saya bayangkan, buat orang Quraish yang rasial setengah mampus itu, ada orang kulit hitam yang berdiri lebih tinggi dari kaum mereka dan memerintahkan orang-orang datang ke masjid tentu macam ditampar berkali-kali. Tapi, alasan penunjukan Bilal juga karena suaranya paling membahana sekaligus paling merdu, meski ia tak fasih melafalkan huruf “syin”.

Tak lama, sorang sahabat lain bernama Abdullah ibn Zaid mendapatkan mimpi tentang seseorang yang mengajarkannya panggilan shalat. Mimpi itu ia sampaikan ke Rasulullah, dan jadilah lirik azan yang sampai saat ini tak berubah meski belakangan tak jarang dibenci orang-orang.

Nah, pada masa Khalifatul Khalifatul Khalifatul Rasulullah (artinya dia perwakilan ketiga selepas Nabi meninggal) Usman ibn Affan, umat Islam tambah banyak. Madinah yang jadi markasnya Muslim juga tambah ramai. Perekonomian semarak dan orang-orang rajin berbelanja. Sebab itu, Usman menilai azan sekali di masjid tak cukup. Ia kemudian mengutus satu muazin tambahan di pasar untuk berazan, dan kemudian nantinya disusul azan sesungguhnya di masjid. Jauh sebelum speaker, ini cara pertama azan dikeraskan. Di sinilah saya bayangkan emak-emak saat itu pada jengkel.

Dan seiring masa, umat Islam menemukan banyak jalan lain mengeraskan azan. Mulai dari membangun menara di samping masjid, hingga menciptakan arsitektur rumit yang bisa memantulkan suara dan membuatnya terdengar lebih keras. Kemudian datanglah teknologi pengeras suara (akrab disebut toa, di Jawa disebut corong--Red) pada awal abad ke-20. Tanpa ragu malu, orang Islam menggunakan itu teknologi guna mengeraskan suara azan dan pada akhirnya membuat jengkel orang-orang.

Tapi kejengkelan terhadap suara yang keluar dari masjid tentu bukan karena azannya. Ada faktor muazin yang fals tapi enggak nyadar, ada gegara jamaah malas menyumbang sehingga masjid dan langgar sukar beli toa baru meski yang lama suaranya sudah tak keruan. Namun, yang paling utama adalah banyaknya tambahan shalawat sebelum dan sesudah azan.

Soal keberatan atas tambahan-tambahan ini yang paling terkenal dari ulama Suni mazhab Syafi’i, Ibn Hajar al-Haithamy, pada abad ke-16. Kesimpulan dia bahwa itu barang adalah bid’ah sampai saat ini dipegang oleh kelompok-kelompok Islam yang menginginkan azan dilantunkan secara ringkas saja.

Di sini muncul ironi, karena umat Islam nusantara adalah salah satu pengamal utama tambahan-tambahan sebelum dan sesudah azan. Mazhab yang diacu Islam nusantara, adalah juga Syafi’I seperti Ibn Hajar. Yang keberatan kebanyakan dari golongan Salafi atau (mohon maaf harus pakai kata ini), Wahhabi.

Jadi, buat liberal yang ingin azan yang lebih ringkas, silakan hubungi kantor cabang Islam puritan setempat dan merancang gerakan bersama. Percayalah, kalau liberal dan puritan sudah bersatu, tak mungkin dikalahkan. Tengok saja koalisi AS-Arab Saudi.

Nah, pada abad ke-19, di tengah kian maraknya pertanian di Amerika Serikat, banyak warga Afrika diciduk para penjual budak dan dibawa ke Amerika Serikat. Sekira 30 persen dari mereka diperkirakan berasal dari Afrika Barat dan beragama Islam. Azan bukan barang asing.

Beberapa tahun lalu, seorang ilmuwan sejarah dari Amerika Serikat, Syviane Diouf, berhasil membuktikan bahwa akar musik blues di AS adalah azan yang kerap dilantunkan para budak tersebut. Bukan kebetulan, musik kulit hitam di AS menggunakan banyak melisma selaiknya bait-bait perulangan dalam azan. Barangkali, saat mendengar lantunan lagu Beyonce Knowles, Mariah Carey, atau Alicia Keys, ada baiknya yang Muslim langsung ambil wudhu dan shalat alih-alih berjoget ria.

Dari rangkaian sejarah panjang itu, kita paham bahwa azan tak sekadar suara sumbang lewat pengeras suara bodong. Ia adalah juga cerita soal kesetaraan ras, penghormatan atas agama lain, kompromi dalam Islam, dan akar budaya populer.

Mudah-mudahan damai menyertai kita semua.

 
Berita Terpopuler