Jumat 13 Nov 2015 22:53 WIB

Bela Negara Masuk Sekolah, Pemerintah Dinilai Lebay

Rep: C13/ Red: Ilham
Unjuk rasa menolak program bela Negara (ilustrasi)
Foto: Antara/Jessica Helena Wuysang
Unjuk rasa menolak program bela Negara (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI) tak setuju ihwal pendidikan bela negara di sekolah-sekolah. Menurut Dewan Penasehat FSGI, Itje Chodijah, penerapan pendidikan bela negara di sekolah ini berlebihan.

“Ini agak berlebihan apalagi diterapkan ke seluruh tingkatan sekolah, termasuk TK,” ujar Itje saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (13/11).

Menurut dosen di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) ini, pendidikan bela negara tidak harus dengan menambahkan kurikulum baru. Hal ini hanya memperberat anggaran negara saja. Padahal, materi bela negara itu bisa diselipkan dalam mata pelajarn lain. Ia menyebutkan pendidikan bela negara sudah ada dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Pemerintah hanya perlu memperkuat saja perihal ini dalam pelajaran itu.

Pendidikan bela negara, kata Itje, juga bisa dimasukkan ke dalam pelajaran bahasa Indonesia. Konten kenegaraan sah-sah saja jika diselipkan ke mata pelajaran ini. Selain itu, Itje juga beranggapan sudah ada organisasi yang biasa menampung siswa maupun mahasiswa untuk mendapatkan pendidikan bela negara.

Pada hakikatnya, Itje menilai pendidikan bela negara tidak harus dengan materi ketentaraan dan wawasan kebangsaan pada umumnya. Program pemberantasan kebodohan dan kemiskinan juga bagian dari bela negara. Karena itu, hal inilah yang seharusnya dilakukan pemerintah.

Secara umum, Itje juga masih mempertanyakan konsep dan aplikasi seperti apa yang akan dilakukan dalam penerapan pendidikan bela negara tersebut. Karena itu, ia tetap berpendapat agar alokasi pendidikan bela negara tidak ditempatkan tersendiri. “Itu bisa diselipkan di pelajaran lain dan sudah ada mata pelajaran PKN juga,” ungkap Itje.

Saat ini, Kementerian Pertahanan (Kemhan) sedang merampungkan kurikulum program bela negara. Tahapan pembuatan kurikulum sudah mencapai 90 persen. Akhir Desember 2015 diharapkan sudah selesai 100 persen sehingga Januari 2016 sudah mulai berjalan di sekolah-sekolah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement