Kamis 07 Feb 2019 17:23 WIB

Wajah Akulturasi Budaya di Tradisi Jie Kao Meh

Tradisi Jie Kao Meh selalu menjadikan kawasan pecinan Kota Semarang menjadi semarak

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Karta Raharja Ucu
Umat yang merayakan hari raya Imlek nampak melakukan ibadah di Vihara Dharma Jaya Toasebio, di bilangan petak 9, Jakarta, Selasa (5/2).
Foto: darmawan / republika
Umat yang merayakan hari raya Imlek nampak melakukan ibadah di Vihara Dharma Jaya Toasebio, di bilangan petak 9, Jakarta, Selasa (5/2).

REPUBLIKA.CO.ID, Setiap menjelang hari raya Idul Fitri, Umat Muslim di Kota Semarang mengenal tradisi ‘Prepegan’ atau tradisi berbelanja memenuhi berbagai kebutuhan untuk merayakan hari raya umat Islam. Lonjakan aktivitas di pasar-pasar tradisional, menjadi pemandangan yang jamak tersaji karena warga berbondong-bondong ke pasar untuk berbelanja berbagai kebutuhan untuk merayakan Lebaran.

Pemandangan nyaris sama, juga tampak menjelang perayaan tahun baru Imlek, yang oleh warga keturunan Tionghoa di Kota Semarang dikenal dengan tradisi Jie Kao Meh. Sama halnya Prepegan, tradisi Jie Kao Meh ini juga sudah menjadi rutinitas bagi warga keturunan Tionghoa untuk berbelanja atau membeli berbagai kebutuhan dalam menyambut datangnya tahun baru Imlek.

Bedanya, tradisi Jie Kao Meh ini berlangsung selama tiga hari berturut-turut setiap menjelang perayaan tahun baru Imlek dan penyelenggaraannya dipusatkan di Gang Baru, kawasan pecinan Kota Semarang atau sepanjang Jalan Wotgandul Timur. Tak terkecuali dalam menyambut datangnya tahun baru Imlek 2570 kali ini --yang dalam penanggalan nasional-- bertepatan dengan Selasa, 5 Februari 2019.

“Tradisi Jie Kao Meh selalu menjadikan kawasan pecinan Kota Semarang tersebut semarak seperti halnya keramaian pasar malam,” ungkap Harjanto Halim, tokoh Tionghoa Kota Semarang, Ahad (3/2).

Karena itu, jelasnya, komunitas pecinan Semarang membentuk Yayasan Komunitas Pecinan Semarang untuk Wisata (Kopi Semawis) dan menghidupkan tradisi ini sebagai daya tarik bagi wisata. Maka sejak 2004, tradisi Jie Kao Meh di kawasan pecinan Kota Semarang ini dikemas dalam pasar malam yang disebut Pasar Imlek Semawis (PIS).

“Ini merupakan upaya untuk menghidupkan kembali tradisi orang-orang keturunan Cina dalam menyambut datangnya tahun baru Imlek,” ungkapnya.

Kendati tradisi Jie Kao Meh ini menjadi khas pecinan Semarang dalam menyambut tahun baru Imlek, sejatinya tradisi itu merupakan potret akulturasi dan harmonisasi tradisi dan budaya yang hidup di Kota Semarang. Warga keturunan Cina membeli kebutuhan untuk sembahyang dan berbagai barang kebutuhan untuk menggelar jamuan makan bersama keluarga besar, di Pasar Gang Baru yang buka hingga tengah malam.

Namun yang berjualan dan meraup berkah di pasar ini tidak hanya masyarakat keturunan Tionghoa saja. “Tetapi juga masyarakat Jawa, yang beraktivitas di pasar tersebut,” kata Ketua Kopi Semawis ini.

Umumnya pasar malam, masih jelas Harjanto, juga ada sajian berbagai hiburan bagi para pengunjung yang datang untuk berbelanja atau sekedar ingin menikmati kemeriahan suasana PIS. Namun ragam hiburan yang ditampilkan pada PIS tidak hanya sekesar budaya yang dibawa masyarakat etnis Tionghoa di Kota Semarang, melainkan juga ragam budaya dan kesenian yang menjadi tradisi warga setempat.

Sehingga pasar malam menyambut Imlek ini juga selalu disambut seluruh warga Kota Semarang dan sekitarnya, bukan hanya oleh warga keturunan saja. “Karena interaksi dan akulturasi budaya yang sudah berlangsung lama,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement