Batik, Secarik Kain Sarat Pesan

all-batik.blogspot.com
Batik Cap motif Parang Klithik Colet Putih (ilustrasi)
Red: Ajeng Ritzki Pitakasari

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Siwi Tri Puji

Motif batik Indonesia sarat makna dan filosofi. Dari secarik kain, mengalir cerita, harapan, dan juga doa.

"Parangklithik? Apa ya, nama senjata tajam, bukan?" seloroh Rina, siswa kelas IX se buah SMP swasta ternama di Jakarta Selatan. Ia baru mengangguk-angguk ketika salah seorang mentor di kelas membatik yang diikutinya, menunjuk baju yang dikenakannya, batik dengan ornamen lereng, motif parang klithik.

Tak hanya kaya warna dan rumit dalam proses pembuatannya, setiap motif batik juga memiliki makna filosofi yang unik dan menarik. Keistimewaan ini tak dimiliki oleh kain manapun dan industri tekstil di manapun. Motif batik diciptakan tidak berdasarkan pertimbangan nilai estetika saja, tetapi juga berdasarkan harapan-harapan yang dituangkan dalam bentuk banyak simbol.

"Dalam secarik kain, terdapat makna filosofi yang dalam, cerita, harapan, juga doa," kata penggiat batik Indra Tjahjani. Sebutlah misalnya motif Parang. Motif berbentuk mata parang ini melabangkan kekuasaan dan kekuatan.

Batik motif ini pada masa lalu hanya boleh dikenakan oleh penguasa dan ksatria. Batik jenis ini harus dibuat dengan ketenangan dan kesabaran yang tinggi. Kesalahan dalam proses pembatikan dipercaya akan meng - hilangkan kekuatan gaib batik tersebut.

Motif parang sendiri mengalami perkembangan dan memunculkan varian motif yang beragam, seperti Parang Kusuma, Parang Rusak, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah. Karena penciptanya pendiri Keraton Mataram, maka motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang.

Motif-motif parang dulunya hanya diperkenankan dipakai oleh raja dan keturunannya dan tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Sehingga jenis motif ini termasuk kelompok batik larangan. Namun seiring perkembangan zaman, motif ini bisa dikenakan oleh siapa pun.

Sempat mati suri, batik kini naik pamor lagi. Apalagi setelah badan dunia UNES CO menetapkannya sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia. Sentra-sentra batik yang semula sepi, kembali giat berproduksi.

Batik di tiap daerah, kata Indra yang merupakan pendiri komunitas Mbatik Yuuk, memiliki kekhasan. Batik Tuban--kerap disebut batik Gedog -- misalnya, dalam proses pembuatannya melalui jalan yang panjang. Ia dimulai dari memintal bahan kain yang akan dibatik, langsung dari kapas. Setelah menjadi benang, kemudian ditenun dan menjadi selembar kain untuk mulai dibatik.

Eksistensi batik gedog sempat mati suri, sempat menjadi langka dan hampir punah. Kondisi ini dikarenakan banyak perajin batik gedog yang enggan untuk memintal kain terlebih dahulu. Nama Gedog berasal dari bunyi 'dog-dog' yang berasal dari alat menenun batik.

Proses pembuatan batik gedog Tuban butuh waktu sekitar tiga bulan. Baru-baru ini, Museum Tekstil Indonesia menggelar pameran yang menampilkan batik dengan motif langka, nitik. Motif ini merupakan ragam hias ceplokan yang tersusun dari garis-garis halus, balok kecil, segi empat, serta titik-titik halus yang sepintas menyerupai tenunan.

Memang, batik nitik diilhami dari kain patola, tenun ikat ganda berbahan sutra asal India. Di Jawa pada masa lalu, kain ini disebut cinde, kain favorit keraton. Membuat batik dengan ragam hias nitik memerlukan keahlian khusus. Hanya pembatik yang sudah andal dan berpengalaman yang mampu mengerjakannya, dengan canting batik khusus.

Bicara soal canting,  di Yogyakarta, canting yang digunakan adalah canting dengan ujung caratnya dibelah empat, sedang di Surakarta bercarat dua. Di Pekalongan, batik nitik dikenal dengan nama batik jlamprang, dibuat dengan canting bermata empat buah carat kecil.

(onobatik.com)

Beda dengan di Yogyakarta dan Solo, batik Jlamprang redup pamornya. Tradisi pembuatan batik nitik di desa Krapyak, Pekalongan, sudah jarang ditemui. Saat ini hanya dibuat dengan cara cap oleh satu keluarga pembatik, karena keahlian membuat Jlamprang dengan teknik tulis sudah tak ada yang mewarisi lagi.

Jlamprang tulis dibuat terakhir tahun 2006 oleh Almarhum Aisyah, pembatik jlamprang Pekalongan yang terkenal.

"Saya keliling Pekalongan mencari batik tulis jlamprang, sangat sedikit yang mengenalnya," kata alumni Culture Heritage Universitas Canberra ini. Motif lama miskin apresiasi, meski soal motif nitik yang nyaris punah, penggiat batik Kendal, Shuniyya Ruhama Habiballah, tak sepakat.

Menurut dia pembatik jlamprang di Pekalongan masih ada, namun mereka jarang berproduksi. "Permintaannya memang tidak ada. Kalaupun berprorduksi, hanya sedikit yang diserap pasar," katanya.

Shuniyya menyayangkan booming batik saat ini tak diikuti dengan apresiasi yang tinggi terhadap motif-motif batik lama. "Memang menggembirakan batik kini menjadi tuan rumah lagi di negeri sendiri, tapi kita kehilangan ruh dari batik itu sendiri," katanya.

 

Kini, katanya mulai muncul batik- batik yang digarap secara serampangan. "Asal kain dicanting, lalu disebut batik," kata wanita asal Weleri ini. Batik, katanya, sarat filosofi. "Dalam satu kain terdapat cerita, nasihat, pitutur, fatwa, filosofi , doa, dan harapan," ujar wanita kelahiran tahun 1982 ini. "Kalau yang sekarang kita lihat, lebih mengedepankan asal kain dicanting disebut batik. Jadi terdapat kemunduran dari makna batik itu sendiri."

Ia mencontohkan batik Semarangan. "Zaman dulu, batik mereka luar biasa indah sekali. Namun ketika hari ini kita datang ke Semarang, lalu cari batik Semarangan, yang sebagus zaman dulu tak ada lagi, karena yang muncul batik kon- temporer motif lawang sewu, tugu muda. Bukan batik Semarangan," katanya. Meski menurut dia booming batik layak diapreasiasi.

"Mestinya menjadi per hatian siapa saja untuk membenahi dan nguri-uri (melestarikan). Jangan sam pai motif-motif lama hilang begitu saja," katanya. Bersaing dengan batik printing Di sisi lain, booming batik juga `di boncengi beberapa pihak yang ingin ikut ambil untung dengan membuat batik printing.

Banyak motif-motif lama yang dibuat versi printing, yaitu kain dengan bantuan mesin, bukan dibatik dengan canting, dibuat menjadi seolah-olah batik.  "Kita tahu bahwa printing itu bukan batik. Tapi kain yang diberi motif batik," katanya.

Shuniyya menyatakan tak ada yang salah dengan motif batik tulis yang dijadikan printing, asal disosialisasikan dengan baik bahwa kain batik printing bu kanlah batik. "Apalagi batik tulis harganya memang mahal bagi sebagian orang," katanya.

Pendapat yang sama ditekankan pemulia batik asal Surabaya, Noorlailie Soewarnno Tjahjadi. "Tak masalah asal disosialisasikan. Yang jadi masalah adalah jika printing dijual dan dibilang sebagai batik cap apalagi tulis," katanya.

Menurut dia demi mengenalkan batik pada generasi muda, batik printing tak masalah. Meski tetap harus disosialisasikan juga pada mereka bahwa batik itu bukan sekadar motif, melainnya keseluruhan, mulai dari motif hingga proses pembuatannya.

Lely, pangilan akrab wanita ini, mengapresiasi tingginya minat masyarakat untuk mencintai batik. "Dulu, mana ada anak muda mau memakai batik. Konotasi Batik adalah untuk orang tua atau pergi kondangan," kata dosen di Universitas Airlangga yang sehari-hari mengenakan kain panjang batik ini.

Batik baginya adalah karya adilihung bangsa. Ia mencotohkan wanita India yang bangga mengenakan sari sebagai busana mereka sehari-hari. "Sudah selayaknya kita menjaga warisan bangsa ini dan bangga mengenakannya," katanya.

 
Berita Terpopuler