Ahad 21 Apr 2019 17:21 WIB

Benarkah Kartini Dipingit?

Mengapa Kartini bisa mengunjungi rumah Asisten Residen Jepara di seberang alun-alun.

Museum Kartini di Alun-alun Kota Jepara, Jawa Tengah.
Foto:
Pantai Kartini

Kartini pernah berkunjung ke Bogor? Iya. Kendati mengalami pingitan selama empat tahun, tetapi setelah itu, Kartini tak hanya berada di rumah belakang saja.

Ke mana saja kaki Kartini menjejak?

Setelah dipingit sejak 1892, Kartini mulai diperbolehkan keluar rumah sejak 1895. Tetapi pada 1894 misalnya, ia masih bisa mengunjungi rumah Asisten Residen Jepara di seberang alun-alun dengan naik kereta kuda. Ayahnya mengizinkannya setelah mendapat bujukan dari Nyonya Ovienk Soer, istri Asisten Residen Japara. Di sana ia belajar melukis pada Ny Ovienk Soer. 

Kepada Ovienk Soer, Kartini pernah menulis surat di awal 1900 mengenai tekadnya mengguncang "bangunan raksasa" feodalisme Jawa: Kami akan guncangkan dia, Bunda, dengan seluruh kekuatan kami, sekalipun hanya sebuah batu saja yang runtuh dan dengan demikian kami tak bakal menganggap hidup kami sia-sia.

Setelah bebas, ia bisa mengunjungi tempat yang jauh tetapi masih di Jepara, yaitu sentra ukir di belakang gunung, yaitu kampung di belakang benteng Portugis di atas bukit. Kartini menggambarkan warga pembuat ukir tinggal di gubuk bambu beratap daun nipah. Untuk tiba di sana harus pula naik sampan menyeberangi sungai.

Ia juga mengunjungi makam Sultan Mantingan, sekitar 4 km dari pendopo. Kartini memberi gambaran bisa ditempuh setengah jam dari pendopo. Di makam ini ia melihat ukiran wayang yang kemudian dia kembangkan di Jepara.

Seorang Cina yang ikut Sultan Mantingan juga dimakamkan di sini. Pohon pace tumbuh di dekat makamnya. "Perempuan mandul yang ingin mendapat anak, sering kali berziarah di sana, membawa bunga dan persembahan dupa bagi Sultan. Kalau ada buah pace jatuh di makam orang cina itu, si perempuan harus memungutnya untuk dibuat rujak dan dimakan. Keinginannya pun akan terpenuhi," tulis Kartini.

1895

Kartini berusia 16 tahun. Residen Jepara Sijthoff membawa Kartini keluar dari rumah belakang. "Sebelum itu kami tidak pernah tampil dalam pertemuan, bahkan tidak menginjak pendopo,’"tulis Kartini 3 Januari 1901.

Sejak ia dikurung setelah keluar dari sekolah di usia 12,5 tahun, Kartini tinggal di bagian belakang. Orang yang hendak menemuinya harus pergi ke ruang dalam atau serambi belakang. Paling jauh, ia hanya bisa berada di paringgitan, ruang di belakang pendopo, yang biasa dipakai untuk pertunjukan wayang.

Keberadaannya di paringgitan ia gambarkan dalam surat tertanggal 28 Februari 1902. "Malam ini malam Sabtu, malam gamelan. Lagu-lagu kesayangan kami dimainkan! Kerak es yang membekukan hati kami telah cair. Hati dingin telah menjadi hangat dicium matahari! Membuat perasaan kami hidup kembali! Bersama suara merdu yang damai terembus angin malam sepoi-sepoi dari pendopo, melayang pula jiwa kami ke atas, membubungkan angan-angan kami ke langit biru!"

Dinding yang membatasi ruang pendopo dengan paringgitan berupa ukiran kayu yang tembus. Sehingga dari pendopo bisa mengintip ke paringgitan, dari paringgitan bisa mengintip ke pendopo.

"Bermimpilah terus, bermimpilah terus, bermimpilah selama kami dapat bermimpi. Apa artinya hidup bila tanpa mimpi? Keadaan sesungguhnya yang sangat kejam."

1896

Tahun ini Kartini pergi ke Kedung Penjalin (sekitar 11,5 km dari pendopo). Menyaksikan peresmian gereja baru. "Datang di gereja Kristen dan menyaksikan semua kebaktian, merupakan hal yang pertama kalinya bagi kami...."

"Dan saat yang pasti tidak kurang sedikit pun khidmatnya dari seluruh upacara, adalah ketika seorang jawa tua bangka berdiri dan berpidato kepada teman-temannya seagama dan setanah air.’’

Pagi itu merupakan pagi pertama ia keluar rumah setelah ia keluar dari sekolah empat tahun sebelumnya. "Tuan tentu sudah maklum, bahwa pada adat kami ada kebiasaan mengurung anak-anak perempuan muda, yaitu memisahkannya dari dunia luar secara ketat dan sedemikian lama sampai datang seorang suami, sampai seorang suami menuntutnya. Sangkar kecilnya dibuka, burung kecil yang dikurung itu terbang ke luar…. Untuk ganti sangkar dan ganti tuan."

1899

Di tahun Kartini berusia 20 tahun, Pelabuhan Jepara dihampiri kapal perang Sumatra yang datang dari Batavia. Kartini dan dua adiknya mendapat kesempatan naik ke kapal bersama tiga putri patih. Kelasi kapal yang datang dengan perahu kecil menjemput calon pengunjung kapal, kaget melihat yang dijemput adalah perempuan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement