Ahad 30 Aug 2020 00:00 WIB

Curahan Hati Slank Tentang Hutan di Konser Virtual Econusa

Sejak dibentuk 1983, Slank merasa jadi saksi hidup alam yang banyak berubah.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
Sejak dibentuk 1983, Slank merasa jadi saksi hidup alam yang banyak berubah (Foto: grup musik Slank)
Foto: Dok Gojek Indonesia
Sejak dibentuk 1983, Slank merasa jadi saksi hidup alam yang banyak berubah (Foto: grup musik Slank)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dengan lugas tanpa tedeng aling-aling, Slank menuding semua orang harus bertanggung jawab penuh atas kelestarian alam serta hutan di Indonesia. Band yang dibentuk pada 1983 itu menjadi saksi hidup bahwa alam sudah banyak berubah.

Semua itu tentu akibat ulah tangan manusia. Pada konser virtual "Hutan Merdeka #BeradatJagaHutan", Sabtu (29/8), Slank mencurahkan semua uneg-uneg mereka. Pertunjukan musik besutan Yayasan Econusa itu tayang di kanal Youtube Econusa TV.

Baca Juga

Slank tampil tanpa gitaris Abdee Negara. Kecuali Kaka (vokal), para personel lain yakni Bimbim (drum), Ridho (gitar), dan Ivanka (bas) mengenakan masker selama bermain musik. Lagu pertama mereka, "Hutan Karma" dari album Palalopeyank.

Suara serak Kaka menyanyikan gamblang lirik penuh sarkasme. Penggalannya berbunyi, "Bakarlah hutan-hutan sampai hangus menghitam. Tebanglah pohon-pohon sampai botak dan gersang". Pada akhir lagu, barulah lagu menyuarakan berbagai karma.

Musnahnya rimba belantara bisa membuat kehidupan tak bersisa. Imbasnya tidak mustahil merobohkan peradaban, akibat banjir bandang, longsor, asap akibat kebakaran hutan, serta para satwa yang tak lagi punya hutan sebagai rumahnya.

"Hutan adalah rumah, rumah bagi semua, bagi manusia, rumah buat hewan, rumah untuk serangga, rumah untuk semua yang hidup. Hutan adalah nyawa bagi Slank, dan kita masih belum mau kehilangan nyawa. Let's take care of our forest," ujar Kaka.

Tembang kedua yang mereka lantunkan, "Gak Perawan Lagi", memuat pesan serupa. Slank sedih karena alam tak lagi perawan, laut tidak lagi biru, sungai tidak lagi jernih, dan gunung tidak lagi hijau. Ingin berenang di tepi pantai saja banyak sampah dan kotoran.

Padahal, dahulu Slank kerap nongkrong bikin lagu di pinggir laut, menikmati buih ombak dan pemandangan asri. Kaka membandingkan apa yang dilihat Slank di awal 1990-an dengan sekarang, sangat berbeda secara signifikan.

Misalnya, udara di Puncak, Bogor, yang kini tidak sebersih dulu, hawa yang tak sedingin dulu, akibat padat oleh vila yang dibangun orang-orang kaya. Begitu pula gunung dan hutan yang kini rusak sehingga terjadi bencana alam.

"Saya bicara begini tidak ingin menangisi, tapi ingin menantang lo semua, apa yang bisa dilakukan untuk pelestarian laut, sungai, gunung, hutan, sebelum semuanya benar-benar hilang," tutur Kaka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement