Senin 22 Apr 2019 16:04 WIB
Kartini dan Islam di Jawa

Praktik Poligami yang tak Disukai Kartini

Kartini memiliki lingkaran koresponden yang sepikiran.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Karta Raharja Ucu
Pantai Bandengan
Foto: Wikimedia Commons
Pantai Bandengan

Kesempatan yang diberikan ayahnya, Raden Mas Adipati Ario (RMAA) Sosroningrat, untuk belajar di Europse Lagere School (ELS) pada 1885, membuat Raden Ajeng Kartini semringah. Di gedung sekolah yang berada tidak jauh (sebelah) dari Pendopo Kabupaten Jepara ini, Raden Ajeng (RA) Kartini kecil saat berusia sekitar enam tahun, bisa merasakan kehidupan di luar sangkar emas atau tembok pendopo kabupaten.

Kartini kecil juga girang bisa memiliki banyak teman, kendati teman-teman sebaya dari kalangan Bumi Putera di sekolah yang berbahasa Belanda tersebut terbilang sedikit. Hanya putra-putri bangsawan saja yang bisa bersekolah.

Dalam buku Kartini Penyulut Api Nasionalisme, sejarawan Hadi Priyanto mengungkap, Kartini merasa senang bersekolah. Ia bisa berlarian ke sana-kemari, melompat, bermain bebas, dan bahkan tertawa lepas. Tidak seperti di dalam lingkungan pendopo kabupaten atau di rumah besarnya, yang semuanya hidup serba diatur dengan adat dan berbagai tata laksana bangsawan Jawa yang cukup ketat dengan aturannya.

Baca Juga: Garis Keturunan Kartini dan Kegelisahannya Belajar Alquran

Menurut dia, ini juga menjadi titik awal bagi Kartini dan adik-adiknya --RA Roekmini dan RA Kardinah-- bisa menikmati kebebasan, berinteraksi dengan luar lingkungan pendopo Kabupaten Jepara. Sikap RMAA Sosroningrat yang moderat, memberikan kesempatan kepada RA Kartini untuk tahu banyak hal tentang rakyat di luar tembok pendopo.

RMAA Sosroningrat juga sering mengajak Kartini kecil bersama adik-adiknya untuk berkeliling melihat langsung kehidupan rakyat. Dengan begitu, ia telah mendidik anak-anaknya untuk melihat dan merasakan penderitaan rakyat.

"Dari kebiasaan ini, kepekaan Kartini dalam melihat persoalan rakyat dan kaum perempuan kian tajam karena dia juga bisa mendapatkan penjelasan langsung dari ayahnya," ujar Hadi. Satu hal yang membuat Kartini senang, lanjutnya, adalah ketika ayahnya tersebut juga memberikan izin kepada Kartini untuk menikmati pantai Bandengan, Jepara.

Saat libur, Kartini dan adiknya jamak bercengkerama, menghabiskan waktu, dan menikmati pantai yang berjarak sekitar 8 kilometer dari pendopo Kabupaten Jepara ini, dengan diantar oleh pengasuhnya, Mbok Mangunwikromo.

Karena, Kartini senang menikmati pantai berpasir putih ini. Pun demikian, saat berusia 12 tahun dan harus mulai menjalani pingitan, pantai Bandengan menjadi tempat yang paling dirindukan Kartini.

"Bukan saja karena panorama alamnya yang indah, pantai ini juga menjadi tempat bagi Kartini untuk bermunajat, menghibur diri bahkan juga untuk mencari dan menggali inspirasi atas pemikiran-pemikirannya," kata Hadi.

Petugas Museum RA Kartini, Jepara, Riza Khairul Anwar, mengungkap, ada sebuah literasi di museum yang mengisahkan kedekatan Kartini dengan Marie Ovink Soer, istri pejabat asisten residen baru, setelah perkenalan mereka pada 1892. Pada liburan pertama bertugas di Jepara, Kartini bersama Roekmini dan Kardinah mengajak istri asisten residen tersebut mengunjungi pantai Bandengan.

Ternyata Marie Ovink Soer senang dan sangat tertarik oleh keelokan pantai ini. Sang istri Asisten Residen pun menanyakan apa nama pantai tersebut.

Oleh RA Kartini dijawab pantai Bandengan. Kemudian, Marie Ovink Soer juga menyebutkan di Holand (Belanda) juga ada pantai yang mirip dengan pantai Bandengan ini, namanya Klein Scheveningen.

"Kepada Nyonya Ovink Soer, RA Kartini pun spontan menyampaikan, bagaimana kalau pantai Bandengan ini mereka sebut Klein Scheveningen," ujar Riza.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement