Panen Zaitun, Kesempatan Langka Melupakan Perang Petani Palestina

Lazar Simeonov/Al Jazeera
Petani Palestina memanen buah zaitun di ladang mereka.
Rep: Lida Puspaningtyas Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, TURMUSAYA -- Panen buah zaitun adalah saat-saat yang menyenangkan bagi warga Palestina di Tepi Barat. Najla Nassan dan enam saudaranya menganggap masa panen adalah kesempatan langka untuk bisa bercengkrama.

Mereka bisa mengobrol, bergurau dan tertawa seakan tak ada konflik apa pun sambil menyisir buah zaitun untuk kemudian disimpan dalam plastik di tanah. Sore harinya, mereka membawa buah tersebut ke tempat pemerasan zaitun.

"Ini bukan musim yang buruk, bukan yang terbaik, tapi tidak buruk juga," kata Nassan.

Ia menjelaskan pohon-pohon di ladang telah menghasilkan banyak zaitun. Meski musim panas tak biasa yang terjadi tahun ini telah membuatnya lebih berair.

Nassan bercerita, biasanya ia dan saudara-saudaranya bekerja sejak pukul delapan pagi selama tiga hari. Namun. kondisi yang sering hujan membuat mereka tak bisa menyelesaikan pekerjaan.

"Kami butuh minimum dua pekan untuk menyelesaikannya," kata dia sambil menunjuk awan gelap pertanda akan hujan.

Ladang zaitun milik keluarganya itu berada di distrik Ramallah, antara desa Palestina al Mughayir dan Turmusaya yang merupakan area ilegal Israel Adei Ad. Area tersebut didirikan pada 1998. Militer Israel melarang warga Palestina masuk area di sekitarnya.

Baca: Polisi Tangkap 10 Orang dalam Protes Anti-Islam Australia

Para petani hanya boleh mengakses ladang zaitun mereka atas izin dari Administrasi Sipil Israel. Mereka mengendalikan 60 persen wilayah Tepi Barat yang disebut Area C. Di bawah hukum internasional, 'kepengurusan' tersebut ilegal.

"Tahun ini kami hanya peroleh izin selama tiga hari dari Administrasi Sipil Israel selama panen dan satu hari saat musim semi untuk menggarap tanah," kata Nassan, dikutip Al Jazeera.
 
Masa panen dimulai pertengahan Oktober dan akan berlanjut selama beberapa pekan. Hampir setengah dari tanah pertanian di wilayah okupasi ditanami pohon zaitun. Industri minyak zaitun telah menjadi pendukung kehidupan 80 ribu keluarga Palestina.

Setiap tahun, ratusan sukarelawan internasional, Palestina dan Israel akan membantu melindungi petani dari kekerasan pada pemukim radikal. Sejak dimulainya musim petik zaitun, aktivis perdamaian Israel dari Rabbi Arik Asherman telah diserang dan dipukuli oleh pria tak dikenal di desa Awarta dekat Nablus.

Seorang pria Inggris dan dua warga Palestina terluka ketika memetik zaitun dekat Burin.

Baca: Siang Bolong, ISIS Rebut Beberapa Bagian Kota Seiniyah

Pohon zaitun adalah simbol kebudayaan dan kegigihan Palestina. Ladang zaitun sering menjadi sasaran pembakaran, ditebang bahkan diracuni. Menurut PBB, petani Palestina telah kehilangan 12,3 juta dolar AS pendapatan mereka setiap tahunnya karena pengrusakan tersebut.

Badan independen Israel yang membela HAM penduduk Palestina mendokumentasikan 50 insiden sejak 2005-2015. Lebih dari setengahnya terjadi di desa Turmusaya dan al Mughayir.

"Ini bukan cuma soal uang, tapi ini tentang arti pohon ini. Jika sebuah pohon tumbuh selama 20 tahun atau lebih, tiba-tiba ditumbangkan, ini tidak bisa diganti," kata Rabah Ali Hazama dari Turmusaya.

Tahun lalu, pemukim radikal memotong sekitar 300 pohon zaitun milik keluarga Palestina. Ini adalah kejadian ketiga.

Wilayah Adei Ad sebagiannya adalah 16 hektare milik keluarga pribadi. Tambahan 18 hektare hanya bisa diakses dalam beberapa hari per tahunnya.

Dewan desa lokal dan Yesh Din telah meminta penghapusan wilayah Adei Ad yang disebut-sebut sebagai tempat panas untuk aktivitas kriminal. Lagi pula itu dibangun di tanah Palestina.

Baca: Demo Anti-Islam di Australia Selalu Diiringi Demo Tandingan

 
Berita Terpopuler