Kamis 23 Nov 2017 10:11 WIB

Aliran Kepercayaan, PKI, dan Orde Baru

Rep: Amri Amrullah/ Red: Karta Raharja Ucu
Dewi Kanti Setianingsih menunjukkan KTP-nya yang kolom agamanya dikosongkan karena dia seorang penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan
Foto: Ilustrasi oleh Mardiah
Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam fakta angka.

Setelah itu kolom agama diatur dalam identitas. Kebijakan ini adalah kebijakan kembar, yakni ketika penganut kepercayaan bukan dianggap agama dan semua penganut kepercayaan dipaksa harus berafiliasi ke salah satu dari lima agama, yang saat itu diakui.

Saat itu aliran kepercayaan dipaksa masuk ke dalam agama. Aliran kepercayaan tidak lagi eksis sebagai bagian sendiri. Sehingga muncul aliran kepercayaan Kaharingan di Kalimantan yang harus dipaksa menjadi Hindu, dan disebut Hindu Kaharingan atau Islam budaya Jawa dengan Islam Kejawen, Tao ke Budha dan lainnya.

Munculnya TAP MPR 1978 tidak lain dilatarbelakangi desakan pemerintah kepada kelompok agama, khususnya Islam saat itu. Di mana Pancasila harus menjadi dasar ideologi satu-satunya, termasuk semua organisasi keagaman dan ormas Islam.

Bahkan dua ormas Islam terbesar saat itu, NU dan Muhammadiyah harus menerima Pancasila sebagai ideologi organisasi. Desakan negara ini pun menjadi alat tawar ke kelompok agama, menerima Pancasila dan negara akan memasukkan identitas agama dalam administrasi resmi negara. Tawaran ini pun diterima.

"Jadi itu catatan sejarah yang terjadi, dan itulah tawaran Orde Baru sebagai alat politik. Sebagai konsekuensinya setelah itu Kementerian Agama mengeluarkan edaran ke Kementerian Dalam Negeri untuk diturunkan ke pemerintah daerah di level atas hingga bawah, bahwa hanya lima agama yang diakui dan pengikutnya bisa dilayani pemerintah," kata dia memaparkan.

Dari sinilah identitas seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) memiliki perubahan. Di mana sebelumnya tanpa item agama, kemudian dicantumkan kolom agama di KTP. Itu untuk mengefektifkan TAP MPR dan sura edaran Departemen Agama tadi ke seluruh lapisan masyarakat.

Inilah yang membuat semua penghayat kepercayaan harus memilih lima agama yang diakui pemerintah, agar mereka mendapatkan pelayanan publik dari pemerintah. Ini bertahan hingga dipersoalkan setelah era Reformasi.

Setelah reformasi wacana Hak Asasi Manusia (HAM) menguat, di antaranya kelompok kepercayaan/penghayat ini menuntut haknya. Hingga pada 2006, setelah keluar UU Adminisrasi Kependudukan (Adminduk), dengan pasal menyebut aliran kepercayaan boleh mengosongkan kolom agama di KTP.

Puncaknya adalah ketika mereka mengajukan uji materi UU Adminduk agar mereka tak sekedar mengosongkan kolom agama, tapi diakui oleh negara. Dan uji materi ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 7 November lalu.

Baca: Ada Snouck Hurgronje di Pemisahan Agama dan Kepercayaan?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement