Rabu 06 Jan 2016 07:00 WIB

Nonton Bola di Ikada tanpa Rusuh

Lapangan IKADA diabadikan dari udara.
Foto: IST
Lapangan IKADA diabadikan dari udara.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Stadion Ikatan Atletik Djakarta (Ikada) yang kini menjadi Lapangan Monas diabadikan dari udara pada 1951 saat pembukaan Pekan Olahraga Nasional (PON) kedua. Sebelum dibangun Senayan pada awal 1960-an guna menghadapi Asian Games keempat, lapangan ini adalah pusat kegiatan olahraga.

Di sekitar Lapangan Ikada yang dibangun pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) merupakan lapangan terbesar di dunia. Sebelum digusur untuk membangun Monas, di tempat ini terdapat beberapa lapangan sepak bola, termasuk lapangan hoki dan lapangan pacuan kuda.

Pada 1950-an, Ikada tiap Sabtu dan Ahad menggelar kompetisi Persija yang diikuti belasan peserta, seperti Hercules, Maesa, UMS, Setia, VIOS, Chunghua, Maluku, dan Bintang Timur. Sebelum kemerdekaan, kompetisi di lapangan yang terletak di belakang Stasiun Kereta Api Gambir itu diselenggarakan oleh BVO (Batavia Football Organization). Kemudian, baru digantikan oleh Persija setelah kemerdekaan.

Menonton sepak bola, baik kompetisi Persija maupun PSSI, pada 1950-an sungguh nikmat. Hampir tidak ada kerusuhan-kerusuhan seperti terjadi sekarang ini.

Kita menjadi prihatin melihat perilaku suporter sepak bola saat ini. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, sedikitnya tiga suporter mengalami luka parah. Satu orang di antaranya meninggal dunia. Ketiganya memakai kaus Jakmania atau pendukung kesebelasan Persija saat terjadi pengeroyokan di depan TVRI Senayan.

Para orang tua prihatin terhadap peristiwa yang menelan korban jiwa para remaja belasan tahun. Tiap pertandingan sepak bola, aparat kepolisian harus bekerja ekstrakeras mencegah tawuran suporter.

Mereka menaiki Metro Mini di atas kap sambil berteriak-teriak membawa berbagai senjata tajam. Misalnya, gir motor yang bila dipukul bisa mengakibatkan yang terkena luka parah. Belum lagi samurai, celurit, parang, dan gesper untuk memukul saat tawuran polisi mengamankan mereka.

Nonton bola pada 1950-an tidak pernah terjadi tawuran antarpemuda. Meski saling ejek, tidak terjadi perkelahian, apalagi tawuran. Tidak ada yang membawa senjata tajam.

Seperti juga sekarang, kala itu banyak anak masuk stadion tanpa membayar. Caranya, ikut para bapak sambil menggandeng tangannya atau kadang-kadang membolos dan menyogok penjaga pintu.

Lapangan Ikada digunakan sebagai tempat latihan dan pertandingan-pertandingan PSSI. Bukan hanya kompetisi lokal berupa pertandingan antarklub dan daerah, melainkan juga mendatangkan berbagai kesebelasan luar negeri.

Presiden keenam Indonesia, SBY, pernah mencanangkan beberapa tahun mendatang PSSI harus menjadi macan di Asia. Setengah abad lalu, apa yang dicanangkan itu telah terwujud. PSSI merupakan salah satu macan Asia, lebih tangguh dari Cina, Jepang, dan Thailand.

Nama-nama pemain PSSI, seperti Rambang, Djamiat, Tanoto (Tan Liong Houw), Kiat Sek, Chris Ong, Van der Vin, Mauldi Saelan, Witarsa, dan Omo hingga sekarang masih dikenang. Seperti dituturkan bekas kiper nasional, Saelan, para pemain datamg ke Stadion Ikada naik sepeda, becak, dan paling tinggi naik motor. Lalu, berapa uang sakunya? Menurut Saelan, uang saku PSSI hanya 50 perak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement