Industri Baja Nasional Diyakini Melemah, Ini Penyebabnya

Republika/Prayogi
Industri Baja
Rep: Rizky Jaramaya Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permintaan baja di pasar internasional mengalami kelesuan. Tak hanya itu, merosotnya harga minyak dunia dan sejumlah komoditas di tingkat global, berpengaruh terhadap kinerja baja nasional.

Direktur Eksekutif Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Hidajat Triseputro mengatakan, industri baja nasional saat ini menghadapi kendala dan tekanan yang membuat marjin keuntungan terus menurun. Selain merosotnya permintaan pasar baja di global, industri baja dalam negeri juga sedang menghadapi persoalan pelik.

Mulai dari pelemahan nilai tukar rupiah, beban kenaikan herga energi, dan upah buruh. "Industri baja nasional akan terkena imbas situasi global," ujar Hidajat dalam rilis yang diterima Republika, Ahad (8/2).

Hidajat menjelaskan, harga listrik dan gas alam di Indonesia merupakan yang paling mahal dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Di Tanah Air, harga gas alam dikenai harga sekitar 7 sampai 9,3 dolar AS per MMBTU. Sedangkan, harga gas di Malaysia hanya sekitar 4 dolar AS per MMBTU, dan harga gas internasional hanya mencapai 2,8 dolar AS per MMBTU.

Situasi yang tidak menguntungkan tersebut sudah berlangsung selama hampir tiga tahun. Rupiah terus mengalami pelemahan dan cenderung fluktuafit, sementara harga bahan baku dan energi dijual dalam nilai dolar AS.

"Padahal, komponen energi dan bahan baku sebesar 80 persen dari total biaya produksi," ujar Hidajat.

Menurut Hidajat, dengan kondisi seperti ini harga jual sudah tidak masuk akal karena sama dengan harga bahan baku. Pelaku industri baja meminta kepada pemerintah agar menyiapkan medan laga yang setara dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia dan Vietnam.

 
Berita Terpopuler