Ekspedisi Batik Pesisir: Pusaka dari Rahim Pesona Bahari

Suherdi Riki/Republika
Pembatik di daerah Lasem, Jawa Tengah.
Red: Angga Indrawan

Oleh: Angga Indrawan, Wartawan Republika Online

Sebuah perkampungan nelayan di pesisir Indramayu, Jawa Barat itu terlihat sepi. Pertengahan tahun 1967, warga di sana masih didominasi perempuan. Sebagian perempuan berselimut kesedihan. Sedih, sebab sang suami pergi sementara waktu melaut selama dua minggu, 40 hari, hingga empat bulan lamanya.

Teringat kebiasaan nenek moyang dulu. Dipilihnya satu cara membunuh kebosanan. Ibu-ibu itu, baik yang muda maupun tua, memilih berkumpul di salah satu rumah sepuh yang juga berada di perkampungannya. Hal yang kemudian dilakukannya, adalah membatik bersama. Satu wadah lilin, bisa digunakan tujuh hingga delapan orang. Membatik, saat itu dianggap sebagai obat ampuh penghilang rasa rindu.

"Itulah cerita awal kebangkitan usaha batik di kampung Paoman, Kabupaten Indramayu," kata Hj Siti Ruminah Sudijono (60 tahun), salah satu tokoh pembatik di Kampung Paoman, Indramayu. Hingga kemudian, tambahnya, aktivitas ini menginspirasi beberapa kaum hawa lain di kampung lain Indramayu seperti Babadan, Penganjang, dan Terusan.

Sebuah potret kemudian yang kini terekam, Paoman menjelma menjadi salah satu sentra batik pesisir di Indramayu. Pamornya tak hanya sampai hingga seluruh bibir pulau Jawa. Kebesaran namanya tercium hingga mancanegara. Pesona batiknya menyedot perhatian Jepang, Australia, Afrika Selatan, Amerika Serikat, dan beberapa negeri Jiran semisal Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.

Batik Indramayu mengawali perjalanan Republika mengintip pesona batik pesisir di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Di Kampung Paoman, batik Indramayu meretas jejak sejarah panjangnya. Batik Indramayu, yang kemudian dikenal dengan batik Dermayon, memang sangat erat kaitannya dengan Batik Paoman. Batik Paoman, diambil dari sebuah perkampungan yang jaraknya lima kilometer dari pusat kota Indramayu.

Batik Paoman atau batik Dermayon. Batik ini memiliki ciri yang hadir dari kekuatan bahari, seperti gambar burung-burung pantai, tanaman laut, karang, ikan, udang, cumi, perahu nelayan, dan lain sebagainya. "Mulai dari motif Kapal Kandas, Iwak Etong, hingga motif dari Arab," kata Siti menambahkan. 

Berdasarkan catatan sejarah, Batik di Indramayu diperkirakan memasuki periode perdananya pada abad ke 13-14. Saat itu, Pelabuhan Cimanuk menjadi pelabuhan terbesar di Pulau Jawa dan Asia. Hingga kemudian, kebesarannya menjadi pintu gerbang saudagar dari Lasem. Maka dari itu, kata Siti, Batik Paoman juga identik dengan motif batik Lasem yang banyak dipengaruhi batik Cina.

Dalam hal motif dan warna, Indramayu memang memiliki perbedaan yang sangat jauh dari tetangga geografisnya, Cirebon. Batik Indramayu, kata Siti, lebih banyak mendapat pengaruh dari daerah pesisir utara Jawa Tengah seperti Lasem, berbeda dengan Cirebon yang dikayakan melalui cerita keraton dan pengaruh dari Solo. Soal goresan lilinnya, Indramayu pun lebih memilih garis-garis putus, berbeda dengan Cirebon yang memilih garis tegas.

Batik Trusmi, begitulah kota Cirebon naik daun berkat karya batiknya. Lokasi Trusmi tepatnya berada di Kampung Trusmi, desa Plered. Jaraknya hanya delapan kilometer dari pusat kota Cirebon ke arah barat. 

Sejak abad ke-14, Trusmi telah memopulerkan batik yang tak kalah pamor dengan saudara tuanya, Indramayu. Desa ini, lebih dari 90 persen penduduknya disibukkan dengan aktivitas membatik. Maka jangan heran, desa ini kemudian dikenal dengan sentra batik Cirebon.

Kami menemui salah satu tokoh sekaligus budayawan batik di tempat yang diambil dari kata 'Terus Bersemi' ini, Katura. Dari tokoh yang telah bergelut dengan aktivitas membatik lebih dari setengah abad itu, batik Cirebon memang memiliki tempat khusus dalam paradigma pembatik di Nusantara.

"Ada dua kiblat batik khas Cirebon, pesisir dan keraton," kata Katura, salah satu dan memang satu-satunya pegiat batik yang telah mendirikan sebuah sanggar membatik di Trusmi tersebut.

Berbicara soal asal mula sejarah membatik di Trusmi, Katura menyebut aktivitas membatik di Cirebon ini berawal pada abad ke-14. Trusmi, katanya, dulu merupakan daerah ilalang dan hutan tidak terawat. Satu ketika, beberapa warga menebang tumbuhan tersebut namun secara kemudian tumbuhan itu tumbuh (bersemi) kembali. Sehingga tanah tersebut dinamakan Desa Trusmi yang berasal dari kata terus bersemi.

"Beberapa warga diperintahkan Sultan Cirebon untuk membangun industri kecil batik kemudian di tempat ini," kata Katura.

Sementara itu untuk ragam motif, ciri khas batik Cirebon adalah pesisir yang terilhami dengan panorama laut, dan beberapa karya yang lahir dari kehidupan keraton. Cirebon, terbagi dalam beberapa periode keraton, seperti Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman.

Satu motif yang populer di Cirebon adalah motif Mega Mendung, yang menggambarkan sebuah awan sejuk lantaran dalam kondisi akan hujan. Berdasarkan catatan sejarah, motif ini diciptakan Pangeran Cakrabuana (1452-1479) karena dipengaruhi pemikiran Cina.

Kekuatan Bahari melengkapi keperkasaan armada laut Kesultanan Cirebon. Sunan Gunung Jati, dalam satu kesempatan pernah menikahi putri Saudagar Cina, Ong Tien. Catatan itu yang membuat dugaan kuat kekerabatan Cirebon dengan Cina makin erat. Beberapa benda seni seperti keramik, piring yang dibawa dari Cina, tumplek di Pelabuhan Muara Jati yang saat itu jadi pelabuhan internasional. 

Untuk urusan warna pada umumnya, batik Cirebon baik pesisir maupun keraton, lebih cenderung dengan pemilihan warna yang relatif 'aman', tidak menunjukkan keberaniannya. Warna yang dipilih relatif berwarna kuning, hitam sogan, bahkan berwarna krem ataupun putih gading. "Kami pilih ketegasan warna dan garis pada motifnya, lebih agresif," kata Katura menambahkan.

Batik Tegal merupakan satu kerajinan yang ingin mengibarkan namanya di tengah kemajuan sentra batik yang menghimpitnya, Cirebon dan Pekalongan. Hanya saja, kemudian baru kami ketahui, batik ini ternyata membentuk kelas-kelas tertentu di dalam lapisan masyarakatnya. Kastanisasi, mungkin begitu bahasa ekstremnya.

Di Tegal, terdapat beberapa motif khas yang lahir dari Desa Bengle, Kabupaten Tegal, 10 kilometer dari pusat kota Tegal ke arah Slawi. Batik Tegal diklaim sebagai batik pesisir, lantaran memang wilayah Tegal yang berada di utara lintasan jalur pantai utara. Dari desa ini, motif batik Tegal lahir, seperti motif Sidamukti, Batu Pecah, Kawung, Beras Mawur dan Krikilan.

"Tiga motif yang disebutkan pertama adalah batiknya pejabat kelas atas, sedangkan yang lain, dikhususkan untuk selera masyarakat kelas bawah," kata H Waryono, salah satu tokoh pembatik di Desa Bengle ditemui di kediamannya.

Terjadi pembedaan kelas, lantaran motif tiga teratas merupakan batik yang memiliki motif lebih rumit. Proses pembuatannya juga dijaga baik kualitas maupun kuantitas. Artinya, motif khas Tegal itu dibuat hanya untuk permintaan-permintaan tertentu.

"Batik Tegal yang khusus juga dibuat di atas kain yang telah diminyaki berturut-turut selama seminggu penuh," kata Waryono. Hal itu dilakukan guna memecah serat kain agar warna kain lebih cerah. Cara seperti ini, kata Waryono sudah tidak dilakukan lagi di beberapa wilayah pemilik batik pesisir lainnya.

Batik tulis Tegal yang kemudian dikenal dengan batik Tegalan memang dapat dikenali dari corak gambar atau motifnya yang memilih melebar di atas kain. Konon, motif ini tidak dimiliki daerah lain sehingga batik Tegalan nampak lebih eksklusif. Isen-isen, atau pembuatan garis, dipadukan dengan warna spesifik yang lembut atau kontras.

Berdasarkan cerita turun temurun, budaya membatik di Tegal dibawa Raja Amangkurat I (Sunan Amangkurat Mas) dari Keraton Kasunanan Surakarta melalui pintu bahari. Amangkurat yang saat itu menyusuri pantai utara membawa pengikutnya yang di antaranya pengrajin batik. 

Selain di desa Bengle, aktivitas dan usaha batik tulis Tegalan di Kota Tegal juga mengelompok dalam industri kecil-menengah di Kelurahan Kalinyamat Wetan, Bandung, Tunon, dan Keturen. Kendati demikian, hampir semua kegiatan membatik ini berada di wilayah Kecamatan Tegal Selatan. Mungkin saja, di wilayah utara adalah miliknya para nelayan yang membuat kota Tegal dijuluki sebagai kota Bahari.

Sampailah di sebuah daerah tempat pusat kegiatan membatik membikin besar nama daerah ini, Pekalongan, Jawa Tengah. Kota ini menjadi pusat segala aktivitas membatik yang melahirkan batik berbagai wilayah. Di kota berjarak 400 kilometer dari Jakarta ini, banyak ditemukan beragam motif dari berbagai daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur. Namun pertanyaannya kemudian, masihkah ada batik klasik Pekalongan yang lahir dari rahim intelektual masyarakat Kota Batik ini?

"Untuk mencari batik Pekalongan, carilah kain batik yang memiliki warna penuh (full colour)," ujar salah satu tokoh batik di Kampung Kauman, Arief Wicaksono.

Menurutnya, Pekalongan memang telah menjelma menjadi industri kecil, menengah, dan besar yang banyak mendapat permintaan besar pesanan batik dari berbagai daerah. Hampir puluhan, hingga ratusan ribu kain batik dikirimkan guna memenuhi permintaan pesanan dari luar Pekalongan. Pesanan, tak hanya dari seputar pulau Jawa. Karya anak daerah, ternyata dipasarkan hingga ke Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Jambi, Minahasa, hingga Makassar

Untuk itu, kemudian kata Arief, hampir jarang ditemui pengrajin batik Pekalongan yang justru melahirkan karya sendiri yang merupakan cerminan dari kekayaan intelektual Pekalongan. "Berada pada dua pilihan, antara idealisme dan kepentingan dapur," kata Arief menambahkan.

Kendati demikian, setidaknya Arief menyebut ada dua motif yang memang tidak bisa dipungkiri lahir dari tanah Pekalongan, yakni motif Jlamprang dan Buketan. Dua motif itu, lahir pada periode abad ke-17 dan 18 seiring banyaknya pemukim yang datang dan menetap di Pekalongan. Pemukim yang dimaksud, adalah mereka yang dari Cina, India maupun Arab.

Ciri lain dalam batik Pekalongan, kata Arief, adalah motif batiknya yang sangat bebas, menarik, meskipun hampir tak jauh berbeda temuan motifnya seperti batik Solo ataupun Yogyakarta. Perbedaannya adalah, batik Pekalongan memiliki keberanian hingga menampilkan delapan warna yang serasi dalam selembar kainnya. Hanya saja, ada dua warna setidaknya yang menjadi warna 'tradisi' batik Pekalongan, yakni putih dan biru. Seperti halnya warna keramik Cina abad 17, dua warna itu dalam filsafat Cina, menyimbolkan arti keaktifan, keperkasaan, dan kejantanan.

Batik Pekalongan banyak dikerjakan di rumah-rumah. Satu rumah, memungkinkan untuk diisi kegiatan lima sampai enam pengrajin batik. Dua kampung yang terkenal dengan kreasi batiknya adalah Kampung Kauman dan Pesindon. Kendati demikian, dua kampung yang berjarak tak jauh dari alun-alun Pekalongan itu sejatinya berbeda. Kampung Kauman, adalah kampungnya para pengrajin batik. sementara itu, Pesindon adalah kampung etalase bagi seluruh hasil karya batik yang lahir dari Kampung Kauman.

"Wisata Batik, ya mutlak berada di dua perkampungan ini," kata pengusaha muda batik di Kauman, Adek Bagus Aditama. 

Jika masih tak cukup mengunjungi kampung batik, silahkan mampir ke Museum Batik Pekalongan. Museum Batik Pekalongan berada di komplek lama Jetayu, dua kilometer dari pusat kota. Di museum yang diresmikan pada 2006 itu, terhampar berbagai koleksi klasik batik Pekalongan. Koleksi lengkap museum tersebut, menegaskan kota ini layak menjadi ikon kota Batik di pulau Jawa. 

"Kita puaskan seluruh keingintahuan masyarakat akan batik khas Pekalongan," kata Denny Pujianto, salah satu pemandu museum.

Sebenarnya agak di luar ekspektasi saat kami mencari jejak kampung batik di Semarang. Lokasi kampung Batik di ibu kota Jawa Tengah ini berada di Kampung Gedong, Bubakan, Semarang. Dahulu ceritanya, kampung ini merupakan pusat terbesar dan sentral pengrajin batik yang cukup terkenal.

Hasil dari batik di kampung ini, bahkan menembus pasar ke Eropa lantaran dikuasai lebih dari 800 pengrajin aktif. Namun, kejayaan itu sirna pada pertengahan abad ke-20. Matinya bisnis batik lantaran penjajahan Jepang yang mampir ke Semarang. Kampung Gedong, dibakar habis tak bersisa. Hingga saat ini belum ada alasan yang jelas tentang pembakarannya.

"Kampung ini telah mati, semua orang mengungsi, akhirnya baru bangkit dalam lima tahun terakhir," kata Iin Windhi Indah, salah satu pengusaha batik yang menjadi salah satu perintis kebangkitan batik di Kampung Gedong.

Iin sedikit bercerita bagaimana kampung ini kembali bergeliat. Saat itu, Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Semarang di bawah pimpinan Ny Sinto Sukawi, katanya, berusaha ingin mengembangkan kembali batik khas Semarangan. Sinto yang juga istri Wali Kota Semarang saat itu, mengajak semua masyarakat Semarang untuk kembali meraih kejayaan yang pernah didapat batik Semarang pada abad ke-19. Dekranasda, menggelar pelatihan bagi calon pengrajin batik Semarangan.

Hanya saja, kata Iin, tidak semuanya kemudian mampu menguasai teknik membatik Semarang yang sempat populer itu. Selain kesibukan peserta saat itu, trauma berbisnis dan keterbatasan finansial menjadi alasannya. Hasilnya, kampung Gedong pun bergeliat dengan tenaga seadanya. Terbukti hingga saat ini, hanya ada sekitar delapan pengusaha batik yang tercatat di kota Semarang.

Untuk motifnya, kata Iin, hampir sama dengan batik Pekalongan yang menonjolkan flora dan fauna sebagai motif utama. Namun inovasi yang lahir dari Semarangan, membuat batik ini kemudian juga melahirkan batik moderen yang menuangkan rogam motif dari simbol-simbol kota seperti Gedung Lawang Sewu, Tugu Muda, dan Kota Lama. Namun khusus batik klasik Semarangan, masih ada juga motif Warak, Kupu, Bangau, Bunga Cempaka, dan Merak Smawis.

"Perbandingannya saat ini, 80-20 antara motif pesisiran dan simbol Semarang," kata Iin yang telah memiliki 20 karyawan tersebut.

Perbedaan yang khusus dari batik Semarangan, adalah penggunaan warna. Perbedaan ini, kata Iin, tidak terlepas dari air yang ada di kota Semarang. Meski menggunakan warna yang relatif sama dengan batik pesisir lainnya, Namun kemudian hasil akhirnya terlihat jelas perbedaan. Sederhananya Iin menyebut, warna batik Semarangan lebih matang dibandingkan batik Pekalongan yang soft, namun warnanya lebih tua dibandingkan batik Lasem.

"Dan juga lebih muda warnanya dari batik Cirebon," kata Iin menegaskan. 

Demak, para leluhur dan penggawa kerajaannya diklaim memiliki pengaruh besar dalam perkembangan batik di pesisir Pulau Jawa. Kendati demikian, tak ada satu catatan gemilang pun yang membekaskan kota ini memiliki batik hasil karyanya sendiri. Ekspedisi mengintip pesona batik pesisir, berlanjut ke sebuah desa di Demak, 25 kilometer dari Semarang.

Di Demak, ada satu perkampungan yang kini mulai merintis Batik khas Demak. Desa itu berada di Kampung Karang Pandan, Desa Karang Mlati, Jalan Demak-Bonang, Kabupaten Demak. Sampai saat ini, pegiat usaha batik di sana masih dalam pencarian bagaimana batik Demak mampu dipopulerkan dan memiliki pakem tersendiri.

"Masih sulit, kita masih berani menyebut batik ini batik khas Karang Mlati," kata pengusaha batik setempat, Didi Prasetyo.

Cikal bakal batik Demak itu bermotifkan klasik yang diambil dari beberapa landmark Demak semisal Masjid Agung ataupun buah belimbing dan hasil pertanian Demak lainnya. Ada juga aktivitas masyarakat Demak yang bertani yang tertuang dalam motif Bintoro. Ciri khusus, batik Demak ini berwarna dasar hijau, yang melambangkan warna simbol keislaman. 

"Tapi kita masih belum mendapat pakem hijau apa yang tepat," kata Didi menambahkan.

Di kecamatan yang masuk dalam Kabupaten Rembang ini, beragam motif lain yang lahir dari kekuatan bahari bermunculan. Motif yang dimaksud adalah motif Latohan, Gunung Ringgit, Kricakan atau Watu Pecah.

Motif Latohan misalnya, diambil dari sebentuk rupa latohan (rumput laut) yang banyak subur di daerah pesisir Lasem. Motif ini bisa terlihat dari hampir semua batik Lasem yang memiliki corak bintik-bintik bulat putih. 

Sedangkan motif Kricakan atau watu pecah, adalah simbol penderitaan yang dialami masyarakat Lasem saat proyek Anyer-Panarukan Daendels pada 1808. Pecahan-pecahan batu itu menceritakan bagaimana masyarakat memecah bebatuan cadas demi bahan pengeras jalan.

"Secara keseluruhan, motif batik Lasem berbentuk melingkar, memberi kesan yang begitu abstrak," kata Baskoro, pegiat sejarah Lasem.

Batik Lasem juga dikenal keunikan motif dan corak yang banyak dipengaruhi kebudayaan Cina. Lasem sejak abad ke-15 merupakan tempat transit dan pusara bisnis orang-orang Cina di Jawa Tengah. 

Menyeret lebih jauh dari sejarah batik Lasem, batik ini konon berasal dari seorang anak buah kapal Laksamana Cheng Ho yang bernama Bi Nang Un dengan isteri bernama Na Li Ni. Nama yang disebutkan terakhir, adalah sosok yang dipercaya memberi ketrampilan bagi masyarakat Lasem untuk membatik. Dari catatan itu pula, batik Lasem tidak terbantahkan merupakan perpaduan dua unsur yang berbeda, China dan Jawa yang saat itu masih menganut Hindu-Budha.

Alun-alun Tuban merupakan etalase terbesar bagi siapa saja yang ingin menikmati pesona batik Tuban. Di berbagai toko di alun-alun terluas sepulau Jawa ini, batik Tuban dipamerkan dalam berbagai merek dan harga. Batik di daerah ini, dikenal dengan nama batik Gedog.

Disebut demikian, lantaran kain yang akan dibatikkan ini melalui proses dari awal, yakni memintal bahan kain langsung dari kapas. Setelah menjadi benang, kemudian di tenun dan menjadi selembar kain untuk mulai dibatik.

Secara motif dan warna, batik Tuban memiliki kesamaan dengan batik Cirebon klasik yang lebih memilih warna terang namun aman. Untuk motifnya, kebanyakan terilhami dengan pesona pesisir pantai seperti motif rumput laut dan unyeng.

Pusat kerajinan dan warisan turun temurun ini diduga telah ada dan bergeliat sejak abad ke-18. Para pengrajin batik di kota Tuban, banyak dijumpai di desa Kedungrejo, kecamatan Kerek, Tuban.

Batik Bakaran Peninggalan Armada Majapahit

Sebelum sampai ke Lasem, silakan mampir ke Bakaran. Bakaran merupakan sebuah desa yang berada di kecamatan Juwana, Kabupaten Pati. Di lokasi yang masuk ke dalam kategori pesisir ini, terdapat sebuah perkampungan batik yang cukup bersejarah. Batik Bakaran, mewarnai pesona batik pesisir sejak abad ke-15.

Ada 2 jenis motif batik bakaran, yakni motif klasik dan modern. Motif klasik adalah batik yang motifnya abstrak dan berupa simbol-simbol yang mempunyai cerita unik dalam sejarah panjang Majapahit. Sedangkan moderen, berangkat dari inovasi masyarakat berupa motif bunga, ikan, air dan udara.

"Warna batik klasik bakaran adalah hitam, putih dan cokelat," kata Poryanto, salah satu tokoh batik Bakaran Wetan.

Poryanto, yang kemudian akrab disapa Por itu menyebut, yang menjadi khas batik bakaran adalah motif “Retak atau Remek”. Motif ini dibuat melalui teknik dan proses yang rumit: nggirah, nyimplong, ngering, nerusi, nembok, medel, mbironi, nyogo, dan nglorod.

Selain itu, ada 17 motif Bakaran yang telah dipatenkan, di antaranya adalah motif blebak kopik, rawan, liris, kopi pecah, truntum, gringsing, sidomukti, sidorukun, dan limaran, dan lain sebagainya. Mendukung  keberadaan batik ini, kata Por, semua pegawai pemerintah di Pati mengenakan batik Bakaran pada hari-hari tertentu.

Batik Bakaran berawal dari kisah sang penjaga pusaka Majapahit, Nyi Siti Sabirah (Nyi Danowati) pada 1471. Ia datang ke desa Bakaran untuk mencari tempat persembunyian karena dikejar-kejar prajurit Kerajaan Majapahit. Waktu itu, Kerajaan Majapahit mengejarnya lantaran Nyi Danowati memilih untuk memeluk Islam.

 

 

Sebuah kota di ujung Jawa Timur ini juga tidak ingin ketinggalan memamerkan satu produk batik pesisirnya. Kota Probolinggo, mulai merintis kembali kerajinan batiknya sejak 2007. Tidak seperti di daerah pesisir lain pada umumnya, batik khas Kota Probolinggo bercorak Mangga dan Anggur. Manggur, begitu motif batik ini mulai harum namanya.

Kami temui Hj Rina S, salah satu pengusaha sekaligus pengrajin batik di kota ini. Di kediamannya di Jalan Dr Wahidin 34. Rina adalah seorang pengusaha batik yang mempekerjakan para pegawainya tanpa mesti datang ke rumahnya. Para pengrajin batiknya tersebar di beberapa rumah di seputaran Probolinggo. Istimewanya, mereka yang membuat batik adalah mereka yang nasibnya bisa dikatakan kurang beruntung.

"ya betul. Saya mempekerjakan para pengemis, anak-anak pengamen, hingga tukang becak yang membutuhkan uang tambahan," kata Rina. Semua pegawainya, telah sebelumnya diberikan keterampilan dalam beberapa bulan sebelum dikaryakan.

Di Showroom batiknya, terpampang semua batik khas Probolinggo yang baru kembali membuktikan pesonanya dalam kurun enam tahun terakhir. Motif Manggur, memang menjadi motif andalan dari kota Probolinggo. Dua jenis buah-buahan ini merupakan salah satu ikon kota Probolinggo. Meski kemudian, ada beberapa motif lainnya yang khas dari kota ini yakni motif ikan, seribu taman, dan motif angin.

"Motif angin kami menyebutnya motif Angin Gendeng," ujarnya menjelaskan. 

Angin Gendeng merupakan fenomena rutin dalam waktu tertentu di Probolinggo. Musim angin kencang di kota pesisir ini, biasanya ditandai saat masuk musim penghujan. Selain itu, Rina juga menjelaskan sejarah makna motif Seribu Taman. Untuk motif yang satu ini, merupakan prakarsa dari pemerintah setempat. Beberapa tahun terakhir, Probolinggo tengah keras menggaungkan program penghijauan di wilayahnya. Masing-masing penghuni rumah, diimbau untuk memiliki taman hijau di beranda rumahnya.

Batik Khas Kota Probolinggo tak memiliki pakem khusus dalam soal warna. Hanya saja, relatif banyak ditemukan warna dasar cerah. Hal ini memungkinkan untuk paduan warna motif utama Mangga dan Anggur yang dipilih dengan warna gelap. Motifnya terkesan alami, karena dibuat penuh dengan kehati-hatian. Satu lembar kain yang telah dibatik, bisa mencapai proses pembuatan hingga sebulan lamanya.

 
Berita Terpopuler