Senin 22 Apr 2019 16:04 WIB
Kartini dan Islam di Jawa

Praktik Poligami yang tak Disukai Kartini

Kartini memiliki lingkaran koresponden yang sepikiran.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Karta Raharja Ucu
Pantai Bandengan
Foto:
Klein Scheveningen

Menurut Joost Cote dalam Kartini -The Complete Writings 1898-1904 (2018), Marie saat itu sudah terkenal sebagai feminis liberal yang kerap menulis dalam jurnal perempuan Belanda. Selain keahlian berbahasa Belanda, Cote meyakini melalui Marie ide-ide pergerakan feminis Belanda memasuki kepala Kartini.

Dalam tulisannya mengenang Kartini pada 1925, Marie menuturkan ia memang sering membacakan bahan bacaan dari Belanda dan kemudian berdiskusi dengan Kartini dan dua adiknya, tiga serangkai yang ia panggil Daun Klover. Marie cukup lama berada di Jepara, dari 1891 hingga 1899, sebelum ia kemudian pindah dan kian jarang menyurati Kartini.

Baca Juga: Kisah Kartini, Sang Trinil dari Mayong

Bermula dari Marie, Kartini kemudian rajin mengikuti perkembangan pergerakan feminisme di Belanda. Ia kemudian mulai dikenal kalangan progresif di Belanda setelah berkontribusi melalui tulisan dalam acara Pameran Nasional Pekerja Perempuan pada 1898. Acara itu digagas untuk menunjukkan peran perempuan, termasuk di negara jajahan, bagi Kerajaan Belanda.

Dari situ, Kartini kemudian membangun lingkaran kawan-kawan Belandanya yang ia surati kemudian. Hampir seluruhnya, setidaknya pada permukaan, merupakan golongan pendorong kebijakan progresif Belanda.

Di antaranya, Anneke Glaser, perempuan sepantaran Belanda yang pernah jadi tamu di rumah Kartini di Jepara. Menurut Cote, Anneke menolak memublikasikan surat Kartini yang ia terima.

Selanjutnya, Stella Zeehandelaar (1874-1936) yang berusia lima tahun lebih tua dari Kartini. Stella yang tinggal di Belanda menyambut permintaan sahabat pena Kartini yang dikirimkan ke jurnal perempuan De Hollandsche Lelie. Stella merupakan anggota Partai Buruh Sosialis Demokrat Belanda, seorang feminis liberal, vegetarian, dan pendorong kebijakan etis di Hindia Belanda.

Kepada Stella, surat-surat Kartini lebih personal dan terbuka. Kartini bicara soal masa kecilnya hingga ketidaksukaannya pada praktik poligami.

Kemudian, ada Hilda Boissevain (1877-1975). Hilda juga anggota lingkaran progresif liberal Belanda. Bersama suaminya, Hendrik de Booij, Hilda sempat ke Hindia Belanda dan bertemu Kartini.

Di antara rekan surat-menyurat Kartini, Hilda dan suaminya yang paling keras menentang kolonialisme. Tak kalah penting adalah pasangan Abendanon, Jacques (1852-1925) dan Rosa Mandri (1857-1944). Mereka berdua tinggal di Batavia, Hindia Belanda, sejak 1875.

Hubungan mereka dengan Kartini bermula saat Jacques baru menjabat sebagai Kepala Departemen Pendidikan, Kebudayaan, dan Agama Hindia Belanda dan mengunjungi Jepara. Keduanya aktif mendorong pendidikan yang diimpikan Kartini. Meski kemudian, Jacques berperan besar memilah dan memangkas surat-surat dari Kartini dan menerbitkan Door Duisternis tot Licht (1911) agar sesuai agenda kolonial.

Belakangan, putra pasangan itu, Edie Abendanon (1878?1962), juga bersurat dengan Kartini. Kartini menganggap Edie sebagai abangnya dalam surat-surat itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement