Selasa 15 Jan 2019 17:53 WIB

Mengandalkan Utang Alasan di Balik Pecahnya Peristiwa Malari

Pertumbuhan ekonomi pada zaman Orba justru diserahkan pada modal asing.

Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) di Jakarta
Foto: IST
Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) di Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, Siang itu, Jakarta dilanda kekacauan hebat. Mobil-mobil yang melintas jalanan Ibu Kota jadi sasaran kemarahan. Gedung Astra yang menyuplai mobil impor asal Jepang, Toyota, dibakar. Api membesar, asap membumbung tinggi ke langit. Hari itu bertepatan dengan tanggal 15 Januari 1974.

Kemarahan ribuan massa bukan tanpa alasan. Sasarannya ada di Bandara Halim Perdana Kusuma. Massa yang umumnya mahasiswa marah lantaran Bandara Halim akan kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang, Tanaka Kakuei.

Mahasiswa menilai, PM Jepang itu punya rencana kembali mengontrol Indonesia. Mahasiswa curiga Jepang ingin kembali melanjutkan rencana mereka yang tertunda pada 1945. Rencana itu adalah menguasai dan mengeruk kekayaan Indonesia.

Tanaka memang tak datang dengan bala tentara atau senjata. Namun, dengan tim ekonominya. Mahasiswa lantas melihat kenyataan yang tersaji pada medio awal 1970-an itu. Pada tahun itu, beraneka ragam produk Jepang, khususnya otomotif, mulai membanjiri wilayah Indonesia.

Tak ayal, mahasiswa makin curiga kedatangan Tanaka untuk semakin memantapkan kuku Negeri Sakura dalam menguasai pasar ekonomi di Indonesia. Kecurigaan yang kelak akan terbukti, bahkan hingga kini.

Dilandasi kecurigaan akan motif kedatangan Tanaka, mahasiswa dari segala elemen kemudian mulai bergerak. Dari kampus Universitas Indonesia dan Trisakti, ribuan mahasiswa berjalan kaki menuju Bandara Halim. Tujuan mereka untuk menolak kedatangan Tanaka.

Sasaran tuntutan tak hanya mengarah ke Tanaka. Namun, nama Presiden Soeharto untuk pertama kalinya digugat mahasiswa. Mereka mulai mempertanyakan kebijakan ekonomi Soeharto yang dianggap terlalu dikontrol modal asing.

Mahasiswa itu pun mulai mengembuskan kecurigaannya akan praktik korupsi di pemerintahan Orde Baru. Untuk pertama kalinya, citra pemerintahan Soeharto ternoda.

Di antara barisan ribuan mahasiswa itu terdapat seorang aktivis bernama Hariman Siregar. Kepada Republika.co.id, Hariman kembali mengisahkan peristiwa demonstrasi yang berakhir jadi malapetaka pada 40 tahun lalu itu.

Hariman mengatakan, mahasiswa pada 1974 awalnya berharap Orba mampu menjadi jawaban dari Orde Lama. Saat Orla ekonomi Indonesia masih diboikot kepentingan kolonial Barat.

Namun, harapan mengubah situasi Orla itu tak mampu dijawab Orba. Nyatanya, kata Hariman, pertumbuhan ekonomi pada Orba justru diserahkan pada modal asing. Kekuatan Barat dan Jepang pun mampu mengontrol ekonomi Indonesia yang sejatinya sudah merdeka.

“Jadi, Indonesia pada saat itu malah mengandalkan utang, bukan kekuatan dalam negeri,” kata Hariman penuh antusias. Tidak hanya utang, Indonesia pun harus rela bergantung pada produk Barat dan Jepang.

Wajah Hariman menerawang kembali persoalan yang pernah terjadi puluhan tahun silam. Pada 1974, mahasiswa sudah menyadari betapa tergantungnya Indonesia terhadap modal asing.

Pada akhirnya, Indonesia tak bisa mengelola kekayaannya sendiri. Kekuatan asing yang justru paling utama dalam mengontrol permodalan dan ekonomi di Indonesia.

Di jalan-jalan, mobil Toyota asal Jepang dan Fiat dari Eropa hilir mudik. Di sektor kekayaan alam, perusahaan seperti Chevron sudah menancapkan kukunya di Sumatra.

Jadilah Indonesia tak ada ubahnya sepeti zaman penjajahan. Ekonomi masih belum bisa berdiri sendiri.

Kemarahan Hariman cs makin menjadi melihat gencarnya usaha lobi Barat pada awal 1970-an. Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), lembaga pemodal asing bentukan Amerika Serikat, Jan P Pronk, pada akhir 1973 makin menguatkan kesan lobi asing itu.

“Kami saat itu sudah berpikir bagaimana kondisi nanti kalau modal asing menguasai,” kata Hariman.

Menurutnya, jika asing sudah menguasai ekonomi, kedaulatan Indoenesia yang jadi bayarannya. Sebab, kuatnya lobi asing di ekonomi dinilai mereka akan mampu mengontrol politik dalam negeri.

Akhirnya, kemarahan mahasiswa memuncak pada 15 Januari 1974, bersamaan dengan kedatangan Tanaka. Mahasiswa dengan segala kemampuannya berunjuk rasa menentang kedatangan Tanaka dengan segala motif ekonominya.

Aksi mahasiwa yang berbondong maju ke Bandara Halim kemudian terhalang oleh aparat. Mahasiswa kemudian dipukul mundur ke arah Tanjung Priok. Saat itulah malapetaka tercipta. Malapetaka yang berujung kerusuhan massal.

Aksi represif aparat disambut dengan kemarahan mahasiswa. Akhirnya, kerusuhan pun pecah di Tanjung Priok dan menyebar luas ke pelosok Jakarta.

Pusat perbelanjaan yang menyajikan produk asing jadi sasaran. Tak hanya itu, mobil-mobil Toyota, Fiat, dan merek lain jadi pelampiasan kemarahan. Akibatnya, beberapa nyawa aktivis melayang.

Kemarahan pada Orba pun mulai menyebar sejak itu. Inilah tonggak awal peristiwa melapetaka pada 15 Januari 1974 atau yang dikenal dengan Malari.

Namun, lepas dari Malari, malapetaka sejatinya belum hilang dari Indonesia. Malapetaka modal asing itu tetap ada. Bahkan, hingga kini asing masih mendominasi sejumlah di sektor ekonomi. Bahkan, Jepang kini nyaris menguasai pangsa pasar elektronik dan otomotif Indonesia.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement