Mengenal Asal Usul Nama-Nama Kampung di Jakarta

Monas
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyebutan nama tempat dan nama kampung yang ada di Jakarta ternyata tidak sekadar asal nama. Hampir semua nama tempat dan kampung ternyata memiliki riwayat dan sejarah sendiri.

Ada juga nama kampung atau tempat yang dikaitkan dengan vegetasi atau tumbuh-tumbuhan yang banyak ditemukan. Juga ada nama tempat atau kampung yang dikaitkan dengan seorang tokoh yang pernah tinggal di tempat itu.

Sejarawan Jakarta, Alwi Shahab mengatakan, penamaan tempat dari ujung utara hingga pinggiran selatan Jakarta, semua nama tempat memiliki latar belakang sejarah. Kita mulai dengan kawasan Ancol di Jakarta Utara, yang kini menjadi tempat rekreasi paling terkenal di tanah air.

"Ancol mengandung arti tanah rendah berpaya-paya," kata Alwi Shahab membuka percakapan dengan Republika.co.id.

Ia merawikan, dahulu, bila laut sedang pasang, air payau kali Ancol berbalik ke darat menggenangi tanah sekitarnya sehingga terasa asin. Wajarlah bila Belanda zaman VOC menyebut kawasan tersebut Zoutelande (tanah asin).

"Sebutan yang juga diberikan untuk kubu pertahanan yang dibangun di situ pada 1656," kata pria yang akrab disapa Abah Alwi tersebut.


Bergeser ke Angke, Jakarta Barat. Di sini kita menemukan masjid tua yang berusia hampir 300 tahun (dibangun pada 1714), yakni Masjid Al-Anwar.

Menurut Abah Alwi, kata Angke berasal dari bahasa Cina, ang, yang berarti darah, dan ke, yang artinya bangkai. Nama ini terkait peristiwa sejarah tahun 1740 ketika terjadi pemberontakan orang Cina di Batavia.

Ribuan warga Cina yang dibantai Belanda mayatnya dihanyutkan ke kali, yang kemudian menjadi kali dan kampung Angke. Sebelumnya, kampung itu bernama Kampung Bebek. Karena, orang Cina yang tinggal di situ senang beternak bebek.

Sekarang kampung Gambir tinggal kenangan saja. Yang ada nama kelurahan dan stasiun Gambir.

Kata Gambir sudah dikenal sejak Gubernur Jenderal Daendels mulai membuka daerah itu pada 1810. Kata ini mengacu pada sebutan masyarakat setempat yang melihat banyaknya pohon gambir yang tumbuh di kawasan tersebut.

"Sebelum dikembangkan oleh Daendels sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda yang dinamakan Weltevreden, kawasan itu masih merupakan daerah rawa-rawa dan padang ilalang. Pada abad ke-17 oleh pemiliknya, Anthony Paviljoen, daerah itu disewakan pada masyarakat Cina sebagai lahan pertanian tebu, sayur-sayuran dan persawahan," kisah Abah Alwi.

Di daerah yang kini dikenal sebagai Lapangan Monas pernah tiap tahun diselenggarakan Pasar Gambir untuk memperingati HUT Ratu Wilhelmina, nenek Ratu Beatrix sekarang ini. Keramaian itu, kemudian, oleh Gubernur Ali Sadikin dilanjutkan dengan Jakarta Fair (Pekan Raya Jakarta) guna memperingati HUT Kota Jakarta.


Tidak jauh dari Gambir terdapat kampung Gondangdia yang kini berada di daerah pemukiman elit Menteng, Jakarta Pusat. Nama Gondangdia cukup dikenal di kalangan masyarakat awam di Jakarta karena sering disebut dalam lagu Betawi: Cikini si Gondangdia, saya disini karena dia.

Ada beberapa versi nama kampung Gondangdia. Berasal dari nama pohon gondang (sejenis pohon beringin). Berasal dari nama binatang air sejenis keong gondang, yang artinya keong besar.

Juga berasal dari nama seorang kakek yang terkenal dan disegani masyarakat sekitar kampung. Kakek ini punya nama kondang dan sering dipanggil ‘kiai kondang’. "Nama tempat itu pun disebut gondangdia (kakek yang tersohor)," ucap pria kelahiran 1936 itu.

Dari Jakarta Pusat kita ke Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Di sini terdapat kawasan Kebantenan, karena sejak 1685 dijadikan salah satu tempat pemukiman orang-orang Banten di bawah pimpinan Pangeran Purbaya, salah seorang putra Sultan Agung Tirtayasa. Tentang keberadaan orang Banten di kawasan tersebut, kisahnya dimulai, setelah Sultan Haji mendapatkan bantuan Kompeni.

Akibatnya Sultan Agung Tirtayasa terdesak, sampai terpaksa meninggalkan Banten, bersama keluarga dan abdi-abdinya yang masih setia kepadanya. Mereka berpencar, tetapi kemudian terpaksa menyerahkan diri: Sultan Ageng di sekitar Ciampea, Pangeran Purbaya di Cikalong kepada Letnan Untung (Untung Surapati).

"Di Batavia awalnya mereka ditempatkan di dalam lingkungan benteng. Kemudian, Pangeran Purbaya beserta keluarga dan abdi-abdinya diberi pemukiman di Kebantenan, Jatinegara, Condet, Citreureup, Ciluwer, dan Cikalong."


Selain Kebantenan di Jakarta Utara, ada pula Kebantenan yang terletak antara Cikeas dengan Kali Sunter, sebelah tenggara Jatinegara, atau sebelah baratdaya Kota Bekasi. Di salah satu rumah tempat kediaman Pangeran Purbaya yang berada di baratdaya Bekasi itu ditemukan lima buah prasasti berhuruf Sunda kuno, peninggalan kerajaan Sunda, yang ternyata dapat sedikit membuka tabir kegelapan sejarah Jawa Barat.

Dari Kebantenan Jakarta Utara, kita menuju ke Kampung Ambon di Rawamangun, Jakarta Timur. Nama ini sudah ada sejak 1619. Pada waktu itu Gubernur Jenderal JP Coen menghadapi persaingan dagang dengan Inggris.

Untuk memperkuat angkatan perang VOC, Coen pergi ke Ambon mencari bantuan dengan menambah pasukan dari masyarakat Ambon. Pasukan Ambon yang dibawa Coen kemudian ditempatkan di Batavia, yang kini menjadi Kampung Ambon.

Pada awal berdirinya VOC, Belanda menempatkan masyarakat untuk tinggal di kampung-kampung dengan nama etnis mereka. Karena itu, di Jakarta banyak nama tempat mengacu pada etnis, seperti Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Banda (n), Kampung Bugis, dan Kampung Makassar.

"Di masing-masing kampung itu Belanda menempatkan kapiten, yang dipilih dari tokoh masyarakat yang disegani dari tiap etnis."

(Baca Juga: Semakin Tua Jakarta Makin tak Ramah untuk Warganya)

 
Berita Terpopuler