Senin 22 Apr 2019 13:46 WIB
Kartini dan Islam di Jawa

Kisah Kartini, Sang Trinil dari Mayong

Kartini kecil sudah mulai terpapar dengan ketidakadilan adat Jawa.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Karta Raharja Ucu
Kartini dan dua saudaranya
Foto: Republika/Mg15
Museum Kartini

Sejarawan Hadi Priyanto mengatakan, di antara kelima putri Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat, baik buah perkawinan dengan mas Ayu Ngasirah maupun Raden Ayu Moeryam, sosok Kartini memiliki karakter yang berbeda.

Selain aktif, Kartini kecil juga menjadi anak yang paling aktif dan lincah. Karena itu pula, Sosroningrat memberi putrinya tersebut paraban (julukan) Trinil yang sejatinya merupakan nama jenis burung kecil yang gesit dan lincah. Selain aktif, Kartini kecil juga tumbuh sebagai seorang anak yang pintar dan unik karena rasa penasaran serta keingintahuannya -terhadap apa pun- yang sangat besar, bagi anak seusianya.

"Sehingga, dibandingkan saudara-sudaranya, Raden Ajeng Kartini kecil ini lebih kritis terhadap berbagai persoalan yang dilihat dan ditemuinya sehari-hari di dalam lingkungan pendopo kebupaten," ungkap Hadi yang juga ketua Yayasan Kartini Indonesia ini.

Dari proses-proses pertumbuhan dan kehidupan di balik pagar pendopo kabupaten inilah, lanjutnya, jiwa kritis Kartini terbentuk kendati ia masih belia. Termasuk kejujurannya dalam melihat setiap persoalan. Seperti bagaimana di pendopo kabupaten harus ada dua ibu dan mengapa ibu Mas Ajeng Ngasirah harus tinggal di luar rumah besar (bangunan utama pendopo) dan harus tinggal di rumah kecil bersama dengan para abdi.

"Atau, mengapa Mas Ajeng Ngasirah harus menggunakan krama inggil jika berbicara dengannya dan saudara-saudaranya, atau harus berjalan jongkok di manakala berhadapan dengan anak-anak Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, termasuk dirinya (RA Kartini) sebagai anak kandungnya," tutur Hadi.

Kartini juga sangat kritis melihat bagaimana anak-anak perempuan yang berada di luar pagar pendopo kabupaten tidak boleh sekolah dan tak berdaya pada adat dan kebiasaan masyarakat Jawa. Baginya itu menjadi kegelisahan yang kemudian terakumulasi dan menjadi pemberontakan nalar terhadap situasi yang ada, tak terkecuali terhadap lingkungan bangsawan Jawa yang mem besarkannya.

Termasuk bagaimana Kartini melihat urgensi pemahaman nilai-nilai Islam dari Alquran, bagi masyarakat Jawa yang disampaikan para guru ngaji dengan bahasa Arab, tetapi tidak pernah tahu maknanya. Semua berangkat dari cara pandang Kartini yang memang berbeda, unik, dan cenderung tidak konservatif terhadap adat dan kebisaan Jawa, hegemoni patriarki yang sengaja dipelihara oleh tatanan feodal dan, secara kasat mata, telah membelenggu dan menindas kaumnya.

Puncaknya, lanjut Hadi, saat Sosroningrat yang sejatinya juga me miliki pemikiran moderat, memasukkan Kartini kecil ke sekolah dasar untuk warga Eropa, Europse Lagere School (ELS), di Jepara pada 1885. Keputusan sang bupati tersebut menabrak adat bangswan Jawa yang menghendaki putri bangsawan hanya dipersiapkan untuk menjadi raden ayu, bagi bangsawan yang akan mempersunting.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement