Kamis 19 Apr 2012 15:50 WIB

UU BPJS: Manfaat dan Tantangannya terhadap Rumah Sakit

Rumah Sakit (Ilustrasi)
Foto: mtanz.org.nz
Rumah Sakit (Ilustrasi)

Seminar dan workshop tentang “Undang-Undang BPJS Manfaat & Tantangannya Terhadap Rumah Sakit”, pada 11 April 2012 berlangsung dalam dua sesi panel diskusi di Bidakara. Peserta yang hadir berjumlah 110 orang. Mereka berasal dari 14 propinsi, dengan kedudukan peserta yakni para pemilik Rumah Sakit Pemerintah, swasta atau direktur yang mewakilinya maupun manajemen. Selain itu, ada juga dari pemerhati kesehatan dan perumahsakitan, maupun peserta lainnya yang memang ingin mengetahui tema tersebut.

Tema yang diusung ini sangat penting bagi berlangsungnya kehidupan Rumah Sakit (RS), maupun tujuan pencapaian pembangunan kesehatan di Indonesia. Seperti kita ketahui, Rumah Sakit merupakan unsur paling utama pada sistem pembangunan kesehatan yang mempunyai peran sangat penting, sekaligus sebagai peran kunci dari pembangunan kesehatan itu sendiri.

Belum lama ini, Pemerintah menggulirkan rencana untuk pencapaian Universal Coverage Assurance yang artinya asuransi kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia. Langkahnya dengan membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau lebih dikenal dengan BPJS, yang akan mulai dilaksanakan pada 1 Januari 2014.

Pencapaian Universal Coverage Assurance ini merupakan cita-cita yang sangat besar dan mulia. Hal ini tentunya membutuhkan persiapan luar biasa, dikarenakan banyak sekali komponen dalam infrastruktur bidang kesehatan yang akan terlibat secara langsung bersama-sama masyarakat dan regulator. Lebih lagi, masih banyak persoalan serta isu di bidang kesehatan yang selama bertahun-tahun ini masih menggantung, belum terselesaikan.

Masalah-masalah bidang kesehatan, seperti:

1. Dana APBN untuk kesehatan semakin kecil persentasenya, yaitu 3% sementara UU mengamanahkan 5%;

2. Baru 50% penduduk Indonesia yang telah terjamin asuransi kesehatan, itu pun 75%-nya merupakan jaminan dari pemerintah untuk masyarakat miskin;

3. Isu masalah besar lainnya yaitu edukasi dan sustainabilitas dari pembiayaan kesehatan di Indonesia, khususnya pembiayaan pemerintah. Diskusi tentang “Apakah anggaran saat ini cukup? Atau kurang?" menjadi perdebatan yang hangat. Sementara, faktanya adanya sisa anggaran yang tidak terserap di Kementerian Kesehatan RI;

4. Isu menarik lain yaitu ekuitas pelayanan kesehatan antara daerah miskin dan kaya, pedesaan dan perkotaan. Disinyalir, bahwa kebijakan Jamkesmas/Jamkesda atau Jampersal hanya akan menguntungkan masyarakat perkotaan di daerah yang relatif kaya, seperti Jawa dan Sumatera. Hal ini mengingat ketersediaan pelayanan kesehatan di daerah tersebut relatif lebih merata ketimbang daerah lainnya;

5. Minimnya unit cost yang ditetapkan untuk program Jamkesmas/Jamkesda /Jampersal, membuat banyak Rumah Sakit mempunyai tunggakan yang tak terbayar;

6. Banyak ahli kesehatan masyarakat memandang, sekarang ini pemerintah lebih cenderung pada kegiatan kuratif daripada preventif atau promotif;

7. Insentif pajak hanya untuk RS Pendidikan dan RS Publik, sementara hampir 70% pasien yang berobat ke RS memilih berobat ke Rumah Sakit swasta;

8. Di masa lalu, RS nirlaba mendapat bantuan dari pemerintah maupun dari donasi. Namun, saat ini sudah tidak tersedia lagi bantuan subsidi dari pemerintah. Sementara, donasi pun semakin lama semakin jarang. Selain itu, tidak ada dorongan untuk memberi donasi kepada RS. Sumbangan bagi RS tidak dapat diperhitungkan sebagai salah satu komponen pengurangan pajak bagi donatur. Tidak mengherankan bila RS nirlaba terpaksa bergantung kepada penerimaan dari pasien, sebagai sumber penghasilan untuk menutup biaya operasional. Sehingga, banyak yang berpandangan bahwa RS nirlaba pun bertindak komersial;

9. Pajak alat medis ditetapkan sebagai pajak barang mewah;

10. Tarif listrik dan telepon bagi RS swasta, dikategorikan sebagai tarif bisnis;

11. Pasal 23 Ayat (1) UU SJSN, menentukan bahwa manfaat jaminan kesehatan diberikan pada fasilitas kesehatan milik pemerintah atau swasta yang menjalin kerjasama dengan BPJS. Hanya dalam keadaan darurat. Pelayanan kesehatan dimaksud dapat diberikan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerjasama dengan BPJS. Sehingga, dapat disimpulkan basis kerjasama yakni kontrak. Artinya, kedudukan RS yaitu mitra bagi penyelenggara jaminan sosial ini. Namun, seringkali banyak pemerintah daerah yang kurang memahami, sehingga pelaksanaan di lapangan timbul kecenderungan ketidaksetaraan;

12. Seringkali dalam pembuatan kebijakan bidang kesehatan, RS swasta tidak dilibatkan. Padahal, diakui maupun tidak, sektor swasta merupakan salah satu motor penggerak perekonomian di negara ini.

13. Dan masih banyak lagi masalah lainnya.

Diharapkan dari acara seminar dan workshop ini, kita bersama-sama dapat mempunyai pandangan atau visi yang sama untuk memberikan masukan dan saran kepada pemerintah tentang pelaksanaan BPJS. Sehingga, seluruh kebutuhan stakeholder dapat terayomi dengan baik.

Ketua Panitia,

Dr. Karlina, MARS

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement