Cerita Di Balik Coretan

Antara/Marifka Wahyu Hidayat
The graffiti says
Red: M Akbar Wijaya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Akbar Wijaya/ wartawan www.republika.co.id 

Sempat dianggap simbol resistensi dan vandalisme, graffiti akhirnya dirangkul menjadi teman industri dan sarana sosialisasi.

"Coretan di dinding membuat resah. Resah hati pencoret mungkin ingin tampil. Tapi lebih resah pembaca coretannya. Sebab coretan dinding adalah pemberontakan, kucing hitam yang terpojok di tempat sampah." (Iwan Fals, “Coretan Dinding”, album Belum Ada Judul, 1992)

Jangan anggap remeh coretan dinding. Begitu peringatan yang hendak disampaikan Iwan Fals melalui lagunya yang berjudul Coretan Dinding. Seperti kata Iwan, mencorat-coret dinding bukan sekadar upaya mengeksistensikan diri. Mencorat-coret dinding juga merefleksikan sikap resistensi (perlawanan diam-diam) dari perasaan termarjinalkan, ketidakpuasan, dan kegelisahan terhadap penguasa.

Mencorat-coret dinding popular disebut dengan istilah graffiti (Inggris) berasal dari bahasa latin “graffien” yang berarti menulis. Dalam sejarah peradaban manusia graffiti bukan hal baru. Manusia sudah melakukannya sejak 30.000 tahun SM. Kala itu manusia memanfaatkan tulang hewan, kapur, dan batu bara untuk membuat coretan dinding di permukaan batu dan dinding gua. Tujuannya beraneka macam: mulai dari sarana komunikasi saat berburu, pemujaan pada dewa, hingga ritual tertentu.

Graffiti sebagai media resistensi merentang jauh ke belakang di berbagai belahan dunia. Di Eropa, graffiti bernada resistensi banyak terdapat di bekas reruntuhan dinding Kota Pompei. Kebanyakan graffiti saat itu menyindir pemerintah Roma dan tuan tanah yang dianggap menghisap kesejahteraan rakyat. 

Sejarah  revolusi Cina pimpinan Mao Zedong pada 1920 juga tak bisa dilepaskan dari graffiti. Oleh para pengikut Mao graffiti menjadi sarana efektif mendengungkan slogan-slogan revolusioner. Hal serupa terjadi di Perancis. Saat gerakan protes dan pemogokan buruh terjadi pada Mei 1968, graffiti bernada revolusioner menyebar ke seantero kota Paris. “L'est contre-révolutionnaire” (Kebosanan adalah kontrarevolusi), tulis para demonstran.

Di Tanah Air, graffiti menjadi instrumen penting dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Basuki Resodowo, pelukis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dalam memoarnya Bercermin di Muka Kaca menceritakan, beberapa jam menjelang proklamasi kemerdekaan dibacakan Soekarno-Hatta, para pemuda mencorat-coret gerbong kereta api jurusan Jakarta-Surabaya dengan tulisan “Merdeka.” Para pemuda melakukan ini dengan tujuan menyampaikan pesan kemerdekaan kepada penduduk luar Jakarta bahwa Indonesia telah merdeka.

September 1945, graffiti menjadi media diplomasi merebut simpati dunia internasional atas kemerdekaan Indonesia. Adalah Achmad Soebardjo, atas saran Tan Malaka, yang memerintahkan kaum muda menuliskan graffiti bernada propaganda: “Pemerintah dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat”, “Indonesia untuk Bangsa Indonesia”, dan “Hands off Indonesia!”.

“Mereka menggalakkan moral dan semangat juang, serta menyerukan perlawanan mati-matian terhadap musuh,” tulis Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, Dan Revolusi Indonesia, Volume 1.

“Kota lambat laun menjadi penuh tempelan pamflet-pamflet dan corat-coret semboyan yang menyatakan dukungannya terhadap Republik,” tambah Poeze.

Pada masa Orde Lama, tren graffiti beralih ke mural (seni gambar). Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia giat membuat mural di dinding-dinding kota. Lewat mural mereka menyampaikan pesan perlawanan terhadap neokolonialisme, neoimperiliasme, dan liberalisme. Pemerintah juga memilih mural untuk menghias gedung pemerintahan dengan semangat revolusioner.

Pada 1957 misalnya, pelukis Soedjojono dan kelompoknya yang tergabung dalam Seniman Indonesia Muda (SIM) ditugaskan pemerintah membuat mural di ruang Bandara Kemayoran, Jakarta. Pelukis lainnya, Srihadi Sudarsono, yang sempat masuk Lekra, pernah mengerjakan mural untuk kantin mahasiswa Universitas Indonesia dan gedung pejabat pelabuhan di Tanjung Priok. Sampai fase perebutan Irian Barat dan Ganyang Malaysia, mural dan graffiti yang sebelumnya dianggap seni rupa kelas dua (streetart), mulai punya pamor di masyarakat.

Sarana Resistensi Beralih Menjadi Komoditi Industri dan Alat Sosialisasi

Suksesi kekuasaan dari Presiden Sukarno ke Presiden Soeharto membawa perubahan besar dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Pemerintah Orde Baru yang pada masa-masa awal menjanjikan kehidupan demokrasi lebih baik, ternyata bertindak lebih otoriter ketimbang pendahulunya. Suara-suara bernada ketidakpuasan terhadap pemerintah dijawab dengan laras senjata atau jeruji besi. Kondisi ini turut memicu perkembangbiakan seni graffiti di masyarakat. Kebanyakan karya graffiti mengusung wacana alternatif yang bertentangan dengan klaim keberhasilan pemerintah: kemiskinan, kesehatan, pembangunan, dan pendidikan.

Memang, dalam situasi sarat penindasan graffiti kerap dianggap sebagai cara paling aman mengekspresikan perlawanan secara diam-diam (resistensi). Ekspresi perlawanan dalam graffiti mengisyaratkan bahasa penegasan eksistensi diri dengan merampas bahasa pusat pemerintah dan menempatkannya kembali dalam suatu wacana baru yang sepenuhnya disesuaikan dengan situasi penindasan.

Meski demikian, pada saat itu berkembang juga graffiti yang semata-mata bertujuan mempopularkan identitas kelompok, geng, dan nama sekolah. Dilansir dari majalah HAI No. 36/XXX/4-10 September 2006, tembok-tembok perkotaan Jakarta  pada dekade 1970-an hingga 1980-an, dipenuhi coretan-coretan graffiti yang dimaksudkan sebagai kebanggaan kelompok atau geng. Seperti: “Rasela” yang berarti Rajawali Selatan di kawasan Gunung Sahari. “T2R” di wilayah Tomang-Slipi-Grogol, atau “Lapendos (Laki-laki Penuh Dosa)”. Di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ada geng yang menuliskan “Legos”, lalu ada “Cokrem” (Cowok Krempeng). Di sekitaran Pangudi Luhur serta geng anak-anak mobil yang menamakan dirinya “Mondroid”.

Sayang, lantaran dibuat di sembarang tempat dan cenderung asal-asalan, tidak semua orang menggangap graffiti sebagai gejala kreatif. Graffiti mulai dianggap sebagai tindakan vandalisme. Musikus Ian Antono secara tegas menyampaikan kerisauannya terhadap graffiti dalam lagu berjudul “Tangan Setan” yang dinyanyikan Nicky Astria. Simak saja penggalan liriknya:

“Di pagar atau di jalan raya. Di mana-mana akan ku temui kata-kata tanpa arti. Ayo pelihara kotamu. Hentikanlah tangan setanmu.”

Untuk meredam graffiti pemerintah Orde Baru bahkan sampai merasa perlu membuat tembok corat-coret yang diperuntukan bagi para pembuat graffiti liar.

Graffiti naik pamornya pada masa 1990 awal ketika Y.B. Mangunwidjaja menjadikannya sebagai penghias perkampungan kumuh di pinggiran Kali Code, Jogjakarta. Bilik atau papan rumah-rumah yang tadinya kumuh berubah menjadi lebih segar dipandang mata.

Ketika terjadi huru-hara Mei 1998, graffiti dimanfaatkan sebagai penanda identitas kelompok. Di Jakarta beredar graffiti bertuliskan: “Milik pribumi”, “Muslim 100 %”, dan “Non Tionghoa”. Saat musim kampanye tahun 1999 graffiti bermuatan politis seperti jargon-jargon dan simbol partai politik ramai bermunculan di tembok-tembok jalan perkotaan. Saking ramainya pemerintah sampai membuat kontrol lewat Undang-Undang No 10/2008 dan Peraturan KPU Nomor 19 tahun 2008.

Seiring waktu kepopularan graffiti turut dimanfaatkan oleh dunia industri. Perusahaan rokok Sampoerna misalnya, pernah membuat graffiti di Museum Sampoerna Square Jalan Jenderal Sudirman Jakarta. Pemerintah tidak mau ketinggalan. Graffiti yang mulanya dianggap sarana provokasi terhadap pemerintah, belakangan malah dimanfaatkan pemerintah untuk menghimbau warga mendukung program kebijakan mereka.

Hingga kini graffiti bukan lagi sekadar sarana resistensi.

 
Berita Terpopuler