Sabtu 30 Mar 2019 05:37 WIB

Menjaga Hutan Papua dari Keserakahan Manusia

Masyarakat Suku Moi di Sorong, Papua bersikukuh memelihara hutan sebagai kebutuhan

Rep: Priyantono Oemar/ Red: Karta Raharja Ucu
Sagu menjadi pangan lokal andalan masyarakat adat Moi Kelim. Beras bukan makanan pokok mereka.
Foto:
Tiga pelancong berpose di angkutan umum Malaumkarta - Kota Sorong.

Pelajaran dari kampung lain

Di Malaumkarta ada pula pembangkit listrik tenaga mikrohidro PLTMh yang menerangi dua kampung, Malaumkarta dan Suatolo. PLTMh dibangun mengunakan dana desa dari dua kampung, tahun anggaran 2016 dan 2017.

Masing-masing kampung menyerahkan Rp 600 juta untuk pembangunan. Setelah beroperasi, kata petugas jaga PLTMh Kleopas Kalami, dipungut iuran Rp 10 ribu per bulan per rumah.

Zuzy belum menghitung valuasi ekonomi dari PLTMh ini. Pun belum menghitung valuasi air bersih dari sumber air di hutan yang sudah mengalir ke tiap rumah. Jika hutan terjaga, sumber air dan PLTMh pun akan tetap terjaga. Menurut Jefri, ada rencana dikelola oleh BUMDes, tetapi masih menunggu hasil musyawarah kampung.

Transportasi kampung tidak dihitung. Saat ini Kampung Malaumkarta memiliki satu kendaraan sumbangan dari Kemendes. Kendaraan ini dioperasikan oleh BUMDes untuk angkutan Malaumkarta - kota Sorong. "Tarifnya Rp 30 ribu per orang sekali berangkat," jelas Jefri.

Ke Sorong, banyak warga Malaumkarta yang memiliki tujuan ke pasar untuk menjual hasil bumi atau membeli barang. Jalan raya dari Malaumkarta ke Sorong sekitar 40 kilometer, terhitung sudah mulus dan dapat ditempuh sekitar satu jam. Adanya angkutan ini, warga berpeluang bisa membawa produk kerajinan mereka yang bahan-bahannya diambil dari hutan.

photo
Kleopas Kalami menjaga PLTMh di hutan Malaumkarta.

Karenanya, mereka bertekad menjaga hutan. "Kita sudah ajukan proposal ke Bupati  agar hutan kami tak diganggu oleh operasi perusahaan," kata Everadus.

Everadus bercerita, sudah banyak perusahaan yang mengincar hutan mereka. Tidak saja di masa Orde Baru, tetapi juga setelah reformasi. Pada 2003 ada perusahaan yang masuk. Pada 2009 ada lagi perusahaan yang datang, bahkan sudah membawa alat berat. "Kami usir," tegas Everadus.

Menurut Everadus, mereka tak ingin anak cucu mereka tak bisa lagi menikmati alam yang sebenarnya. Mereka lebih memilih hutan tetap sebagai tempat tumbuh pohon sagu daripada harus diubah menjadi kebun sawit.

Everadus menjelaskan, warga Malaumkarta Raya belajar dari pengalaman suku Moi di kampung-kampung lain yang tersingkir setelah hutan mereka dikuasai perusahaan. ‘’Ambil kayu bakar saja harus minta izin perusahaan. Kami tidak mau seperti mereka,’’ kata Everadus.

Kasus pembelian hutan pada 2012 oleh perusahaan sawit seharga Rp 6.000 per hektare di Distrik Klamono dan Klayili menjadi gunjingan masyarakat adat Moi. Perusahaan tersebut kemudian menjual ke perusahaan lain seharga 5.000 dolar Amerika per hektare. Saat itu per dolar masih Rp 9.000-an.

Dari kayu yang ditebang saja, perusahaan sudah mendapat untung, karena harga kayu merbau dari hutan itu mencapai 875 dolar Amerika per meter kubik. "Eksploitasi clear-cut hutan telah menghasilkan tambahan penghasilan kepada perusahaan sebesar 25 dolar Amerika per meter kubik," ungkap Zuzy.

Menolak pembabatan hutan, bukan berarti mereka alergi pembangunan. Wellem Kalami, ketua RT 1 Kampung Suatolo, memiliki cerita. Ia memiliki tugas khusus ketika akan ada sosialisasi pembangunan dari pemerintah. Ia bertugas meniup un, alat tiup dari cangkang triton, untuk mengumpulkan warga ketika ada pejabat datang.

Setelah meniup un tiga kali, ia akan meneriakkan pengumuman. Nelagi, nedala, nanimo nanuwani prentah. Bupati ufudeng. (Perempuan, laki, datang kemari, dengarkan perintah. Bupati telah datang). Perintah yang dimaksud adalah perintah dari para pejabat yang datang untuk menjelaskan program-program pembangunan.

"Kami, warga, akan menerima ide-ide pembangunan yang disampaikan, tetapi jika idenya untuk membuka hutan, kami tolak," kata Wellem. Hutan, kata Wellem, adalah kehidupan mereka.

Karenanya, mereka perlu kekuatan untuk menjaga hutan. "Kalau tidak ada manfaat, untuk apa investasi sawit dan lainnya," ujar Bupati Sorong Dr Johny Kamuru.

Bagi Johny, lebih baik masyarakat hidup seperti sekarang, tetapi hutan tetap terjaga, daripada harus kehilangan hutan yang menjadi sumber pangan. Hutan telah menyediakan ewa (pohon sagu) yang tumbuh liar.

Ewa bisa mereka ambil kapan saja untuk dijadikan kamolfe, sebutan lokal untuk tepung sagu. "Kamolfe juga berarti yang menguatkan, yang menghidupi,’’ jelas Meli Kalami.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement