Ahad 27 Jan 2019 20:28 WIB
Lipsus Jenderal Soedirman

Jenderal Soedirman, di Antara Dua Orang Kiri

Soedirman pernah terseret konflik elite-elite politik nasional

Jenderal Soedirman
Foto:
Jenderal Soedirman (kiri) dipeluk oleh Presiden Soekarno semasa kepulangannya di Yogyakarta.

Pemerintahan Syahrir kemudian memutuskan untuk menangkap Tan Malaka. Sikap Tan Malaka yang cenderung tak kompromistis dan keras ini membuat Soedirman, seperti ditulis dalam laporan Tempo agak menjauh sampai akhirnya renggang. Namun, kelompok tentara yang sudah dirasuki Tan Malaka terus menunggu saat yang tepat. Sampai pada peristiwa 27 Juni 1946, Mayjen Sudarsono dan anak buahnya membebaskan Tan Malaka dan pimpinan Persatuan Perjuangan dari tahanan. Pada hari yang sama, Perdana Menteri Syahrir sedang dalam perjalanan kembali dari Jawa Timur ke Yogyakarta. Ia singgah di Surakarta. Di sini ada gerakan dari Mayor Yusuf untuk menculik Syahrir, meski akhirnya Syahrir hanya dibawa ke Keraton Solo. Di sini Syahrir baru mengetahui situasi politik yang genting. Ada kudeta terhadap pemerintahannya!

Situasi kacau karena 'penculikan' Syahrir membuat kabinet demisioner. Presiden Sukarno mengambil alih pemerintahan. Ia menyatakan 'Negara dalam keadaan perang'. Panglima Soedirman berupaya tetap di belakang layar untuk mencoba netral atas situasi. Namun, kemudian Mayjen Soedarsono mendatangi Istana Negara dan bertemu Presiden Sukarno dengan membawa petisi yang ia sebut 'petisi rakyat'.

Ia memaksa Sukarno memenuhi petisi tersebut. Soedarsono bahkan mengklaim Panglima Soedirman yang mendiktekan instruksi dalam petisi itu. Apakah Soedirman terlibat dalam kudeta? Situasi makin membingungkan. Presiden Sukarno meminta Panglima Soedirman turun tangan mengatasi masalah ini. Secara politik, Sukarno meyakinkan Soedirman bahwa Presiden akan mendukung seluruh keputusan Panglima selanjutnya. Dalam situasi itu, Panglima Soedirman berpidato di radio bahwa ia mendukung pemerintah serta menentang Persatuan Perjuangan.

Seperti dikutip dari buku Sardiman, "Panglima Besar Sudirman: Kader Muhammadiyah (terbit tahun 2000)", Soedirman mengatakan:

"Saudara-saudara sekalian...Paduka Yang Mulia Presiden sebagai kepala negara telah menunjuk saya sebagai panglima besar tentara, telah meletakkan kepercayaan sepenuh-penuhnya di atas bahu saya untuk memimpin seluruh tentara darat, laut, dan udara untuk mempertahankan negara.

Antara pucuk pimpinan negara dan pucuk pimpinan tentara tidak ada perselisihan, tidak ada kesalahpahaman, tidak ada curiga mencurigai. Kami berdua, PYM Presiden Sukarno dan Panglima Besar Soedirman masing-masing telah bersumpah, demi Allah untuk mencurahkan segala kekuatan bersama guna keselamatan negara dalam marabahaya yang sedang mengancam kita bersama. Kami berdua, PYM Presiden dan saya Panglima Besar Soedirman masing-masing telah bersumpah pula untuk memperjuangkan mempertahankan dan melaksanakan idam-idaman seluruh rakyat Indonesia, ialah kemerdekaan yang utuh, kemerdekaan 100 persen. Salahkah suatu anggapan, salahkah suatu persangkaan bahwa antara saya, Soedirman dan Bung Karno ada perselisihan paham, ada perselisihan perselisihan tujuan. Antara pucuk pimpinan negara dan pucuk pimpinan tentara telah tergalang persatuan yang sangat kokoh, erat lahir batin.

"Saudara-saudara sekalian! Tiap tiap warga negara harus tunduk dan taat kepada pimpinan negara. Saya, baik pun sebagai warga negara Indonesia maupun sebagai panglima besar tentara tunduk dan taat kepada Kepala Negara dengan berdasarkan sumpah yang telah diucapkan atas nama seluruh pimpinan tentara. Moga-moga hilang lenyaplah segala persangkaan dan perselisihan antara kita sama kita."

 ed: stevy maradona

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement