Dodol Jawawut dan Kopi Enrekang, Kudapan Tamu di Kaluppini

Republika/Pryantono Oemar
Bandang, bandang lojo, dan baje ba’tan, berbagai kudapan khas Kaluppini yang disajikan dengan kopi Enrekang.
Rep: Priyantono Oemar Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, Menyusuri jalan berliku menanjak ke ketinggian 800 mpdl, membuat perut saya mual dan jantung berdebar. Di sisi kiri adalah jurang sepanjang perjalanan.

Fadlun Saus yang duduk di belakang saya beberapa kali menjerit untuk mengusir rasa takutnya, setiap ada gerakan mobil yang tak terkontrol. Tea Marlini Chandra yang duduk di samping Fadlun (dua teman perjalanan saya dari Jakarta), dan Armansyah Dore (teman perjalanan dari Makassar) yang duduk sendirian di bangku belakang lebih banyak diam. Sesekali mereka bertiga menyibukkan diri dengan cemilan yang dibawa dari Makassar. Saya selalu menolak tawaran dengan alasan perut sedang diaduk-aduk.

Di mobil lain ada teman perjalanan dari Enrekang yang dipimpin Ketua AMAN Massenrempulu, Paundanan Embong Bulan. Pengemudi yang mengantar kami, Harris, terlihat pucat. Berhenti sejenak, ia menyalakan rokok untuk menenangkan diri. ‘’Maaf saya merokok ya, tangan saya keringatan. Ini pertama kali bagi saya ke sini,’’ ujar Harris tak bisa menutupi rasa groginya.

Sekitar dua kilometer sebelum sampai Desa Kaluppini, kami harus turun dari mobil, berganti dengan sepeda motor. Menyusuri jalan rusak menanjak dan berliku dengan sepeda motor. Hmmmm. Di sisi kiri tetap ada jurang.

Kaluppini berjarak sekitar sembilan kilometer dari Enrekang. Tiba di desa, dengan masih menahan debar jantung kami disambut dengan tari pajaga menuju balai pertemuan. Perkenalan sebentar, kami dipersilakan istirahat.  


Di rumah Abdul Halim, salah satu pemangku adat yang menduduki posisi imam, ia disuguhi kudapan. Ada bandang, bandang lojo, dan baje ba’tan. Bandang adalah kudapan berhahan singkong parut yang dicampur gula aren kemudian dibungkus daun pisang sebelum dikukus. Di Jawa dikenal dengan nama lemet atau utri. Di Jambi dikenal dengan sebutan lapek ubi. Di Jawa Barat dikenal dengan nama ketimus. Sedangkan bandang lojo adalah bandang telanjang yang ditaburi parutan kelapa.

Saya memilih baje ba’tan dan kopi arabika tipika. Baje ba’tan (dodol yang terbuat dari jawawut) memberikan rasa nyaman setelah saya menelannya. Ada rasa manis gula merah di dalamnya. Cuma sayang, kopinya dibuat terlalu encer. Saya mendapat rasa kopi arabika tipika di rumah dinas Bupati Enrekang, Muslimin Bando, Rabu (11/11) pagi. Aroma kopinya bercampur dengan aroma jahe. ‘’Sewaktu di Amerika, Jokowi disuguhi kopi arabika tipika dari Enrekang,’’ ujar Bupati.

Yang dimaksud Bupati adalah jamuan makan saat Jokowi bertemu dengan para pengusaha yang tergabung dalam Kadin Amerika. Sajian kopi itu bermula dari pesan Jokowi kepada Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat agar jamuan itu menampilkan cita rasa Indonesia, meski Indonesia bukan sebagai tuan rumah.

Kopi arabika tipika Enrekang dikenal sebagai kopi single origin, yang semula ditanam di Kalosi. Dari Kalosi, dibawa ke Toraja, sehingga dikenal pula kopi Toraja Kalosi.

Kembali lagi ke baje ba’tan. Ini kali pertama saya mencicipi dodol jawawut ini. Pun bagi Tea (panggilan akrab Tea Marlini Chanda) dan Fa (panggilan akrab Fadlun Saus). Tapi rasa baje ba’tannya, bagi Tea terlalu manis. ‘’Rasa gula arennya terlalu dominan, sedangkan santan kelapanya tak terasa,’’ ujar dia.

Abdul Halim menyebutkan proses masak baje ba’tan. ‘’Santan kepala dimasak bersama dengan gula merah, sampai gula merahnya menyatu dengan santan, kemudian dimasukkan ba’tan, diaduk hingga mengental,’’ ujar Halim.

Biasanya, baje ba’tan dibungkus dengan kulit jagung. ‘’Tapi kini banyak dijual kertas, jadi baje ba’tan sekarang dibungkus dengan kertas,’’ lanjut dia.

Selain dijadikan baje, ba’tan biasa dimasak peong untuk pesta setelah upacara adat. Ada 13 ritual adat setiap tahun di Kaluppini. ‘’Sehabis upacara adat selalu ada makan bersamanya,’’ jelas Halim.

Di Kaluppini, makan bersama dikenal dengan istilah mettoto. Salah satu makanan yang tersaji adalah peong, nasi yang dimasak di batang bambu. Di Minahasa dikenal dengan istilah nasi jaha, di Minang dikenal dengan nasi lemang. ‘’Peong dimasak tanpa memakai garam, tanpa memakai santan,’’ ujar Halim.

Masak peong tanpa bumbu, menurut Halim, sebagai simbol dari kesederhanaan, kesabaran, dan kesucian. Orang-orang yang suci, kata Halim, selalu terlihat sabar dan sederhana.

Ba’tan, kata Kepala Desa Kaluppini Suhardin, di masa lalu menjadi makanan pokok masyarakat Kaluppini. ‘’Tapi sekarang sudah jarang yang menanamnya, karena susah dan sedikit hasilnya,’’ ujar Suhardin.

Kendati begitu, jawawut tetap ada di Kaluppini, karena selalu ada yang menanamnya untuk kepentingan upacara adat. Masyakarat kaluppini makan bersama dengan jawawut yang bergizi. Menurut data Kemenkes, per 100 gram jawawut mengandung: energi 334 kkal, protein 9,7 gram, lemak 3,5 gram, karbohidrat 73,4 gram, kalsium 28 miligram, fosfor 311 miligram, zat besi lima miligram.

Makan bersama tak hanya di ucapara adat. Di musyawarah mingguan Forum Adat yang selalu digelar di masjid sebelum shalat Jumat, jika tak ada persoalan berat, kata Halim, ya cuma diisi dengan pembicaraan ringan sambil makan makanan ringan. Baje ba’tan adalah salah satunya.

 
Berita Terpopuler