Sekolah Alam di Tumpukan Sampah Bantargebang

Republika/ Tahta Aidilla
Pemulung memilah sampah yang akan diambil di TPST Bantar Gebang,Bekasi, Jawa Barat, Kamis (5/11).
Red: Didi Purwadi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mendengar nama Bantargebang, hal yang langsung terlintas adalah sebuah tempat pembuangan akhir sampah, namun di lokasi beraroma tidak sedap itu terdapat secercah harapan bagi anak-anak pemulung di sana untuk dapat menuntut ilmu di Sekolah Alam yang bernama Tunas Mulia.

Kehidupan masyarakat di lokasi sekitar tempat pembuangan sampah Bantargebang jauh dari kata sehat. Jalan setapak untuk menuju ke permukiman warga adalah dari sisa-sisa sortiran sampah plastik, bekas kasur dan lain-lain yang membuat jalan tersebut seakan ingin longsor karena saking rapuhnya.

Aroma busuk khas sampah, juga air kehitaman yang dihasilkan dari tumpukan sampah menjadi pemandangan yang biasa saat melalui jalan beraspal menuju bukit sampah. Belum lagi dengan cuaca panas yang kian membuat sumpek suasana di Bantargebang, Bekasi.

Masyarakat di sekitar bukit sampah yang mayoritas bekerja sebagai pemulung ini memang kurang memperhatikan pendidikan anak-anaknya, karena menurut mereka lebih baik ikut bekerja membantu keluarga dibanding bersekolah. Hal ini yang membuat hati seorang guru mengaji, Nadam Dwi Subekti terketuk mendirikan Sekolah Alam Tunas Mulia.

Nadam mendirikan Sekolah Alam pada 13 Oktober 2006 dengan tujuan ingin membantu anak-anak khususnya anak pemulung untuk bersekolah tanpa biaya.

"Waktu itu kan banyak yang tidak sekolah, kemudian didiskusikan sama teman-teman dan istri saya yang seorang guru. Terus saya disuruh merancang sekolah, karena dilihat lingkungannya dibuatlah sekolah alam," ujar Nadam kepada Antara, Senin.

Nadam mengaku, terbentuknya sekolah alam ini dimulai dari mengajar mengaji anak-anak pemulung saja. Seiring berjalannya waktu, sekolah ini juga mengajarkan pelajaran-pelajaran umum seperti di sekolah pada biasanya.

Sekolah yang tidak dipungut biaya ini awalnya hanya memiliki 55 orang murid yang terdiri atas siswa sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP).

"Ada 55 orang, baru SD dan SMP. Awalnya masih saya dan istri yang mengajar. Kalau sekarang sudah ada PAUD, TK, SD, SMP, SMA dan ada yang kuliah," kata Nadam.

Sekolah Alam Tunas Mulia sekarang memiliki 150 siswa. Mulanya, murid hanya dari kalangan anak pemulung dan duafa saja, tetapi sekarang warga pun sudah boleh masuk. Sekolah ini memiliki tiga donatur tetap. Walaupun hanya dengan tiga donatur tetap, sekolah ini menggratiskan segala iuran gedung dan lainnya.

Sekolah ini juga berbeda dengan sekolah lainnya karena tiap siswanya tidak diharuskan memakai seragam seperti di sekolah biasanya.

Pelajaran yang difokuskan adalah matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris, tetapi selain itu pengajaran disana memiliki keunikan sendiri, yaitu siswa-siswi diajarkan cara menanam dan merawat tanaman serta merawat kelinci yang dipelihara di kandang.

Karena sekolah alam, ditawarkan pula program lainnya di luar mata pelajaran yang diajarkan, programnya antara lain keterampilan menjahit, membuat bunga dari sedotan.

Program lain yang dekat dengan kehidupan siswa sekolah alam yaitu pengelolaan limbah cair, pengelolaan sampah organik dan rencana ke depannya untuk sekolah ini hendak mengadakan program cara pembuatan biogas dari kotoran sapi.

Walaupun sistemnya menggunakan kelas, kurikulum yang dipakai adalah sistem kejar paket, yaitu kejar paket A setara SD dan kejar paket B setara SMP.

Sementara itu, siswa yang dimiliki Tunas Mulia cukup banyak, namun mereka semua diajarkan hanya oleh tujuh guru.

"Jumlah guru masih sedikit, sekitar tujuh guru untuk mengajar dari tingkat PAUD hingga SMP. Guru sekolah alam juga sebenarnya adalah guru-guru yang bekerja di sekolah lain, setelah mereka mengajar di sekolah masing-masing, barulah mereka bisa mengajar ke sekolah alam ini sebagai guru sukarelawan," kata seorang pengurus sekaligus pengajar Sekolah Alam, Lukman.

Lukman mengatakan kegiatan belajar mengajar tidak semuanya berurutan setiap hari, untuk PAUD hanya dilakukan Selasa, Jumat dan Sabtu. SD Senin, Rabu dan Sabtu, sedangkan SMP hanya Senin dan Sabtu pagi.

Selain itu, guru-guru selalu memberikan pemahaman untuk para siswa sekolah alam bahwa belajar itu penting.

"Sebenarnya tujuannya satu, sekolah ini kepingin tidak ada anak yang putus sekolah ke depannya, anak-anak juga berani punya mimpi, berani punya cita-cita, enggak cuma pasrah jadi pemulung aja, udah itu aja simpel," ujar Kepala Sekolah Tunas Mulia, Yanti.

Menurut Yanti, pendidikan adalah hal utama, apalagi untuk anak seusia 5-16 tahun, bagaimana pihaknya memberikan pemahaman kepada tiap lapisan masyarakat khususnya di Bantargebang untuk melek terhadap pendidikan, karena hanya pendidikan yang mampu mengubah kehidupan mereka.

Terciumnya bau tidak sedap di lingkungan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang tidak mengurangi rasa semangat anak-anak Sekolah Alam Tunas Mulia untuk menuntut ilmu. Senyuman terus terukir dari bibir mereka dan teriakan keceriaan saat tiba di lingkungan sekolah.

Lokasi sekolah yang tidak jauh dari gunung sampah ini sering kali mencium aroma tidak sedap. Namun, hal ini tidak menjadi masalah bagi mereka untuk tetap belajar dan bermain.

Siapa lagi kalau bukan mereka, para pemulung yang tinggal tidak jauh di bawah bukit sampah. Bau dan kotor sudah biasa bagi mereka. Berniat memperbaiki nasib, mereka hijrah dari kampung halamannya yang terkadang jauh di luar Jawa Barat.

Sanan, pria kelahiran Purworejo, Jawa Tengah hijrah bersama keluarga ke Bantargebang sejak 2009 untuk mengubah nasib ekonomi yang lebih baik, namun setelah sampai di sana yang Sanan rasakan bersama keluarga tidak jauh beda saat ia mencari rezeki di kampung halamannya.

Dia mempunyai dua orang anak perempuan, mereka berusia empat dan sepuluh tahun. Anak-anak Sanan merasakan ada pembedaan antara penduduk asli Bantargebang dengan penduduk pindahan yang kebanyakan sebagai pemulung.

Akibatnya, mereka pun jarang bermain dan bersosialisasi dengan anak-anak penduduk asli Bantargebang. Satu-satunya tempat mereka bermain yaitu di bawah tumpukan gunung sampah bersama anak-anak pemulung lainnya.

Sanan sendiri memutuskan untuk menyekolahkan anaknya di Tunas Mulia, karena selain tidak membutuhkan biaya, latar belakang siswanya sama yaitu dari keluarga pemulung.

Adalah Derin Kapuspita Sari, anak dari Sanan, salah satu siswi sekolah Tunas Mulia yang saat ini duduk di kelas 4 SD. Derin mengaku dirinya ingin bersekolah di sekolah formal, namun karena keterbatasan biaya akhirnya dia bersekolah di Tunas Mulia.

"Senang sekolah disini, tapi aku juga mau ada bangkunya kayak sekolah lain," ujar Derin.

Derin juga mengatakan seringkali dia harus bolos sekolah karena membantu orang tuanya memulung sampah. Masyarakat Bantargebang, Bekasi yang notabenenya adalah pemulung tidak mempunyai pilihan lain bahkan sampai kapan mempertahankan profesi ini.

Meskipun mata pencaharian orang tua siswa-siswi Sekolah Alam Tunas Mulia mayoritasnya adalah pemulung, itu semua tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap menuntut ilmu dan menjadikan pendidikan sebagai prioritasnya.

 
Berita Terpopuler